"Jadi, kamu sudah sadar?"
Suara itu terdengar sedikit aneh di telinga Arion. Ah, bukan. Bukan suaranya yang terdengar aneh. Tidak ada yang salah pada suara Tuan Felix Aguri, suara besar dan dalam khas suara seorang pria dewasa yang sudah memiliki banyak pengalaman hidup terutama di dunia bisinis. Yang sedikit terdengar aneh adalah cara pria berambut cokelat kemerahan itu berbicara. Begitu kaku sehingga rasanya sedikit lucu. Ia harus menarik napas dalam dan membuangnya perlahan untuk menahan tawa. Setelah melakukannya beberapa kali –menarik dan membuang napas– Arion mengangguk.
"Iya, sir!" jawab Arion mencoba melempar senyum. Berusaha membuat kekakuan sedikit mereda. Tatapan mengintimidasi Tuan Aguri terkadang mengganggunya, terkadang ia biasa saja seolah sudah terbiasa sehingga tidak merasakan apa-apa. Namun, tetap ia mencoba untuk mencairkan suasana.
"Nama kamu?"
"Namanya Arion Adelio!"
Arion sudah kembali membuka mulut untuk menjawab pertanyaan itu. Lagipula pertanyaan itu ditujukan padanya. Tidak mungkin Tuan Aguri bertanya pada Jemi yang merupakan putri kandungnya ataupun pada dokter Steven yang merupakan sahabat baiknya. Pria bermata biru itu pasti sudah mengetahui siapa nama mereka. Hanya namanya yang belum diketahui pria itu. Jadi, tentu saja pertanyaan itu untuknya. Namun, sebelum ia sempat mengeluarkan suara, Jemi sudah lebih dulu menjawab dengan menyebutkan namanya. Arion menarik napas sekali lagi, ia kalah cepat dari Jemi. Gadis itu selalu bersemangat. Arion berharap semangat Jemi menular padanya. Ia sangat membutuhkan itu untuk bertahan di tengah ingatannya yang belum kembali.
"I didn't ask you, young lady (Aku tidak bertanya padamu, Nona Muda)!"
Felix menatap putrinya dengan tatapan tidak senang. Sudah berapa kali ia meminta dan menjelaskan pada Jemi untuk tidak menjawab pertanyaan yang tidak ditujukan untuknya. Namun, Jemi tetap bandel, dia selalu menjawab apa pun lebih dulu kalau dia sudah tahu jawabannya.
"Jemi, didn't I tell you not to answer questions that weren't for you? Did you forget? (Bukankah sudah Papi katakan padamu untuk tidak menjawab pertanyaan yang bukan ditujukan padamu? Apakah kau lupa)?"
Jemi mengerucutkan bibir. Dia tidak lupa, dia hanya ingin menjawabnya karena yang memberikan nama itu adalah dirinya.
"Maaf Papi," ucap Jemi menundukkan kepala. "Jemi ingat, kok, cuman pengen aja. 'Kan, Jemi yang ngasih nama."
Kerutan di dahi Felix bertambah tajam. Putrinya yang memberikan nama, apa maksudnya? Apakah pria ini ...? Felix menatap Steven, dan melihat anggukan pria itu ia sudah tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri. Pria yang ditemukan Jemi mengalami amnesia. Pantas saja nama itu terdengar tak asing. Jemi selalu mengatakan akan memberi nama pada anaknya dengan nama itu kelak, sekarang dia memberikannya untuk pria muda yang duduk di sampingnya. Felix memencet pangkal hidung. Ia semakin tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan anak muda zaman sekarang.
"Arion Adelio?"
Jemi mengangguk menjawab pertanyaan itu. Dia yakin Papi bertanya padanya, Papi menatapnya, ataukah menatap Arion yang duduk di sebelahnya? Jemi mengerang dalam hati, pasrah dimarahi kalau seandainya dia salah lagi.
"Bukankah nama itu buat anak kamu nanti?" tanya Felix dengan alis berkerut.
Steven terbatuk mendengar pertanyaan itu. Jemi memang masih muda, tetapi pikirannya sudah jauh ke depan. Gadis berusia tujuh belas tahun itu sudah mempersiapkan nama anaknya kelak.
"Maaf," ucap Steven menatap ketiga penghuni ruang kerja Felix bergantian. Tatapannya jatuh pada Jemi, ingin tahu apakah gadis itu berani mengatakan pada ayahnya apa yang dikatakan padanya dulu.
Sepuluh hari sudah Arion bangun dari tidur panjangnya, dan selama itu ia terus memantau keadaannya. Kesehatan fisik Arion makin mengalami peningkatan. Hanya sering pria itu mengeluh, ingin ingatannya kembali. Yang tentu saja tidak akan semudah itu. Arion juga mengatakan kalau tadi malam dia bermimpi buruk dan tidak bisa tidur lagi setelah terbangun karena mimpi itu. Jadi, wajar saja kalau sekarang wajah tampannya yang semakin berisi terlihat pucat.
"Jemi, 'kan, sekarang masih belum punya anak, Papi. Jadi, namanya Jemi kasih buat Ayah dari anak Jemi dulu aja."
Mata Felix melebar sesaat. Astaga, apa yang dipikirkan putrinya? Sungguh, ia tidak mengerti apa yang ada di pikiran Jemi. Apakah maksudnya Jemi ingin menikahi pria yang ditolongnya? Felix memijit pelipisnya yang sedikit berdenyut. Beginikah rasanya menjadi Ayah sekaligus Ibu bagi seorang gadis remaja? Sangat memusingkan. Pria di sebelah Jemi tidak buruk, Arion sangat tampan dan ia yakin itu bukan karena operasi plastik. Ketampanannya alami. Hanya saja pria itu masih belum mengingat siapa dirinya, bagaimana latar belakang, dan sebagainya. Ia memang tidak memilih calon menantu, semua keputusan ada di tangan Jemi. Yang menjalani rumah tangga kelak adalah putrinya bukan dirinya. Namun, tetap saja rasanya ini terlalu cepat.
"Kenapa?" tanya Jemi melihat reaksi ayahnya yang tampak terkejut. "Papi nggak setuju dengan permintaan Jemi, ya?"
Felix menggeleng. "No, it's not like that, sweetheart. It's just ... (Tidak, bukan seperti itu, Sayang. Hanya saja ...)." Felix mengibaskan tangan kacau. "Isn't it too fast? I mean, you're too young (Bukankah ini terlalu cepat? Maksud Papi, kamu masih terlalu muda)."
Jemi tersenyum lebar, kepalanya menggeleng sekali sebelum jatuh di lengan Arion. "Calon suami Jemi, 'kan, udah dewasa,.Pi. Nggak apa-apa kalo Jemi masih muda," ucapnya menatap pria yang juga menatapnya dengan tatapan sayang.
Ahh, sinar mata teduh itu yang sudah membuatnya jatuh cinta pada Arion. Dia yakin Arion adalah pria yang baik. Sinar mata tidak pernah berbohong, meskipun seseorang itu sedang tidak mengingat apa-apa, tapi matanya selalu jujur. Jemi melihat kejujuran itu di mata Arion.
Felix menarik napas dalam dan panjang, mengembuskannya kembali setelah mendiamkan beberapa detik di dalam paru-parunya. Tatapannya tertuju pada Steven dengan sinar mata bertanya. Namun, hanya bahu yang terangkat pertanda tidak tahu yang ia dapat dari sahabatnya. Felix berdecak.
"Memangnya Arion mau sama gadis kecil manja just like you?" ( ...seperti kamu)
Jemi mendelik tajam mendengar pertanyaan itu. Apa maksudnya? Apakah Papi tidak menyetujui keputusannya? Apakah Papi tidak suka pada Arion? Sungguh, ini sangat menyebalkan!
"Papi, kok, nanya kayak gitu, sih?" tanya Jemi dengan pipi menggembung. "Harusnya Papi dukung Jemi, dong. Ngomong yang baik-baik soal Jemi ke Arion gitu, bukannya jelek-jelekin Jemi!"
"Yang bilang kamu jelek siapa?" Felix balas bertanya. "Papi nggak bilang kamu seperti itu."
"Terus aja nggak ngaku sampai Jemi nikah sama A!" ketus Jemi dengan wajah menekuk. "A, kamu sayang aku juga, 'kan?" tanyanya pada Arion sambil menatap pria itu.
Arion mengangguk. Kalau masalah suka dan sayang tentu saja ia memiliki perasaan itu pada Jemi. Rasa sayangnya pada gadis itu bahkan sebelum ia membuka mata dan melihatnya secara nyata. Ia jatuh cinta pada Jemi saat masih belum sadarkan diri, saat masih terlelap dalam tidur panjangnya. Arion mengusap pucuk kepala yang bersandar di lengannya itu dengan lembut. Meletakkan pipinya di sana setelah mengecupnya sekali.
Felix mengembuskan napas melalui mulut melihat semua itu. Interaksi keduanya menunjukkan seolah mereka sudah lama saling mengenal, padahal Arion baru bangun sepuluh hari yang lalu. Felix berdehem untuk menarik perhatian mereka, semuanya termasuk Steven.
"Lalu, bagaimana hasil pemeriksaanmu kemarin?" tanya Felix begitu semua mata memperhatikannya. "Kau sudah memeriksakan dirimu ke rumah sakit, bukan, A?"
Arion mengangguk. "Iya, sir,' jawabnya. "Masih ada pemeriksaan berikutnya beberapa hari lagi."
"Arion...."
"Bisakah kau tidak terlalu menginterogasi pasienku?"
Pertanyaan itu memotong Felix yang ingin terus menanyai Arion. Padahal masih ada beberapa hal lagi yang perlu diketahuinya dari pria muda itu.
"Pasienku baru bangun sepuluh hari yang lalu, Felix. Jangan membuatnya merasa seperti berada di kantor polisi." Steven mengerang. Berdiri dan duduk di samping Felix, berbicara lirih agar tidak terdengar Jemi dan Arion yang duduk di seberang mereka. "Buatlah ia merasa senyaman mungkin agar ingatannya cepat pulih. Do you know, I'm sure he's a very smart guy. You just need to polish him a little then you will get a diamond (Apa kau tahu, aku yakin kalau ia adalah pria yang sangat pandai. Kau hanya perlu memolesnya sedikit saja maka kau akan mendapatkan berlian)."
"Do you think I didn't know? (Kau pikir aku tidak tahu)?" tanya Felix sombong. "Look into his eyes, there's something in those eyes. Something that I believe is precious, besides his past and memories (Lihatlah ke dalam matanya, ada sesuatu di mata itu. Sesuatu yang aku yakin sangat berharga, selain masa lalu dan ingatannya)."
Steven mengangguk. Ia tidak meragukan kejelian seseorang seperti Felix yang sudah sangat berpengalaman dalam segala hal. "Now, let him take a rest! (Sekarang, biarkan ia beristirahat)!" Steven menepuk pundak Felix, meminta pria itu berdiri bersamanya, dan meninggalkan kedua anak muda itu. "Ayo,.pergi minum-minum. Kurasa kita sudah lama tidak melakukannya."
"Good idea!" Felix mengangguk. Melupakan hal penting yang ingin ia tanyakan pada Arion.
"Well, kayaknya aku juga harus balik ke kamar aku A." Jemi melepaskan lengan Arion. "Aku harus ngerjain tugas sekolah." Bibir mungilnya mengerucut. "Astaga! Kamu percaya nggak kalo Mr. Stewart ngasih tugas seperempat buku tebalnya? Gila banget, 'kan, itu?" Jemi kembali memeluk lengan Arion. "Pengen nangis," adunya manja.
"Nggak boleh kayak gitu." Arion mengacak sayang pucuk kepala Jemi. "Nggak boleh ngeluh sama tugas. Kalo ngeluh terus, gimana mau pintar?" Ia terkekeh.
Jemi mendelik kesal, melepaskan lengan Arion dengan cepat. Dia menegakkan tubuh, menatap Arion dengan mata menyipit. "Ngomongnya enak banget, ya, A?" sindirnya dengan bibir meruncing. "Kamu nggak tau gimana rasanya harus ngerjain tugas segitu banyak. Teman-teman aku udah banyak yang nyerah."
"Kamu nggak boleh nyerah!" Arion menatap Jemi lekat. "Aku nggak suka sama orang yang mudah nyerah!", ucapnya tegas. "Kamu lupa apa yang kamu bilang ke aku tempo hari? Aku nggak boleh nyerah karena kamu yakin aku pasti bisa, dan aku emang bisa, Jemi. Itu semua karena kamu."
Jemi mengerutkan hidung berpikir, memonyongkan bibir ke sebelah kanan. Dia sedang berusaha mengingat apa yang dikatakan Arion tadi. Benarkah dia pernah mengatakan hal seperti itu?
"Beneran aku pernah ngomong kayak gitu?" tanya Jemi setelah berusaha mengingat beberapa detik tapi tidak ada satu pun dari kejadian itu yang diingatnya. Dia lupa pernah berkata bijak seperti itu. Astaga, bagaimana dia bisa melupakan hal sepenting itu?
Arion tersenyum. Mencubit hidung mancung Jemi lantas mengangguk. "Udah aku duga kamu lupa," ucapnya tertawa. "Sekarang, cepat balik kamar, kerjain tugas kamu! Aku nggak mau Ibu dari anak-anak aku bodoh!"
Mata biru Jemi melebar. Mulutnya terbuka ingin memprotes, tapi segera menutup lagi. Pipinya memerah setelah menyadari arti kalimat terakhir Arion. Cepat Jemi berdiri, mengecup bibir Arion sekilas sebelum menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua.
***
Pria muda itu gelisah dalam tidurnya. Matanya yang terpejam bergerak liar berusaha terbuka, tapi tetap tidak bisa. Matanya tetap terpejam rapat seolah dilem menggunakan lem super berperekat nomor satu di dunia. Keringat membasahi pelipisnya. Bukan hanya pelipis, tapi nyaris sekujur tubuhnya berkeringat. Arion menggeleng kuat beberapa kali sebelum matanya benar-benar terbuka. Cepat pria itu bangun, mengusap wajah, dan mengernyit merasakan tangannya basah. Astaga, ia seperti orang yang baru selesai mandi saja.
Arion melirik jam digital di nakas sebelah kanannya. Pukul dua dini hari, masih terlalu pagi untuk terjaga. Sebaiknya ia kembali tidur saja. Seandainya bisa ia pasti akan melakukannya. Sayangnya matanya sudah tidak mengantuk lagi. Ah, bukan. Bukan matanya yang tidak mengantuk, tetapi otaknya yang selalu mengulang kejadian mengerikan di mimpinya tadi. Setiap kali ia memejamkan mata, setiap itu pula bayangan itu berlarian di kepalanya. Entah apa yang terjadi di masa lalunya, sepertinya kejadian itu terlalu mengerikan sampai-sampai otaknya lebih memilih untuk melupakan.
Arion menjulurkan tangan, mengambil botol air mineral yang diletakkan di sebelah jam digital. Tangannya gemetar memegang botol air itu, membuktikan betapa hebat mimpi yang dialaminya tadi. Bahkan sampai membuatnya merasa sangat haus. Setengah botol air mineral ukuran setengah liter berpindah ke dalam lambungnya.
Arion menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Membiarkan botol air mineral di pangkuan, ia tak berniat intuk mengembalikannya. Matanya terpejam dengan kepala mendongak, mencoba menyusun kembali penggalan mimpi yang tadi membangunkannya. Ia berada di dalam mobil bersama seorang perempuan dan laki-laki dewasa yang wajahnya tak terlihat. Wajah mereka hanya berupa bayangan tak berbentuk, begitu samar. Suara mereka juga terdengar samar, tapi ia masih ingat kata-kata yang diucapkannya. Meski suara itu terdengar lebih kecil dari suaranya sekarang, Arion yakin itu adalah suaranya. Ia memanggil mereka dengan sebutan Mama dan Papa. Apakah dua orang dewasa dalam mimpinya adalah orang tuanya? Entahlah, mungkin saja.
Namun, bukan itu yang membuatnya tak bisa lagi memejamkan mata. Apa yang terjadi pada mereka selanjutnya lah yang membuat pikirannya terus terjaga. Mobil yang mereka kendarai berputar beberapa kali sebelum tergulung dan menabrak pembatas jalan. Mobil itu meledak dengan dirinya yang masih berada di dalam mobil. Rasanya ia masih bisa mendengar suara percikan bunga api dan masih bisa merasakan panasnya. Sekarang pun ia merasakannya.
Arion membuka matanya dengan cepat. Napasnya tersengal, begitu sesak. Seolah ada batu besar yang mengimpit dadanya. Keringat semakin banyak membasahi tubuhnya. Piyama yang dikenakannya sekarang sudah basah. Astaga, apa yang terjadi? Benarkah itu mimpi? Ataukah kejadian dari masa lalunya yang memang tak ingin ia ingat lagi?