bc

MINE! - Dia Milikku! Season 2

book_age18+
382
FOLLOW
2.0K
READ
love-triangle
possessive
dominant
CEO
student
drama
sweet
first love
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

WARNING 18+

AREA DEWASA

BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN

Sekuel Dia Milikku!

Terbangun tanpa ingatan setelah 4 tahun dinyatakan koma bukanlah yang diinginkan semua orang, begitu juga dengannya. Apalagi selalu dihantui mimpi buruk setiap malam. Hanya Jemima Aguri, malaikat cantik penolongnya, yang bisa membuatnya kembali lelap setelah terjaga karena mimpi buruknya itu. Kehadiran Jemi dengan tingkah khas remaja yang ceria membuatnya ketergantungan pada gadis belia itu.

Namun, semuanya menjadi kacau sejak ia bertemu dengan Tristan Wijaya yang mengatakan kalau dirinya adalah adik pria itu.

Siapakah ia sebenarnya? Arion Adelio ataukah Jovan Wijaya?

Cover by Me

Pict

https://unsplash.com/photos/6yIJ8PY9rzs

Font by PicsArt

chap-preview
Free preview
Bab 1. Menemukan
Gadis kecil itu mengerucutkan bibir. Merasa kesal pada sopirnya yang berhenti di tengah jalan hanya untuk buang air kecil. Seolah tidak ada toilet umum saja, Pak Bram, sopir keluarganya malah berhenti di sini. Caroline Jemima Aguri, gadis blasteran Jerman-Indonesia berusia tiga belas tahun. Berambut cokelat kemerahan dan memiliki mata sewarna langit yang sedang cerah. Jemi, panggilan akrabnya, adalah siswi kelas VIIl salah satu sekolah bertaraf internasional di ibu kota. Pulang pergi selalu dijemput Pak Bram, salah satu sopir keluarga Aguri. Pak Bram biasanya akan selalu ke toilet umum untuk buang air kecil, tapi hari ini pria berusia lima puluh lima tahun itu malah memilih pinggir jalan sebagai tempat membuang air seni. Sungguh sangat tidak bersih dan jorok. Ingatkan dia untuk meminta Pak Bram mandi setelah tiba di rumah nanti. Merasa bosan karena sudah menunggu beberapa menit tapi sopirnya belum juga kembali, Jemi memutuskan untuk keluar dari mobil. Dia ingin menghirup udara segar. Terkurung di dalam mobil meski ber-AC tetap saja pengap baginya. Dengan langkah ringan Jemi menyusuri garis jalanan. Sepasang alisnya berkerut melihat jalan di depannya yang dipasangi garis polisi. Seharusnya Jemi tidak mendekat, dia sudah tahu itu. Namun, dia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Rasa penasaran adalah salah satu kelemahannya. Jangan memintanya untuk menebak atau memberikan teka-teki karena dia tidak akan bisa menjawabnya. Jemi juga terlalu malas berpikir. Untung saja otaknya pintar sehingga dia tidak pernah tinggal kelas. Jemi bergidik melihat genangan berwarna merah kental di jalan. Genangan itu sudah mulai mengering, sepertinya kecelakaan yang terjadi belum lama ini. Bau amis dari cairan berwarna merah pekat itu bahkan masih menyengat. Jemi menutup hidung menggunakan tisu yang selalu tersedia di saku seragamnya, menjauh dari tempat itu. Jemi terus melangkah menyusuri garis polisi, tak peduli lalu lintas yang semakin lama semakin macet. Sekarang sudah sore, sudah waktunya pulang bekerja. Kemungkinan besar Papi juga sedang dalam perjalanan pulang. Hanya dirinya yang masih terjebak di sini karena Pak Bram yang belum juga kembali. Atau mungkin sopirnya itu sudah selesai buang air kecil dan sekarang sedang mencarinya. Memikirkan hal itu Jemi memutar tubuh, dia akan kembali ke tempat di mana mobilnya berada. Sebelum mata birunya menangkap sesuatu di bawah sana, di dekat semak besar. Sudah dikatakan, bukan, kalau Jemi memiliki rasa penasaran yang besar? Sebab rasa penasarannya itulah Jemi menuruni jalan dengan hati-hati. Dia ingin tahu apa yang dilihatnya itu. Jemi mengibas-ngibaskan rok sekolahnya yang sedikit kotor terkena debu jalanan, juga menepuk-nepuk kedua tangannya. Ada beberapa pasir yang menempeli kedua tangannya. Jemi celingukan, mencari objek yang tadi dilihatnya. Dari atas jalan raya, objek itu terlihat di sekitar sini. Jemi melangkah mengitari sekeliling yang diperkirakannya tempat objek yang dicarinya berada. Sudah beberapa menit Jemi mencari tapi dia belum menemukan. Gadis itu nyaris putus asa, sepasang kakinya mengentak. Kesal karena tidak menemukan, Jemi akhirnya memutuskan untuk kembali saja. Dia tidak ingin membuat Pak Bram khawatir. Namun, baru selangkah Jemi beranjak, sudut matanya menangkap sesuatu berwarna putih. Jemi mengerutkan sepasang alisnya, objek berwarna putih adalah yang tadi dilihatnya dari atas jalan raya. Jemi memekik gembira. Setengah berlari menghampiri objek berwarna putih itu yang ternyata sesosok tubuh manusia. Beberapa detik Jemi tidak dapat bersuara. Mata birunya membelalak horor dengan mulut terbuka. Napasnya memburu seperti seseorang yang habis berlari jauh. Itu memang tubuh manusia, Jemi yakin. Apakah itu mayat? Jemi berteriak kencang memanggil Pak Bram setelah kesadarannya kembali. "Pak Bram!" teriak Jemi kencang. "Pak Bram ke sini! Cepetan!" "Non Jemi? Non di mana?" Jemi menoleh mendengar Pak Bram yang balas berteriak memanggilnya. Namun, tak terlihat pria tua itu di atas jalan raya. Sepertinya Pak Bram masih berada di dekat mobil mereka. Sekali lagi Jemi berteriak, menyahuti Pak Bram. "Pak Bram, Jemi di bawah sini!" Jemi kembali memfokuskan perhatian pada sosok tubuh di depannya setelah membalas teriakan Pak Bram tadi. Dia tidak mengenali sosok itu, wajahnya mencium tanah. Jemi sangat penasaran, dia ingin melihat wajahnya. Siapa tahu, 'kan, dia mengenali. Meskipun masih sering disebut anak kecil, tapi Jemi mengenali orang-orang dewasa di sekitarnya dengan baik. Dia juga mempunyai ingatan yang kuat, tidak mudah melupakan begitu saja. "Pak Bram, cepetan ke sini!" Sekali lagi Jemi berteriak memanggil sopirnya yang dinilainya sangat lamban. Dia sudah tidak sabar untuk melihat wajah orang ini. Semoga saja wajahnya tidak rusak atau luka atau .... Jemi bergidik. Dia berharap wajah orang yang dia tidak tahu laki-laki atau perempuan ini baik-baik saja agar mereka bisa mengenalinya. Dia memerlukan Pak Bram untuk membalik tubuh orang itu karena dia sendiri tidak berani. "Astaga, Non Jemi! Kok, ada di sini?" Bramantyo Hadi sudah lama bekerja sebagai sopir pada keluarga Aguri. Sudah sejak sebelum Jemi dilahirkan. Oleh sebab itu Bram tidak segan-segan kepada majikan mudanya ini. Jemi sudah seperti cucunya sendiri. "Non Jemi ngapain di sini?" tanya Bram khawatir. "Nggak takut apa di sini sendirian?" "Takut lah," sahut Jemi dengan memajukan bibirnya. "Makanya Jemi manggil Pak Bram." "Ya, udah, Non. Ayuk kita naik sekarang!" Pak Bram menghela tangan Jemi, tapi gadis itu menepisnya. Dia tidak ingin naik ke atas, masih ingin di sini. Ingin melihat mayat itu. "Tunggu dulu, Pak!" tahan Jemi. "Jemi belum liat muka dia!" Pak Bram melongo. Melihat ke arah yang ditunjuk majikan mudanya. Mata tuanya membelalak sempurna. Sesosok tubuh tergeletak tak jauh dari kaki mereka. Tubuh yang menelungkup itu sepertinya sudah tidak bernyawa. Ini artinya mereka menemukan mayat. Bukan mereka melainkan Jemi. Pak Bram menggeleng cepat, menarik Jemi menjauh dari tempat itu. namun, sekali lagi Jemi menyentak tangannya dari tarikan Pak Bram. "Bapak mau bawa Jemi ke mana, sih?" tanya Jemi dengan bibir mengerucut kesal. "Kan, Jemi bilang mau liat itu bukan mau pulang sekarang!" Kaki Jemi mengentak. Pak Bram menggeleng lagi, menolak keinginan Jemi. "Astaga, Non. Ngapain mau liat mayat?" tanyanya dengan suara bergetar, antara takut dan khawatir. Jemi terlalu bernai sebagai seorang gadis kecil. "Kata siapa itu mayat?" Pipi Jemi menggembung. "Gimana kalo ternyata orang itu belum mati? Terus kita biarin di sini, terus dia mati. Terus bapak ...." Jemi tidak meneruskan perkataannya. Matanya menatap Pak Bram dengan tatapan jahil. Meskipun laki-laki, tapi Pak Bram itu penakut. Jemi sudah mengetahuinya sejak dulu. Pak Bram memiliki rasa khawatir yang berlebihan terhadap sesuatu yang tidak mengkhawatirkan sekalipun. Jemi mengangkat sebelah alis, kemudian menggerakkannya naik turun. Keusilannya selalu saja kumat pada saat seperti ini. "Non Jemi, jangan macam-macam, ya! Bapak nggak takut, tuh!" Pak Bram membuang muka. Jemi tertawa keras melihatnya. Tingkah Pak Bram terlihat sangat lucu di matanya. "Kalo nggak mau dibilang takut, Pak Bram bantu Jemi, dong, buat ngebalikin. Jemi penasaran sama mukanya." Jemi menatap Pak Bram dengan tatapan seekor anak anjing andalannya. Siapa pun tidak ada yang berhasil mengelak dan akan selalu luluh kalau dia sudah mengeluarkan jurus pamungkasnya itu. "Astaga, Non!" Pak Bram mengusap wajah. "Kok, pengen yang nggak-nggak? Kalo pengen itu ya pengen pulang, jangan pengen liat muka mayat." Jemi mencibir melihat Pak Bram yang mengacak rambutnya. Sungguh, dia sangat ingin tertawa tapi ditahannya. Dia tidak ingin membuat Pak Bram semakin stress. "Ayo, dong, Pak!" Jemi menarik tangan Pak Bram kembali mendekat pada sosok di dekat semak. "Cepetan balik, Jemi penasaran sama mukanya." Pak Bram mengembuskan napas kuat melalui mulut. Ia sudah sangat mengenal majikan mudanya. Apa yang diinginkan Jemi selalu didapatkan karena sifat keras kepala dan pantang menyerah yang sudah mendarah daging dalam tubuh gadis mida ini. Mau tak mau ia harus menuruti keinginan Jemi. Sebenarnya ia tidak takut, hanya tidak ingin terlibat masalah saja. Ia tidak ingin berurusan dengan pihak yang berwajib. "Ayo, Pak, cepetan!" Sekali lagi Pak Bram mengembuskan napas sebelum mengangguk lemah dan berjongkok. Kemudian membalik tubuh yang mengenakan pakaian serba putih itu. Jemi langsung berjongkok di samping Pak Bram, di dekat kepala tubuh yang bersimbah darah itu. Mata birunya mengerjap beberapa kali, mengamati pakaian yang dikenakan orang ini. Sepasang alis Jemi terangkat menyadari kalau sosok ini ternyata seorang laki-laki. "Dia cowok, Pak," bisik Jemi. Pak Bram tidak menyahut, ia hanya mengangguk. Suaranya masih belum kembali. Bahkan ia tidak bisa melarang Jemi untuk tidak menyentuh tubuh yang diyakininya sudah menjadi mayat. "Nggak ada tanda pengenalnya," ucap Jemi kecewa. Dia sudah memeriksa ke semua tempat yang memungkinkan seseorang menyimpan dompet, tapi tidak menemukan. Laki-laki ini sepertinya tidak membawa dompet. Atau dompetnya dicuri yang artinya laki-laki ini adalah korban perampokan. Pantas saja tubuhnya dibuang di pinggir jalan seperti ini. "Korban perampokan kali, ya, Pak Bram, ya?" Jemi bertanya menatap wajah sopirnya. Pria berusia lebih dari setengah abad itu kembali mengangguk. Sungguh, suaranya hilang saking terkejutnya. Beberapa detik kemudian ia kembali dikejutkan oleh pekikan Jemi. "Dia masih hidup!" Jemi memekik gembira. Tangannya menggoyang-goyangkan lengan Pak Bram yang menatap tak percaya ke arah tubuh laki-laki itu. "Pak Bram, dia masih hidup. Jemi masih ngerasain napasnya." Mata Pak Bram melebar. Tadi ia melihat Jemi meletakkan jari telunjuk dan jari tengah di depan lubang hidung laki-laki itu. Apakah Jemi sungguh-sungguh? Seandainya benar mereka perlu melaporkan kepada pihak berwajib. "Non serius?" tanya Pak Bram dengan suara serak. Ia baru saja menemukan kembali suaranya. Jemi mengangguk cepat. "Serius pake banget!" Senyum lebar menghiasi bibir merah muda tanpa polesan Jemi. "Tapi denyut nadinya lemah. Dia harus cepat-cepat ditolong kalo nggak bisa tewas." Sekarang wajah cantik perpaduan Asia dan Eropa itu mengerut cemas. Dari tatapan anak anjing yang kembali dilayangkan Jemi, Pak Bram tahu apa keinginan majukan mudanya. Keinginan yang gila kalau menurutnya. "Non ...." "Pokoknya Pak Bram bantu Jemi, kita bawa dia pulang ke rumah. Kasihan." Benar, bukan, dugaannya? Ia tidak ingin terlibat masalah, tapi majikan mudanya sangat senang mencari masalah. Pak Bram menggeleng sekali, kuat. Ia terpaksa kembali harus menuruti keinginan Jemi. Jemi tersenyum lebar. Dia lebih dahulu berdiri, menjauh untuk memberi ruang pada Pak Bram. Jemi menunggu dengan sabar saat Pak Bram berusaha membangunkan tubuh laki-laki yang menurut Jemi masih hidup. Pak Bram menatap Jemi beberapa detik sebelum memapah tubuh laki-laki tak dikenal ini. Rasanya sangat berat dan susah untuk me.bawanya ke atas, tak ada seorang pun yang membantunya. Namun, Pak Bram tetap berusaha. Jemi benar, laki-laki ini masih hidup, tubuhnya masih hangat meski terdapat banyak luka. "Jemi bantu, Pak!" Tanpa menunggu Pak Bram menjawab, Jemi juga ikut memapah laki-laki itu. Meski mereka membawanya berdua, tetap saja sulit. Jalan menanjak membuat mereka beberapa kali hampir jatuh. Setelah berusaha keras selama beberapa menit, akhirnya Jemi dan Pak Bram berhasil membawa laki-laki itu ke atas. Pak Bram segera memasukkannya ke dalam mobil. Membaringkan tubuh itu dengan hati-hati di jok belakang. Jemi mengembuskan napas lega. Segera duduk di samping Pak Bram dan menyentuh nomer Papa untuk kemudian menelepon pria yang sudah membuatnya ada di dunia ini. Dia akan meminta Papa menyediakan alat-alat penopang kehidupan untuk mengobati laki-laki yang baru saja dia temukan. Juga memanggil dokter untuk memeriksanya. *** "Ganteng!" Jemi memandang takjub pada wajah laki-laki yang beberapa saat tadi ditemukannya di pinggir jalan. Laki-laki itu sudah dibersihkan, seluruh tubuhnya sekarang dipasangi selang. Kata dokter Steven, selang-selang itu berguna untuk menopang kehidupan laki-laki yang tidak mereka ketahui namanya sampai sekarang. Jemi memanggilnya dengan sebutan dia. Jemi menatap iba pada wajah tampan yang terpejam. Kondisi laki-laki ini kritis. Seluruh tubuh sampai wajahnya dipenuhi luka, tapi tidak membuat kadar ketampanannya berkurang. Jemi tidak pernah bosan menatapnya. Sayang laki-laki ini tidak memiliki tanda pengenal, juga masih belum sadar meski sudah memasuki hari ketujuh sejak ia dibawa ke rumah ini. Jemi mengembuskan napas melalui mulut. Kata dokter Steven lagi, kalau sampai laki-laki ini tidak bangun selama empat minggu, maka ia akan dinyatakan koma. "Sepertinya dia memiliki trauma." Jemi mengerti siapa yang dimaksud 'dia' oleh dokter Steven. Tentu saja laki-laki korban perampokan yang ditemukannya itu. "Traumanya itu mengakibatkan dia tidak ingin bangun." Jemi melongo. Apakah benar seperti itu? Bagaimana mungkin ada orang yang tidak ingin bangun? Sulit dipercaya. "Lagipula, luka-luka yang dideritanya sangat parah. Sudah kukatakan kalau dia kritis, bukan?" Pertanyaan itu bukan hanya untuk Jemi, tetapi juga untuk pria berambut tembaga di sisi gadis itu. Pria itu adalah Felix Aguri, Ayah Jemi. Felix menuruti keinginan putri tunggalnya untuk merawat laki-laki yang tidak mereka kenal di rumah mereka. Bukan hanya karena Jemi, Felix melakukannya, tetapi semua ini semata-mata karena kemanusiaan. Ia kasihan pada laki-laki itu yang kelihatannya masih sangat muda. Sebisa mungkin ia akan menolongnya. Perjalanan laki-laki itu masih panjang. "Lalu, apa yang bisa kita lakukan?" tanya Felix. "Just wait (Menunggu)," jawab Steven. "Hanya itu yang bisa kita lakukan."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
203.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
115.9K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.8K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook