Bab 8. Trauma?

2065 Words
Rumah sakit selalu membangkitkan kenangan buruk bagi Arion. Ia tidak suka pada bau obat-obatan yang pekat menusuk hidung. Kepalanya berdenyut ketika bau-bauan itu memasuki rongga hidungnya. Entah sejak kapan ia tidak menyukai aroma obat-obatan dan rumah sakit, sepertinya sebelum ia kehilangan ingatan. "Are you okay, A?" tanya Jemi dengan sepasang alis berkerut. Tatapannya khawatir pada pria muda itu. "You don't look well." Arion menggeleng, segera menjauhkan tangannya dari pelipis. "Aku nggak apa-apa," jawabnya tersenyum. Bukan senyum yang dipaksakan karena denyutan di pelipisnya berkurang saat ia menatap Jemmy. "Nggak usah bohong, deh!" Jemi berdecak. "Kamu pucat, A!" "Emang kalo pucat kenapa?" tanya Arion lirih. Mereka berada di ruang tunggu di rumah sakit. Tepatnya di depan ruangan dokter Steven, akan mengganggu pasien lain jika mereka berisik. "Trust me, aku nggak apa-apa. Cuman agak pusing sedikit aja, mungkin karena bau obat pekat banget." Alis brunette Jemi berkerut tajam. Tangannya terangkat, membingkai pipi Arion. "Beneran pusing, ya?" tanyanya lembut. Arion mengangguk. "Ya, udah. Kalo gitu kita pulang aja daripada kamu nggak nyaman." Jemi melepaskan tangannya dari pipi Arion. Dia berdiri, merapikan pakaian dan rambutnya yang dibiarkan terurai. "Where are you going?" tanya Arion. Alisnya berkerut melihat Jemi menepuk-nepuk celana di bagian belakangnya, seolah membersihkannya dari debu yang menempel. "Pulang," sahut Jemi cepat. "For what?" Arion mengulum senyum. "Aku, 'kan, ngerasa pusing dikit, harusnya dicek bukannya diajak pulang," katanya tertawa. Jemi mengerucutkan bibir. Dia kembali duduk di samping Arion. "Kali aja, 'kan, kamu mau pulang," katanya dengan kepal tertunduk, menyembunyikan pipinya yang memerah. "Biar kita check up nya besok aja." "Nggak bisa, Baby." Arion mengacak rambut Jemi gemas. "Jadwal aku hari ini, jadi, ya, harus hari ini." Jemi berdecak. "Tapi nunggunya lama banget, A!" protesnya, melirik tajam ke arah ruangan dokter Steven yang tertutup. "Bosan tau, nggak!" "Antre, Baby," ucap Arion pelan. Ia harus menjelaskan dengan hati-hati, jangan sampai Jemi mengamuk, atau memaksanya untuk pulang. Ia harus tetap menjalani tes itu hari ini, tidak ingin menundanya. Ia tak ingin mendatangi rumah sakit lagi, tak ingin menyiksa dirinya dengan berbagai perasaan tak enak yang masih belum diketahui sumbernya. Beruntung sore ini ia bersama Jemi. Jika yang lain yang menemaninya, atau Jemi berhalangan karena ada keperluan yang lebih penting, bisa dipastikan ia tidak akan bisa menunggu sampai selama ini. "Salah kita juga, 'kan, tadi datangnya telat." Jemi masih berusia tujuh belas tahun, emosinya masih labil, sering naik turun dengan cepat. Ia harus lebih sabar dalam menyikapinya. Arion mengusap rambut Jemi, membawa tubuh mungilnya ke pelukannya. "Kalo capek, tidur aja," bisiknya. "Nggak mau!" Jemi menggeleng di d**a Arion. "Kita ngobrol aja, ya, A!" pintanya menegakkan punggung. Arion tersenyum. "Boleh, ngobrol apa?" Jemi memiringkan kepala, hidungnya berkerut, begitu juga dengan bibirnya yang sore ini dipulas lipbalm berwarna peach. Dia sedang mencari topik obrolan yang akan menarik untuk dibahas di sore hari menjelang malam ini. Beberapa menit berlalu, dan Jemi masih dalam posisi yang sama. Sebenarnya, dia sudah menemukan bahan yang akan menjadi topik obrolan mereka, tetapi dia tidak enak jika harus membicarakannya di sini. Terlalu sensitif untuk diketahui banyak orang. Namun, karena tidak kuat dengan penasaran, dan takut jika tidak bertanya sekarang dia akan lupa, Jemi akhirnya menanyakannya juga. "A, kamu kenapa tadi siang? Apa kamu mimpi buruk lagi?" tanya Jemi hati-hati. Arion menaikkan alisnya. "Tadi siang?" ulangnya bertanya. "Tadi siang, 'kan, aku tidur siang. Ketiduran, sih, sebenarnya nunggu kamu pulangnya lama." Ia meringis. Jemi memutar bola mata. "Pas kamu tidur itu, A!" sentaknya dengan mulut meruncing. "Kamu mimpi apa?" Nada suaranya melembut saat bertanya, bahkan terdengar lirih nyaris berbisik. "Nanti aku ceritain pas balik rumah aja, ya?" Arion balas berbisik, memeluk tubuh Jemi erat. Tubuhnya kembali bergetar saat mengingat mimpinya yang sangat menakutkan baginya. Jemi merasakannya. Getaran tubuh Arion masih saja kentara meskipun dia yakin pria itu sudah berusaha menekannya. Arion selalu seperti ini jika dia menanyakan perihal mimpinya. Seolah mimpi itu merupakan sebuah trauma baginya. Jemi membalas pelukan Arion sama erat. Dia ingin pria muda itu sadar jika dia tidak sendirian. Masih ada dirinya dan orang-orang lain yang juga menyayanginya, seperti papinya dan Om Steven. Seandainya gilirannya masih lama,mungkin Arion tidak akan bisa bertahan lagi. Kemungkinan besar ia akan pingsan karena denyutan di kepalanya semakin menjadi. Rasanya mau pecah. Beruntung namanya dipanggil lima menit kemudian oleh perawat cantik yang bertugas sebagai resepsionis. Tidak banyak pemeriksaan yang dijalani Arion malam hari ini. Hanya ada beberapa pemeriksaan organ dalam, untuk memastikan seluruh organnya berfungsi dengan baik, juga beberapa pertanyaan yang perlu dijawabnya. Ia juga menceritakan beberapa keluhannya, seperti nyeri dan pusing yang menyerang setelah ia terbangun dari mimpi. Menurut dokter Steven, nyeri dan pusing yang dialami merupakan sesuatu yang wajar karena otak kita menolak mimpi itu. Tidak ada seorang pun yang menginginkan mengalami mimpi buruk di dalam tidurnya. Namun, Jemi menyanggah semuanya. Dia yakin ada yang tidak beres dengan itu. Dia berpendapat, mungkin saja Arion memiliki trauma, atau bisa saja itu kejadian nyata yang tidak ingin diingat lagi olehnya, sehingga otaknya melakukan perlawanan dengan memunculkan rasa sakit itu. Memang terdengar sedikit tidak masuk akal, apalagi Jemi mendeskripsikannya dengan sedikit dibumbui aroma dari film-film bertema fantasi kesukaannya. Jadilah ia seperti sebuah trauma yang sangat parah. "Mimpiku selalu sama setiap malamnya, Dokter," kata Arion dengan tatapan kosong. Tangannya menggenggam tangan Jemi kuat. "Mobil terbakar dan aku yang berada di dalam mobil. Nggak hanya aku, tapi juga ada orang lain, mungkin orang tuaku atau yang lain. Yang pasti mereka orang-orang dewasa, dan aku kayaknya masih kecil. Suaraku nggak sebesar sekarang." Alis tebal dokter Steven berkerut. Sepertinya apa yang dikatakan Jemi benar. Ada kemungkinan Arion mengusap trauma saat pria muda itu masih dalam keadaan baik-baik saja. Maksudnya, tidak mengalami amnesia seperti sekarang. "Nggak cuma pusing sama sakit kepala aja, Om, tapi A juga gemetar." Jemi menambahkan. Jangan bertanya dari mana dia mengetahui keadaan Arion yang seperti itu, dia melihatnya sendiri. Kamarnya yang berdekatan dengan kamar tidur Arion membuatnya dapat mendengar apa yang terjadi di kamar pria itu. Setiap kamar tidur di kediaman keluarga Aguri memang dilengkapi dengan peredam suara agar orang yang berada di luar kamar tidak mendengar suara yang berasal dari dalam kamar, dan mereka tidak terganggu. Jemi dapat mendengar suara Arion karena dia selalu meminta pria itu untuk tidak menutup rapat pintu kamarnya. "Terus juga keringetan sama sesak napas." "Is it true, A?" tanya dokter Steven. Tatapannya terarah pada Arion yang masih memijit pelipisnya sedari tadi. "How about now, apa kamu merasakan sakit lagi?" Arion menggeleng, kemudian mengangguk. "I don't know," sahutnya sambil mengibaskan tangan kacau. "It's just sometimes." "How about now?" Dokter Steven mengulangi pertanyaannya. "Apa masih sakit?" "Sakitnya beda," jawab Arion dengan suara bergetar. Kedua tangannya mengepal erat. Bulir-bulir keringat mulai membasahi pelipisnya. Steven mengembuskan napas melalui mulut. Melihat keadaan Arion saat menceritakan mimpinya, ia menyimpulkan jika pria muda di depannya ini memang memiliki riwayat trauma. Entah karena apa, mungkin seandainya ingatannya kembali ia dapat membantunya mengatasi traumanya. Ia memiliki teman seorang psikiater yang pekerjaannya sangat bagus. Ia yakin bisa membantu menyembuhkan trauma yang diderita Arion. Namun, sebelum itu mereka harus tahu dulu apa yang menyebabkan trauma itu agar dapat menangani masalah dengan tepat. "Now, just relax, A!" Dokter Steven menatap lurus ke dalam manik mata Arion. "Take a breathe. Tarik napas pelan-pelan, simpan di paru-paru, embuskan pelan." Arion melakukan apa yang dikatakan dokter Steven. Berulang kali seperti itu sampai ia merasa denyutan di kepalanya berkurang. Detak jantungnya juga berangsur normal. "You did it!" bisik Jemi tepat di telinga Arion. "Because of you!" balas pria itu. Jemi tidak pernah melepaskan pegangan tangannya, selalu menggenggam dengan erat. Mungkin, seandainya Jemi melepaskan genggaman tangannya, ia tidak akan kembali lega seperti ini. Jemi tersenyum, mencium pipi Arion tanpa peduli pada Steven yang menatap kemesraan mereka dengan mata memicing. "Uncle Steven, jomlo dilarang jealous!" Jemi tertawa setelah menjulurkan lidahnya mengejek pria yang sudah dianggap sebagai Ayah keduanya. Steven mendengkus, membuang muka menghindari tatapan mengejek Jemi. "Makanya, uncle cari pacar, dong, biar nanti double date sama Jemi sama Arion." Jemi terus berceloteh sambil cekikikan. "Bilang aja kamu mau uncle yang bayar kalo kita lagi makan," gerutu Steven. Ia sudah tahu watak putri sahabatnya, Jemi sangat suka bercanda, dan sedikit tidak tahu malu. Jika mendengar kata traktir atau gratis, telinganya akan menjadi panjang. "You know me so well, Unc!" Jemi terus tertawa, mengejek Steven yang notabene masih berstatus sebagai perjaka yang tidak lagi tong tong. "Kamu nggak malu pacaran minta bayarin sama uncle?" tanya Steven dengan mimik mengejek yang sama dengan yang Jemi lakukan. "Nah nah nah!" Jemi menggeleng. "Ngapain Haris malu, 'kan, Jemi sama A masih belum kerja, jadi masih belum punya uang sendiri kecuali dikasih." Steven memutar bola mata. Dalam hati berdecak, menyesali kenapa ia selalu kalah jika berdebat dengan gadis seusia Jemi. Seolah para remaja selalu satu langkah di depannya. "Kalian pulang sana!" usir Steven sambil mengibaskan tangan. "Masih ada beberapa pasien lagi yang harus uncle check kesehatannya." Jemi menggembungkan pipi, mata birunya mendelik. "A, check up kamu minggu depan lagi. Kali ini bareng sama psikiater." Steven memberi tahu sebelum pasangan yang berbeda usia lebih dari lima tahun itu meninggalkan ruangannya. Arion hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia merasa memang sangat membutuhkan seorang psikiater. Ia ingin bertanya tentang mimpinya, ingin menceritakannya. Terutama tentang para perempuan yang dilihatnya di dalam mimpinya tadi siang. Tak mungkin ia seorang penjahat kelamin, 'kan? Arion menggeleng samar, tak ingin membuat Jemi khawatir jika melihatnya. Gadis berambut sewarna cokelat tembaga itu terlalu peka, selalu dapat menangkap setiap ekpresinya. "Kamu bisa nyetir nggak, A?" tanya Jemi saat mereka sudah di dalam mobil. Pak Bram yang mengemudikan hanya diam mendengarkan. Ia sudah terbiasa dengan celotehan Jemi yang seperti kicauan burung. Jika gadis itu berdiam diri pasti ada sesuatu yang terjadi padanya. Jika dia tidak sakit, berarti sedang memiliki masalah. Arion mengangguk. Ia membuka mulut ingin menjawab bisa, tetapi kemudian langsung ditutupnya kembali. Bayangan-bayangan menakutkan yang dilihatnya di dalam mimpi kembali berkeliaran. Meskipun hanya sesaat, rasa takutnya membuatnya gemetar. "A, kamu nggak apa-apa?" tanya Jemi dengan alis berkerut. Wajah tampan pria itu tampak pucat, keringat mulai membasahi pelipisnya. Jemi memeluk Arion erat. Menempelkan telinga tepat di d**a kirinya, mendengarkan detak jantungnya yang seakan berlomba. Dia mendongak, menatap Arion yang tengah memejamkan mata. Tangannya terangkat mengusap pipinya yang dingin dan lembap. Mata obsidian Arion perlahan terbuka, bibirnya berusaha mengulas senyum agar gadis yang tengah memeluknya tidak khawatir. "Aku baik-baik aja," bisiknya, kemudian menciumi puncak kepalanya. Sebenarnya, Arion ingin memberi tahu Jemi perihal mimpinya tadi saat ia tidur siang. Namun, ia tidak ingin Jemi takut padanya karena mimpi itu. Ia tak bisa tanpa Jemi, ia sudah seperti ketergantungan terhadapnya. Hanya Jemi yang bisa membuatnya merasa aman. Terbalik, bukan? Seharusnya Jemi yang merasa aman bila di dekatnya, seharusnya ia yang bisa melindunginya dan memberinya kenyamanan, bukan sebaliknya. Arion menyadari, dirinya lemah, rapuh tanpa Jemi. Hanya dia yang mampu membuatnya bertahan, hanya dia yang membuatnya kuat menghadapi semuanya. Percayalah, bangun tanpa adanya ingatan adalah sesuatu yang paling menyedihkan. Kau seperti seorang bayi tetapi dalam wujud dewasa. Arion langsung membawa Jemi ke kamarnya begitu mereka tiba di rumah. Ia sudah memutuskan untuk menceritakan pada Jemi perihal mimpinya tadi siang. Sangat konyol memang karena tidak biasanya ia mengalami mimpi saat tidur di siang hari. Mimpi itu adalah mimpi yang berbeda. "I want to tell you something!" kata Arion setelah mereka duduk di sofa panjang yang ada di kamarnya. "Okay ...." Jemi mengangguk. Sepasang alisnya berkerut melihat betapa seriusnya wajah Arion. "All about my dream this afternoon, and please, don't you be afraid of me after you hear it." Arion menggenggam tangan Jemi erat. Ini juga masih menjadi salah satu pertanyaan yang belum terjawab sampai sekarang. Dari mana ia mengerti dan bisa berbahasa seperti Jemi, bahasa internasional yang tidak banyak orang Indonesia bisa mengerti dengan baik. Apakah ia juga sering menggunakan bahasa itu dalam percakapan sehari-hari saat masih belum amnesia? "Maksud kamu apa, A?" tanya Jemi takut-takut. "Kamu nggak mimpi serem, 'kan? Kalo iya, kamu nggak perlu cerita, kok, aku nggak mau denger juga." Dia menggeleng dengan wajah berkerut, antara bingung dan takut. Arion menggeleng. "Bukan, bukan itu, tapi ...." Jeda. Ia mengusap wajah kasar sebelum melanjutkan. "Aku mimpi liat cewek-cewek berbaring di atas tempat tidur dengan keadaan ...." "Keadaan apa?" Arion menatap Jemi dengan tatapan bersalah. Tidak seharusnya ia menceritakan mimpinya pada Jemi, usianya masih sangat muda untuk masalah dewasa seperti yang terjadi di mimpinya. Ia tak ingin mengotori otak polosnya. "Kenapa, A? Keadaan apa?" Jemi terus mendesak karena Arion masih belum menjawabnya, pria itu masih menatapnya dengan tatapan itu-itu juga. Arion seolah menyesal akan sesuatu, tetapi dia tidak tahu apa itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD