11. The Wedding

1108 Words
Di salah satu kamar yang ada di rumah besar Gavin, Damasa duduk dengan resah di depan meja rias. Pagi ini dirinya sudah cantik dengan baju kebaya yang membalut tubuhnya, rambut yang di tata sedemikian rupa dengan rangkaian melati yang menjuntai. Disana dia tidak sendirian, ada Fika yang Menemaninya. Sedari tadi dia resah, gelisah, di tambah lagi perutnya juga mulas. Di luar sepertinya acara ijab qobul akan segera di mulai. Dalam keadaan seperti ini pikiran jeleknya masih saja muncul. Berharap pernikahannya dengan Gavin akan gagal. Siapa tahu calon Gavin yang kemarin pergi tiba-tiba muncul dan menggagalkan acara ini. Atau Gavin melakukan kesalahan, seperti tiga kali salah dalam mengucapkan ijab qobul yang artinya mereka tidak bisa menikah. Astaga... Damasa merasa dirinya jahat sekali. "Muka kamu nggak enak banget di lihatin, Sa, " Ucap Fika yang berdiri tidak jauh darinya. "Kayak orang lagi nahan pup. Emangnya lagi kebelet? Kalau kebelet mending ke belakang aja mumpung si Gavin belum ijab qobul. " Damasa melirik Fika sebal. Siapa juga yang kebelet pup. Yang ada dia ingin pernikahannya batal. "Orang nikah seharusnya bahagia. Mukanya cerah, happy, bukannya kayak orang nahan pup. Udah nggak sabar, ya, di sahin sama Gavin. " Goda Fika. "Aku nggak nyangka ternyata kamu nikahnya sama si Gavin. Tapi nggak apa-apa, lah, walau nikahnya gantiin cewek lain secara Gavin ganteng, tajir, pengacara hebat lagi. Kamu beruntung banget, Sa. " Mungkin semua orang berkata dirinya beruntung, sayangnya dia merasa tidak. Dari luar terdengar kata 'SAH' yang membuat Damasa lega bercampur deg-degan. Ternyata Gavin lancar mengucapkan ijab qobul-nya. Sekarang dirinya sah menjadi istri Gavin Alexander Wiguna. Laki-laki menyebalkan, tengil, yang juga mantan pacarnya. "Selamat, ya, Sa, " Ucap Fika. Damasa hanya mengangguk kaku. Tidak lama kemudian ibunya membuka pintu dengan senyum bahagianya. Berjalan menghampiri sang putri yang tampak cantik dengan balutan kebaya modern. "Selamat, ya, sayang... " Ucap bu Hilya. " Sekarang kamu sudah sah menjadi istri nak Gavin. " Damasa mengangguk sambil memaksakan senyum bahagia. Ibu memeluknya sembari mengatakan kata maaf berulang kali yang membuat Damasa menjadi sedih. Bu Hilya sadar, seharusnya putrinya bisa menikah dengan laki-laki yang ia cintai. Bukanya merelakan diri menikah dengan laki-laki yang di tinggal pergi oleh calon istrinya demi membayar tagihan rumah sakit sang ayah. Sebagai orang tua bu Hilya dan pak Surya sangat merasa bersalah. "Ayo, kita keluar. Gavin sudah menunggu kamu. " Ajak bu Hilya. Damasa mengangguk tapi sebelumnya ia menghapus air mata yang terlanjur meluncur dari matanya. Sang pengantin keluar dari kamar di apit oleh bu Hilya dan Fika. Berulang kali Fika mengingatkan Damasa untuk tersenyum. Tidak pantas seorang pengantin terlihat murung apalagi sedih. Walau berat gadis itu tetap melakukannya. Dia tidak boleh terlihat sedih apalagi terpaksa di pesta pernikahannya. Di tempatnya Gavin tak berkedip saat melihat Damasa menuruni tangga bersama mertuanya dan sahabatnya. Istrinya begitu cantik dalam balutan kebaya pilihan ibunya. Seharusnya detik ini, menit ini, jam ini, yang berjalan kearahnya adalah Rea. Kekasihnya yang bertahun-tahun telah bersamanya. Mengingat wanita itu hati Gavin serasa di remas. Namun ternyata Tuhan mempunyai rencana lain. Tuhan mengirim Damasa, wanita yang menjadi cinta pertamanya dan mungkin juga akan menjadi cinta terakhirnya. Walaupun pernikahan ini diawali karena Keterpaksaan. Gavin tersenyum saat Damasa duduk di sebelahnya. Hatinya pun menghangat saat istrinya tersenyum padanya. "Kamu cantik. " Bisik Gavin yang membuat istrinya tersipu. Pak penghulu menyuruh kedua mempelai menandatangani surat nikah. Di lanjut dengan Damasa yang mencium tangan Gavin untuk pertama kalinya, begitu juga Gavin yang mencium kening istrinya. Setelah itu mereka bertukar cincin, berfoto, dan melakukan sungkeman. Sesekali, bahkan hampir berulang kali Damasa mendengar kalimat itu. Walau terdengar bisik-bisik, dia masih bisa mendengarnya. Kok pengantin wanitanya beda, ya? Nama sama fotonya juga beda Bukanya Gavin seharusnya menikah sama Rea. Siapa wanita itu? Dia bukan Rea. Apa Gavin selingkuh? Apa Gavin mencampakkan Rea? Dan masih banyak lagi. Tapi Damasa berusaha tidak perduli. Sekarang dirinya adalah istri sah Gavin. Dia harus bisa menghadapi semuanya, termasuk omongan orang. Tamu yang datang pagi ini yang kebanyakan keluarga Gavin saja berbicara seperti itu, apalagi nanti malam saat resepsi. *** Acara resepsi yang di selenggarakan di salah satu hotel bintang lima di Jakarta seharusnya selesai pukul sembilan malam. Namun acaranya molor satu jam menjadi jam sepuluh malam karena banyaknya tamu yang datang. Orang tua Damasa tidak mendampinginya selama acara resepsi. Dia mengerti sebab keadaan sang ayah yang masih lemah. Namun ia bersyukur tadi pagi saat acara ijab qobul seluruh keluarganya ada disana. Fika, sang sahabat menepati janjinya. Gadis itu berada di acara resepsi untuk menemaninya. Tak lupa Fika membawa pacar setengah bulenya yang tampan itu. Damasa tidak menyangka tamu undangan pernikahannya sangat banyak. Dia yakin yang banyak datang adalah tamu mertuanya ketimbang tamu Gavin. Maklum, orang kaya raya. Kakinya rasanya mau patah, di tambah lagi dia harus senyum lima jari sesari tadi. Teman-teman kerjanya pun ia undang. Semuanya datang dan mengucapkan selamat untuknya. Dan dari mereka juga dia baru tahu jika perusahaan tempatnya bekerja adalah milik keluarga Gavin. Pemimpin perusahaannya juga ternyata adalah Tomy, kakak Gavin. Mengetahui hal itu Damasa menelan ludah serat. Ternyata dia menikahi Gavin dari keluarga konglomerat. Dia merasa payah sekali sebab tidak mengetahui apa-apa. Ya.. Mau tahu darimana. Pernikahan mereka saja mendadak. "Kamu capek? " Suara lembut di sebelahnya menyadarkan Damasa. Pengantin cantik itu menoleh lalu menggelengkan kepala. Padahal capeknya luar biasa. Akhirnya acara resepsi selesai juga. Damasa dan Gavin diantar ke kamar mereka yang ada di lantai sepuluh hotel itu. Ingin sekali Damasa langsung merebahkan diri di kasur tampa harus melepaskan gaunnya, menghapus make up, apalagi mandi. Kamar hotel itu begitu besar. Diatas ranjang terlihat ada taburan kelopak mawar merah dan handuk yang dibentuk angsa. Ingin sekali ia langsung tidur disana. Gavin yang berdiri tidak jauh darinya membuka tuxedo hitamnya lalu di susul sepatunya. "Kamu mandi duluan saja. " Damasa yang berdiri tidak jauh darinya hanya mengangguk kaku. Damasa masuk kedalam kamar mandi. Baru saja ia ingin menutup pintu tiba-tiba Gavin ikut masuk kedalam. "Kam-kamu ngapain ikut masuk? Aku mau mandi." Damasa mulai was-was. Gavin menoleh sesaat untuk menutup pintu lalu menguncinya. Disusul seringaian suaminya yang membuat takut. "Kam-kamu jangan macam-macan, ya, Gavin. " Peringatnya. "Memangnya aku mau apa? " Gavin mendekat dan itu membuat Damasa mundur sampai punggungnya menyentuh dinding kaca kamar mandi. "Jangan kurang ajar, Gavin, aku akan teriak. " Ancamnya. Mendengar itu Gavin tertawa. "Itu malah lebih bagus, sayang. Orang-orang akan berpikir kalau permainan kita sangat panas sampai kamu berteriak-teriak. " Damasa melotot di buatnya. Haruskah sekarang? Haruskah dirinya melayani Gavin malam ini? Apa boleh di pending dulu? Jujur saja Damasa belum siap. "Jangan melotot seperti itu, sayang. Kamu malah bikin aku pengen cepat makan kamu. " Tubuh mereka begitu dekat. Damasa sampai menahan nafas saat wajah Gavin mendekati wajahnya lalu mencium pipinya kemudian turun ke lehernya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD