5. Foto Prewedding

1193 Words
Damasa pikir ia akan terbebas setelah fitting baju pengantin. Ternyata dia salah besar. Ternyata calon mertuanya itu mengajaknya makan malam sebelum mengajaknya lagi ke studio foto untuk melakukan foto prewedding. Tubuh Damasa terasa remuk. Maunya istirahat di kasurnya yang nyaman. "Kamu capek? " Tanya Gavin yang berdiri disebelahnya. Sedari tadi lelaki itu memperhatikan wajah Damasa yang terlihat lelah. "Enggak." Balas Damasa. Sebisa mungkin Damasa terlihat baik-baik saja walaupun aslinya mau marah, mau teriak, mau tonjok muka si Gavin, jambak rambut dia juga tapi semua itu hanya bisa terjadi dalam angan-angannya. Damasa menurut saja saat di make up, di suruh berganti baju. Semuanya sudah di persiapkan oleh keluarga Gavin yang super tajir. Memang orang kaya tidak ada bandingannya. Dalam hati Damasa berharap tidak akan melakukan adegan mesra dengan Gavin. Mereka melakukan dua sesi foto prewedding. Yang pertama menggunakan baju casual. Damasa manut-manut saja saat sang fotografer mengarahkan gaya. Dan beruntungnya dia bisa berakting dengan baik. Wajah kesal, marah, sebal, jengkel dia singkirkan terlebih dahulu. Beruntungnya lagi Gavin bisa mengikuti. Andai saja Gavin tidak bisa mengikuti dan harus mengulang-ulang gaya foto mereka mungkin Damasa akan menjambak-jambak rambut lelaki itu. Foto selanjutnya mereka, Damasa memakai gaun berwarna broken white tanpa lengan, rambutnya di gerai, dan tak lupa buket bungan mawar putih. Sedangkan Gavin sudah gagah dengan tuxedo berwarna hitam. Sang fotografer mengarahkan agar mereka saling menatap penuh cinta, tak lupa tangan Gavin di letakkan di pinggangnya. Damasa maunya protes tapi bisa apa? Dia masih butuh uang dari keluarga Gavin. "Senyum." Desis Gavin saat mereka berhadapan. "Males." Balas Damasa yang tidak sesuai dengan sikapnya. Dia kesal tapi menatap Gavin penuh cinta. "Bagus." "Ok, begitu, tahan, bagus... " Kata sang fotografer. Ibu Gavin yang sedari tadi berada disana senang dengan hasilnya. Dia senang dengan Gavin yang langsung bisa dekat dengan Damasa begitupun sebaliknya. Dia merasa Damasa lebih baik dari pada Rea. Ya... Walaupun gadis itu bukan berasal dari keluarga kaya seperti mereka. *** Damasa menekan bel pintu sebuah apartemen. Tubuhnya lelah bukan main, yang ia inginkan hanya istirahat. Kali ini dia tidak pulang ke rumah tapi pulang ke apartemen sahabatnya, Fika. Tidak tahu kenapa Damasa merasa Fika terlalu lama membuka pintu apartemennya. Namun akhirnya sahabatnya itu membuka pintunya. "Lama banget, sih, buka pintunya. " Keluh Damasa yang langsung masuk kedalam apartemen tanpa menunggu di persilahkan. "Tumben kesini nggak bilang? " Tanya Fika balik sambil menutup pintu. "Cowok kamu ada disini? " "Nggak ada. " "Aku capek banget... Badan aku sakit semua. " Damasa menghempaskan diri di sofa. Menyandarkan punggung serta kepala di sandaran sofa. "Malam ini aku nginep sini, ya? " Gadis itu menoleh pada Fika yang duduk di sebelahnya. "Boleh. Kamu langsung dari kantor? " "Enggak. Tadi ada urusan sebentar. " "Gimana keadaan papa kamu? " "Sudah membaik. " "Kamu nggak ke rumah sakit? " "Udah tadi pagi sekalian ke kantor. " 'Kamu udah makan? " "Udah tadi. " Damasa mengangkat kepalanya lalu menatap sahabatnya. "Fika, aku mau cerita sesuatu sama kamu. " "Carita aja. Kayaknya serius banget. " "Ini memang sangat-sangat serius. " "Ada apa? " Fika jadi penasaran. "Aku mau nikah. Lima hari lagi. " "Whaaaattt? " Pekik Fika tak percaya. "Serius kamu? Jangan bercanda, deh! " "Aku serius, Fika.... Lihat, nih, muka aku emang ada lagi becanda. " "Enggak, sih. Tapi jangan gila, deh!. Setau aku kamu itu nggak punya pacar. Deket sama cowok juga nggak. Emangnya mau nikah sama siapa? " "Emangnya orang nikah harus punya pacar dulu. " "Ya, iyah. Setidaknya harus deket sama seseorang. Apa kamu di jodohin? " Damasa menghela nafas panjang. "Gimana, ya, nyebutnya? Di jodohin bukan, di paksa nikah juga bukan. " "Maksudnya gimana? Jangan muter-muter, deh! " "Kamu tau papa aku sakit, butuh banyak biaya. " "Terus... " "Jujur aku nggak punya uang sebanyak itu. Mau jual toko pun kayaknya nggak akan cukup. Kalaupun jual rumah terus aku sama keluarga aku mau tinggal dimana? Mau jual ginjal tapi aku ragu. Hutang kesana kemari pun nggak ada yang minjemin. Saat aku bingung sebuah tawaran datang. " "Tawaran apa? " "Menikah dengan seseorang. " "Jadi maksudnya kamu nerima tawaran untuk nikah sama orang yang nggak kamu kenal gitu? " Damasa mengangguk. "Gila." "Aku nggak punya pilihan, Fika." "Terus kamu masih mau kalau calonnya udah tua bangka atau istrinya banyak. " "Kalau tua bangka malah bagus. Setidaknya aku akan dapat warisan jika suami mati. Kalaupun jadi istri kedua atau ketiga juga nggak masalah. Tapi ini malah lebih buruk. " "Buruk kenapa? " "Mungkin kamu nggak akan percaya tapi ini benar-benar buruk buat aku." "Iya, buruknya kenapa?" "Aku bakal menikah sama Gavin. " "Gavin." Ulang Fika datar. Rasanya nama itu tidak asing baginya. "Tunggu... Maksud kamu Gavin teman kita SMA. Mantan pacar kamu itu? Yang pacarannya cuma seminggu itu? " Damasa mengangguk lagi. "WHAAATTT??? " "Kamu kaget, kan? " "Kenapa bisa sama Gavin? " "Nggak tau juga. Mungkin ini yang namanya takdir. Takdir tergila yang harus aku hadepin. Kenapa juga dari penduduk bumi harus Gavin yang harus nikah sama aku. " "Itu namanya jodoh maemunah. Seberapapun jauh kalian kepisah tetep akan balik lagi ketemu lagi kalau udah di takdirin berjodoh. " "Bisa nggak, sih, aku tukeran jodoh sama yang lain. Nggak sama Gavin. " "Kamu pikir Gavin itu barang yang bisa kamu tuker jika nggak cocok. Gila. " Damasa melihat langit-langit ruangan itu. "Kenapa kamu bisa nikah sama Gavin? Maksud aku kenapa keluarga Gavin mencari menantu mendadak untuk anaknya? " Damasa pun ikut kepikiran juga. Kenapa keluarga Gavin menikahkan anaknya dengan wanita yang baru ia kenal dan dalam waktu yang cepat. Tadinya Damasa tidak berpikir sampai kesana sebab dia sudah terlalu banyak pikiran. Dari ayahnya sakit, biaya rumah sakit, biaya sekolah adiknya, dan juga pekerjaannya. "Aku nggak tau alasannya, " Jawab Damasa jujur. "Aku udah terlalu banyak pikiran sampai nggak harus tau kenapa Gavin harus menikah cepat. " "Seharusnya kamu tau alasannya. " "Terus kalau aku tau pun buat apa? Yang aku butuhin cuma uang dari keluarga Gavin. Udah nggak ada alasan lain. " "Terus gimana sama perasaan kamu? " Damasa tidak tahu harus menjawab apa. Dia sendiri tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Selama ini dia fokus bekerja. Tidak mengurusi percintaan apalagi berurusan dengan laki-laki. Walaupun banyak lelaki yang mendekatinya. Maunya Damasa tidak menikah dengan Gavin tapi dia harus realistis. "Aku nggak tau, " Jawab Damasa bohong. Tidak semua hal harus Fika ketahui walaupun mereka bersahabat. Fika kasihan dengan sahabatnya tapi juga tidak bisa membantu. Mungkin itu sudah jalan takdir Damasa. "Jujur aku kaget, Sa, tapi aku yakin kamu bisa jalani ini semua. " Kedua sahabat itu saling tersenyum. "Terima kasih, Fik, " Ucap Damasa. "Always, Sa. " "Aku harap nanti kamu bisa temeni aku saat hari pernikahan. Orang tua aku nggak mungkin bisa. " "Ya, Sa. Aku pasti dampingi kamu. " "Makasih, Fik. " "Aku cari tempat sampah dulu buat nampung Terima kasih kamu. " Canda Fika. Damasa berdecak. "Dasar." Keduanya tertawa. "Aku boleh nginep sini, kan? " "Boleh, lah. Tapi tidurnya disini aja jangan di kamar aku. " "Kenapa? " "Kamu lupa kalau tidur kamu udah kayak setan. Kamu gerak sana, gerak sini. Badan aku sampek sakit semua. Udah cukup. Aku nggak mau lagi. " Damasa hanya nyengir mendengar omelan sahabatnya. Ya, memang... Damasa kalau tidur tidak bisa diam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD