7. Mantan Menantu

1340 Words
Jalan menuju rumah Hani melewati salah satu tempat wisata terkenal bernama Titik Nol Kilometer yang ramai apalagi ini hari Sabtu. Jadi jelas mobil yang dikemudikan oleh Fadli terjebak di antara deretan mobil yang mengantri untuk melaju melewati jalanan di sekitar tempat itu. Semua orang tampak tumpah ruah untuk bisa merasakan sensasi menghabiskan malam yang cerah. Namun untuk Fadli, dia sedang fokus memperhatikan wajah sang mantan istri yang tengah tidur lelap di kursi bagian penumpang sebelah pengemudi. Wajah pria ini sampai berseri-seri karena berhasil membuat Hani masuk ke dalam mobilnya untuk di antarkan pulang. “Lama sekali aku tidak melihatmu sedekat ini,” gumam Fadli dengan suara pelan. Rasanya senang sekali memperoleh kepercayaan Hani untuk mengantarkan wanita ini pulang. Karena Fadli juga tidak akan membiarkan mantan istrinya ini pulang sendirian saat sekarang sudah pukul 7 malam. Terbukti juga, setelah seharian dibuat lelah, Hani terlelap begitu saja bahkan saat ponselnya masih menyala dan tengah memutar video dari Youtube. Ponsel itu kemudian Fadli ambil dari tangan Hani lalu mematikan layarnya. Dan karena jalanan masih padat, Fadli memutuskan untuk mengambil selimut di kursi belakang untuk memakaikannya pada tubuh Hani supaya tidak kedinginan. Dan selama perjalanan Fadli tidak bisa berhenti untuk sesekali menolehkan kepalanya ke kursi di sebelahnya. Sebab masih saja tidak percaya kalau Hani ada di sana, di dalam mobil hasil jerih payahnya sendiri. Di mana tidak pernah ada wanita lain untuk Fadli izinkan naik kecuali ibu dan keluarganya. Harus Hani dan hanya Hani. *** Mata Hani terbuka ketika merasakan getaran dari ponselnya dan ternyata ayahnya yang menghubungi. Namun dia masih terlalu linglung untuk menyadari dia berada di dalam mobil tapi pemiliknya tidak ada di sana. “Assalamu’alaikum, Pak?” ucap Hani mengucapkan salam pada ayahnya yang ada di seberang telepon. Tapi mata Hani saat ini sebenarnya sedang mencari keberadaan Fadli ada di mana saat ini dan kenapa membiarkannya sendiri dengan dirinya yanng ternyata menggunakan selimut. Seketika ada dalam sisi hati Hani yang terasa menghangat karena perhatian pria ini padanya tetap sama seperti 3 tahun lalu. Ternyata ayahnya menghubungi karena Hani belum juga pulang ke rumah padahal ini sudah hampi jam 9 malam. Ayahnya khawatir dan berniat menjemput Hani kalau masih di kampus. Tapi Hani segera saja mengatakan kalau dia diantar seseorang, namun Hanif menanyakan detail identitas si pengantar putrinya. Maka Hani pun mengatakan jika dia diantar oleh Fadli. Rasanya malu sekali mengatakan itu pada ayahnya. Tapi setidaknya Hanif langsung percaya kalau Hani akan selamat sampai di rumah jika itu Fadli. Saat sambungan telepon akhirnya ditutup, saat itu juga pintu mobil bagian kemudi terbuka. Menampakan sosok Fadli yang membawa 2 kantung kresek dengan warna yang sama yaitu putih. Mereka berdua pun saling bertatapan, Fadli yang terkejut kalau Hani rupanya sudah bangun dan Hani yang juga sama kagetnya karena dia berencana akan pura-pura tidur lagi. Terjebak dalam keheningan yang canggung bersama mantan suami tidak pernah ada dalam rencana hidup Hani. Tapi ini terjadi begitu saja sekarang. “Maaf tadi karena aku mampir beli martabak sama nasi goreng dulu. Kita berdua belum makan kayaknya nasi goreng akan cukup,” ujar Fadli setelah meletakkan apa yang dibawanya ke kursi belakang. “Ngga papa,” ucap Hani yang bingung harus mengatakan apa. “Terima kasih,” sambungnya. Tanpa suara manusia yang menghiasi mobil kecuali suara radio, perjalanan pun dilanjutkan. Sekitar 10 menit kemudian akhirnya sampai juga ke komplek rumah Hani yang tampak masih hidup meski sudah hampir larut malam. Dan dengan tepat juga Fadli menghentikan laju mobilnya di depan rumah Hani karena dia memang sudah tahu alamatnya. Biarlah kalau Hani marah atau bagaimana, karena tidak mungkin juga menyembunyikan hal seperti ini. “Mau masuk dulu ketemu Bapak dan Ibu?” tanya Hani setelah tadi dia mengucapkan terima kasih juga pada Fadli. Tapi tawaran Hani itu sungguh sulit bagi Fadli untuk menahan rasa senangnya. Rasanya bahkan Fadli ingin melompat-lompat dan melakukan selebrasi juga. Karena dia kira Hani tidak akan menawarinya masuk padahal dia sudah beli martabak. “Boleh, lama juga nggak ketemu beliau,” jawab Fadli yang mati-matian menahan senyum. Dengan Hani yang berjalan di depannya, Fadli mengikuti sampai kemudian mereka berdua berdiri di depan pintu. Hani mengucapkan salam dan mengetuk pintu rumahnya sampai kemudian ayahnya menjawab salah tersebut dari dalam rumah dan membuka pintu. Sementara itu ternyata ibu Hani sudah terlelap setelah isya tadi. “Nak Fadli,” sapa Hanif pada mantan menantunya ini. Yang sebenarnya masih dia harapkan tetap menjadi suami untuk putrinya, tapi dia juga tidak bisa memaksa jika kemudian Hani tampak bahagia ketimbang 3 tahun lalu. Dia pun segera mengajak Fadli masuk dan duduk di ruang tamu. Nasi goreng dan martabak tadi kemudian dibawa oleh Hani untuk disiapkan sekalian karena ayahnya mengatakan biar Fadli makan di sini, jangan menunggu pulang dulu. Kegembiraan Fadli pun bertambah, ingin sekali dia memeluk Hanif karena telah membantunya untuk bisa dekat lagi dengan Hani dengan menciptakan situasi ini. “Lama tidak bertemu, Fadli. Bagaimana kabarmu?” tanya Hanif yang sebenarnya baru sebulan kemarin dia bertemu dengan menantunya ini. *** Hani berada di dalam kamarnya untuk melepaskan kerudungnya menjadi kerudung yang biasa karena sudah terlalu gerah menggunakan pashmina. Disempatkan juga untuk mencuci muka untuk menyegarkan pikirannya lagi dari kekalutan yang ada di kepalanya. “Harusnya ngga begini,” gumam Hani seraya menatap wajahnya pada cermin di hadapannya. “Aku sudah berjuang untuk menata hati ... tapi kenapa dia harus terus muncul?” Ada rasa resah mengikat hati Hani saat ini. Itu diakibatkan oleh keberadaan Fadli yang sangat dekat di sekitarnya, ini membuat Hani takut jika nantinya akan kembali jatuh hati pada mantan suaminya. Tapi kemudian dia mengabaikan betapa ruwetnya isi kepalanya karena harus menuju dapur dan menyiapkan makan malam untuknya dan Fadli. Hal yang amat janggal sebab dia harus menyajikan makanan ini kepada mantan suaminya. CATAT ... Mantan Suami. Bukankah ini sangat aneh? Namun pada akhirnya Hani tetap meletakan dua piring di atas meja ruang tamu saat ini dan kembali lagi ke dapur untuk mengambil martabak dan minuman. Kini dia bahkan duduk di sebelah ayahnya yang masih berbincang dengan Fadli mengenai isu penggelapan pajak yang jadi makin dalam ketika diselidiki hanya karena ulah satu orang. “Ya sudah, lanjut ceritanya nanti lagi. Sekarang baiknya kalian makan malam dulu. Bapak mau nonton TV lagi.” Dengan alasan tersebut, Hanif membiarkan putri dan mantan menantunya untuk berdua saja. Tapi tentu saja tetap dia awasi karena jarak ruang tamu dan ruang tengah cuma disekat dengan lemari pajangan saja. Walau tidak diawasi pun sebenarnya tidak perlu mengkhawatirkan apa yang akan terjadi sebab Hani dan Fadli cuma diam saja. Apalagi Hani yang tampak tidak berencana untuk mengajak Fadli bicara. Meski ini sangat tidak etis karena menyueki tamu, tapi bagi Hani, Fadli bukan lah seorang tamu. Melainkan seorang yang tidak pernah dia harapkan akan menginjakan kakinya lagi di rumahnya. Berbeda dengan Fadli yang menganggap jika situasi ini pun sudah sangat cukup. Dia akan bersabar menghadapi Hani yang masih dingin padanya dan tidak memaksa wanita ini untuk bersikap ramah. Yang bahkan sampai dia berpamitan untuk pulang pun Hani tidak bersuara sedikit pun. “Saya pamit, Pak,” ucap Fadli pada Hanif yang mengantarnya sampai ke depan mobilnya, tidak seperti Hani yang kini berdiri di teras saja. “Hati-hati, jangan ngebut dan kalau ngantuk berhenti dulu,” ujar Hanif lalu menepuk pundak mantan menantunya. “Baik, Pak. Tapi soal besok ... apakah—“ “Ya. Datang aja, Hani nggak akan marahin bapaknya,” potong Hanif karena takut putrinya mendengar pembicaraan ini. Seketika senyum cerah di wajah Fadli kembali muncul meski dalam keadaan temaram saat ini. Dia pun menyalami tangan mertuanya dengan penuh rasa terima kasih. “Siap! Aku akan datang lagi ... terima kasih sudah bersedia membantuku, Pak,” ucap Fadli sampai rasanya dia ingin menangis melihat respon mertuanya yang sepertinya bisa melihat tekad Fadli untuk meraih hati putrinya lagi. “Ya ... asal kali ini jangan sampai membuatnya seperti 3 tahun yang lalu. Karena bapak nggak sanggup melihat Hani terpuruk sekali lagi. Dan sudah pasti kamu akan berhadapan sama bapak kalau berani,” tutur Hanif dengan nada serius. “Ngga akan, Pak. Fadli juga ngga mau kejadian lalu itu terjadi lagi,” balas Fadli penuh tekad. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD