6. Imam Shalat

1968 Words
Kata Voltaire, jalan menuju hati wanita Adalah melalui telinga *** Fadli menggaruk bagian belakang kepalanya usai berhasil memarkirkan mobilnya di basement gedung fakultas dakwah. Ini adalah hari Sabtu di mana seharusnya dia bisa libur dan bersantai. Tapi yang ada dia kembali ke tempatnya bekerja lagi. Tadinya hari ini Fadli sudah berencana untuk pergi ke rumah Hani. Melaksanakan aksi nekatnya demi bisa makin dengan dengan mantan istrinya itu. Namun dia dihubungi oleh mahasiswanya untuk membantu mereka mengarahkan kamera dalam acara kompetisi nanti. Fadli menggunakan pakaian santai layaknya mahasiswa juga dengan celana jeans biru, jaket jeans putih tulang dan kaus putih. Di tangan kanannya terselempang tali tas kamera pribadinya yang cukup berat dan harus dibawa dengan hati-hati. Kini langkahnya bergerak menuju laboratorium pusat mahasiswa mengeksplor bakatnya. Sudah ada 4 mahasiswa menyambut kedatangan Fadli, lalu mereka mengulurkan tangan untuk mencium tangan Fadli yang merupakan dosen mereka. "Maaf karena bapak harus ke kampus di hari libur," ucap seorang mahasiswa bernama Ari. "Santai. Ini juga tanggung jawab bapak. Kalau misal acaranya sukses juga kita pasti dapat apresiasi," ujar Fadli. Konsep pendekatan Fadli pada mahasiswanya adalah dengan cara seperti berteman. Tapi juga Fadli tegas untuk menerapkan batasan. "Jadi, apa yang harus bapak bantu?" tanya Fadli usai duduk di depan mahasiswanya. *** Di tempat lain, Hani baru saja selesai menghadiri kelas untuk kuliah jenjang S2-nya yang sudah lama ingin dia lakukan. Dia tampak jadi lebih muda di mata teman-temannya tiap menghadiri kuliah karena style pakaiannya dan tentu itu menarik perhatian. Bukan cuma di tempat kerjanya Hani mampu membuat pria ingin menikahinya. Tapi di kampus ini juga dia menghadapi hal yang sama. Para pria yang mendekati Hani mengira kalau wanita ini masih single dan belum pernah menikah. Sebab Hani kelihatan masih sangat muda apalagi dengan style pakaian yang membuatnya makin segar. Penampilannya hari ini menggunakan kemeja hijau, pashmina warna serupa dan celana kulot warna broken white. Pakaian yang sebenarnya dia suka tapi Hani juga merasa risih karena dikira "masih perawan", padahal dia adalah seorang Janda. "Hani, tunggu!" Kepala Hani menoleh ke belakang lalu menemukan seorang pria yang satu kelas dengannya tadi. "Khalil, ada apa?" tanya Hani pada pria yang menggunakan seragam polisi. Khalil bilang kalau dia tadi malam ada shift malam dan langsung ke kampus tanpa sempat ganti pakaian. "Kamu nggak bawa kendaraan, kan? Mau bareng?" tawar Khalil. Untuk tawaran seperti ini, sering Hani tolak. Bukan karena merasa paling "cantik" atau apa pun, Hani hanya merasa tidak enak jika nantinya dia dikira bersedia melakukan pendekatan dengan pria yang menawarkan bantuan. Hani memang tidak merahasiakan status jandanya, tapi juga tidak mungkin mengungkapkan kepada semua orang. Hani merasa dia tidak sepenting itu. Karena begitu Hani bilang kalau dia janda, pria yang mendekatinya akan otomatis mundur. Dan Khalil sepertinya belum tahu soal ini. "Mm … aku bisa pesen taksi online aja. Ini akan merepotkan kamu," jawab Hani menceri jalan aman saja. Tapi Khalil menggelengkan kepalanya. "Nggak lah, kebetulan aku bawa mobil. Dari pada kamu bayar iar sekalian ikut aku," ujar Khalil. Pada akhirnya karena tidak enak menolak tawaran Khalil, kini Hani sudah berada di sebuah mobil berwarna putih milik Khalil. Pria ini akan mengantar Hani ke Universitas Islam Elfathan tempat Hani bekerja karena tiba-tiba saja dia dihubungi untuk ke sana. Rencana Hani untuk rebahan sepanjang hari akhirnya harus gagal. Namun Khalil justru tidak mengantar Hani sampai di gerbang kampus saja, melainkan sampai ke depan aula tempat seorang menelponnya tadi. Hal itu pun tentu saja membuat orang-orang yang ada di sana melihat ke arah mobil yang baru saja berhenti. Tidak cukup di situ, Khalil juga ikut turun dan makin menarik perhatian. "Kok kamu ikutan turun?" tanya Hani bingung. "Mau liat persiapan, soalnya aku juga bakal ikut jaga waktu kompetisinya," jawab Khalil. Hani jadi terkejut, pantas Khalil bilang kalau dia ada urusan juga di kampus tempat Hani bekerja makanya bersikeras menawari Hani untuk menumpang di mobilnya. "Oh ya? Aku kira kamu cuma basa-basi aja bilang kalau kita akan searah," kata Hani. Khalil tertawa dengan suaranya yang berat dan dalam. Tawa yang mirip dengan seorang yang Hani dengar tiap harinya sebelum mereka akhirnya berpisah. *** Sekarang Fadli sedang berada di aula tempat kompetisi debat akan digelar. Rupanya Fadli diminta ke kampus karena hari ini panggung muai dibangun sehingga proses dokumentasi pun harus dimulai. Dengan arahan yang jelas, Fadli memberitahu mahasiswa apa yang harus mereka lakukan. Sementara itu dia sendiri tengah berdiskusi dengan ketua panitia tentang situasi saat kompetisi nantinya. Duda satu ini sangat serius menjalankan tugasnya karena kalau dia lalai pun nama Hani akan terseret, Fadli tidak mau itu terjadi. Karena mulai merasa haus apalagi cuaca cukup membuat keringat keluar dengan deras, Fadli pun keluar dari aula untuk membeli minuman dari minimarket kampus. Dia tidak membeli untuknya saja tapi untuk beberapa orang lainnya. Tapi kemudian fokusnya tersita saat akan kembali ke aula karena melihat seseorang yang dia kenali meski jaraknya jauh, tengah tertawa bersama seorang pria. Hani mengalihkan fokus Fadli dari rasa haus, tapi tidak dengan rasa cemburu dan waspada. "Kayaknya kalau aku nggak cepetan deketin Hani, bakal kecolongan lagi," gumam Fadli yang kini makin menggenggam erat kantong kresek yang ada di tangan kirinya. "Banyak banget yang suka sama mantan istriku ternyata." "Tapi kayaknya dia bukan cowok yang udah berani ngelamar Hani," pikir Fadli. Di dalam aula, Fadli bisa melihat kalau Hani sudah berpisah dengan pria berseragam polisi tadi. Kini mantan istrinya itu tengah berbicara dengan seorang dosen yang menjadi penanggung jawab acara. Fadli datang menghampiri mereka lalu menawarkan minuman yang dibelinya tadi. Sebotol air mineral juga di berikan pada Hani yang hari ini memang tampak cantik sekali. Fadli seperti melihat sosok Hani saat masih menjadi adik tingkatnya dulu. “Terima kasih,” ucap Hani menerima pembarian dari Fadli. Tapi karena dia sedang memegang setumpuk dokumen di tangan kiri serta ponsel juga, Hani kesusahan untuk membuka tutup botol itu. Dan Fadli melihatnya, tanpa kata pria ini mengambil botol tersebut untuk dia bukakan. Bahkan setelahnya Fadli membantu memegangi dokumen Hani lalu diletakkannya pada meja yang ada di sana sehingga Hani bisa lebih leluasa bergerak. Dosen penanggung jawab yang bernama Zidan ini cuma bisa diam melihat betapa cepat tanggapnya Fadli pada Hani. Dia mampu melihat kalau Fadli jelas memiliki rasa tertarik pada Hani. “Kayaknya kamu harus ngantri bro kalau mau deketin Hani,” cetus Zidan saat Hani tidak berada di sekitar mereka. Mata Fadli melirik Zidan curiga, dia berpikir kalau dosen ini juga ikutan suka pada Hani. “Kamu suka sama dia juga, Bang?” tanya Fadli to the poin. Zidan kelabakan menyangkal hal tersebut. Dia bahkan langsung menunjukan cincin di jari manisnya. “Saya udah nikah, sembarangan aja!” bantahnya. Fadli meringis merasa bersalah. Ya ... dia kira Zidan juga tertarik pada Hani. Nanti tambah pula saingannya. “Emang sebanyak itu yang suka sama Hani?” tanya Fadli, dia perlu tahu siapa saja yang menarik perasaan pada mantan istrinya. Terjadi hening karena Zidan tampak sedang berpikir bahkan seperti menghitung jumlah orang dengan jari tangannya. Membuat Fadli ketar-ketir karena tidak menyangka kalau memang ada banyak di satu tempat yang sama yang akan menjadi saingannya. Lalu setelahnya Zidan menunjukkan 8 jarinya di hadapan Fadli. “Sebanyak itu?” Mulut Fadli sampai menganga. “Nggak termasuk sama mahasiswa dan yang nggak pernah curhat ke saya, ya,” kata Zidan menekankan. Belum termasuk katanya? Wah ... sepertinya keputusan Fadli meninggalkan kuliah S3-nya sudah betul. Kalau menunggu 6 bulan lagi bisa dipastikan Hani sudah dilamar orang. Ini cuma yang ada di kampus, belum termasuk yang menjadi tetangga dan teman kuliah S2 Hani. Mendadak kepala Fadli pening memikirkan hal ini. Apa Fadli langsung melamar Hani saja dari pada pendekatan begini? Tapi pasti dia akan langsung ditolak, kan? *** Begitu makan siang tiba, Zidan mengajak Fadli, Hani dan panitia lain untuk makan siang bersama. Mereka menuju kantin dan makan prasmanan ala masakan Jogja yang sudah disiapkan tim konsumsi. Secara sengaja Fadli duduk di depan Hani bahkan sampai menyuruh mahasiswa untuk pindah dari tempat duduknya. Hal itu membuat Hani menatap Fadli tajam, tapi Fadli tidak peduli. Tidak sampai di situ, Fadli juga tiba-tiba memberikan kerupuk di depan Hani yang plastiknya sudah terbuka. Fadli masih ingat kalau Hani tidak bisa makan nasi tanpa kerupuk atau gorengan. Tapi Hani yang diberi itu justru meletakkan kerupuknya di tengah meja supaya orang lain dapat mengambilnya juga. “Silakan diambil, Pak Fadli memberikan kerupuk untuk semuanya,” ucap Hani. Dengan tatapan tak percaya Fadli melihat semua itu tapi harus tetap menjadi ramah setelahnya karena semuanya berterima kasih padanya. Zidan yang duduk tak jauh dari Fadli pun cuma bisa tertawa melihat usaha Fadli yang ditepis begitu saja oleh Hani. Usaha lain yang dilakukan Fadli juga terjadi saat Hani ingin membeli camilan di minimarket. Fadli hendak membayarkan juga belanjaan Hani, tapi yang terjadi malah Hani yang mentraktirnya. Itu karena dia kalah cepat dalam mengeluarkan kartu debit miliknya yang mendadak susah dikeluarkan dari dompet. “Makasih, Han. Nanti akan aku ganti dengan melakukan hal yang sama,” ujar Fadli saat mereka berdua menuju ke aula lagi. “Tidak usah, itu cuma beberapa ribu saja,” timpal Hani lalu berjalan cepat mendahului Fadli agar tidak diajak bicara lagi. Bahu Fadli terkulai mendengarnya. Dia terus dijauhi oleh Hani dann mantan istrinya itu juga masih sedingin saat mereka terakhir kali bertemu, walau sudah tidak ada lagi tatapan kebencian. *** Baik Fadli maupun Hani, mereka berdua menjadi sibuk dengan urusan masing-masing di dalam aula. Fadli dengan sesksi dokumentasinya serta Hani membantu sekretaris untuk menyusun banyak hal. Tak terasa sore tiba dengan Hani yang sudah terhitung dua kali mendengar Fadli menjadi imam dalam sholat berjamaah di masjid kampus tadi. Saat itu ... setiap takbir yang diucapkan secara lantang oleh Fadli, mampu menggetarkan hati Hani sampai dia sempat merasa kalau ada rindu yang memang masih ada untuk mantan suaminya itu. Namun Hani segera mengenyahkan perasaan tersebut supaya tidak makin berkembang. Tapi ... kalau Hani terus-terusan mendengar suara Fadli, bisa saja dia akan kembali jatuh cinta, kan? Bahkan saat ini pun Hani dapat melihat Fadli berjalan bersama para pria menuju masjid sedangkan rombongan perempuan ada di belakang mereka. Di tangan Fadli saat ini ada sebuah peci hitam yang pernah Hani belikan dulu karena ada motif embos sebagai pembeda supaya tidak tertukar dengan milik orang lain. Pikiran Hani langusung saja menuju pada kenangan mereka saat mereka menjalankan ramadhan pertama kali setelah menikah. Hani membelikan peci itu sebagai bentuk rasa sayangnya dan Fadli pun memakainya di setiap dia shalat di rumah atau pun di masjid. Hal itu merupakan kenangan yang indah untuk diingat dan siap untuk membuat Hani menangis. “Yang jadi imam sekarang kayaknya Pak Fadli terus, ya?” “Iya, suaranya tuh bagus dan jelas. Katanya kan pernah di pondok pesantren juga dulunya.” Hani mampu mendengar obrolan dua perempuan yang berada di sebelahnya usai iqomah berkumandang. Namun mendengar kata “Pondok Pesantren”, kembali membuat kenangan pahit milik Hani muncul. “Astagfirullah,” ucap Hani karena dia baru saja merasakan amarah di hatinya. *** Langit sudah menjadi gelap usai sholat maghrib selesai dilaksanakan. Fadli berada di ujung tangga pintu masuk laki-laki sudah dengan sepatunya karena dia ingin menemui Hani secepatnya. Begitu melihat Hani akhirnya muncul di area penglihatannya, Fadli pun menghampiri wanita itu. “Hani,” panggil Fadli pada Hani yang sedang menggunakan flat shoes-nya. Hani mendongakkan kepalanya lalu menghela napas karena melihat mantan suaminya lagi. Perasannya sedang tidak menentu karena sepanjang hari terus melihat Fadli di sekitarnya, berbeda dengan hari biasanya dimana Fadli jelas tidak sesering ini bertemu dengannya karena pekerjaan mereka berbeda. “Ya?” jawab Hani mencoba ramah karena masih ada orang lain di dekatnya. “Kamu nggak bawa motor ‘kan tadi? Gimana kalau aku antar?” tanya Fadli dengan rasa gugup yang menjalar hingga ke tangannya. Dia tidak rela tadi Hani satu mobil dengan pria berseragam polisi. Kini dia pun ingin bersama Hani juga, ini merupakan kesempatan emas karena Hani ke mana-mana menggunakan motor matic-nya. Namun melihat raut wajah Hani, Fadli merasa cemas kalau Hani akan menolaknya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD