Kantin

1085 Words
"Eh, si anjir!" Dyra mengambil pulpennya yang jatuh. Pagi ini kelas masih sepi, dan gadis itu sedang berada di koridor hendak menuju ke kantin. Pasal kenapa ia membawa pulpen, karena sekarang ia harus menyelesaikan PR-nya. Ia sedang mencari mangsa, anak cowok yang pastinya akan mengerjakan PR-nya dengan cuma-cuma hanya dengan sekali kedipan nakal saja. Berhasil dengan pulpen ditangannya, Dyra berdiri sembari merapikan rambut coklat sebahu-nya ke belakang. "Asik! Sembriwing!" Gumamnya, jika dilihat bagaimana cara gadis itu menyibakan rambutnya, ia memang memiliki pesona yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Lihat saja, bagaimana cara para murid laki-laki itu menatapnya penuh minat sambil berbisik satu sama lain. Dan sitersangka sama sekali tidak peduli dengan tatapan lapar para srigala itu. Dia berjalan santai dengan gumaman pelan di kedua bibir manisnya sangat terlihat kalau ia adalah gadis ceria tanpa beban. "Si Dyra itu, kayanya bahagia aja ya?" "Iyalah, anak orang kaya!" "Gue enggak pernah lihat dia cemberut atau bagaimana gitu, bibirnya senyum aja." "Dan yang paling penting doi tuh can--" "Hay!" Kalimat yang akan diutarakan salah satu laki-laki itu terhenti begitu saja. Ketika si cantik yang dibicarakan sudah berada di depan matanya. "Ada apa nih?" dia kembali bertanya dengan senyuman manisnya pura-pura tidak tahu tentang apa yang sedang dibahas para laki-laki itu. Ah, Dyra memang se-cantik itu. Membuat laki-laki yang memakai kecamata itu gugup dibuatnya. Dyra ini teman sekelasnya, dia ramah. Dan Reindra cukup suka. "Gue mau minta tolong boleh?" belum sempat Reindra menjawab. Dyra meraih pergelangan tangannya dan menarik Reindra ke arah yang agak sepi. Menghadirkan lirikan penuh tanya dari kedua laki-laki temannya Reindra. "Wah! Si cupu mimpi apaan tuh! Bisa-bisanya doi kena durian runtuh kaya gitu!" "Gue yang ganteng dicuekin. Giliran si cupu dipegang-pegang. Sial!" "Alaaaa palingan si Dyra minta dibantuin ngerjain PR, kali." "Pasti itumah," "Tapikan minimal bisa deket sama cewek cantik kaya doi. Bodynya anjir! Aduhai!" "Si Dyra kenapa enggak jadi model aja sih? "Model aja lewat sama diamah!" Sementara ini yang dibicarakan tengah melancarkan aksinya. Di bangku di taman belakang sekolah. "Gue tuh anti banget sama yang namanya matematika. Lo taulah, gue enggak sepinter lo!" Memindahkan rambut sebahunya ke bagian kiri, memperlihatkan leher jenjang putih mulusnya. Menatap penuh senyuman dengan sebelah kaki ia tumpangkan ke kaki satunya. "Gue kadang heran, kepala lo sakit enggak sih kalau lagi mikirin matematika?" tangan lancang Dyra memegang kepala Reindra dengan lembut. Membuat pemiliknya gelagapan, "kalau gue sakit," ia mengusapnya. "Tapi lo keren." Akhir kalimat Dyra, perlahan menjauhkan kedua tangannya. Reindra masih saja terdiam, kedua matanya tentu saja tidak lepas dari gadis ber-wajah Malaikat di depannya. "Ini buku untuk apa? Lo belum ngerjain PR?" Atas pertanyaan malu-malu dari cowok di depannya. Dyra mengangguk antusias. "Ikkhh, lo peka banget. Iya bener, nanti pas udah istirahat, gue harus ngumpulin. Gimana?" Reindra terlihat menimang-nimang, "tapi bentar lagi kita mau masuk, gimana kalau dikerjainnya pas kita istirahat aja." Dyra mengangguk, "ikhh, seneng banget jadi temen lo. Makasih ya? Atau nanti kita makan bareng. Gue traktir, dan kerjain PR gue ya... please, please." Kalau dasarnya cewek cantik, mau ber-ekspressi seperti apa pun pasti terlihat cantik. Dan itulah Dyra, bahkan Reindra tidak bisa mengedipkan kedua matanya seolah takut pemandangan itu habis karena detik waktu yang berlalu. *** Bugghh! Pukulan kuat menyapa si laki-laki berkacamata, membuat Dyra histeris. "Edgar! Lo ngapain sih?!" Dyra menahan tangannya Edgar agar berhenti memukul Reindra. "Lo enggak ada hak kaya gini! Lo bukan siapa-siapa gue?" Edgar terengah, tatapannya membara. Perlahan ia melepaskan kerah bajunya Reindra dengan kedua mata yang masih menyorot tajam ke arah Dyra. "Kita udah putus!" sambung Dyra lagi, "dan yang salah itu lo! Bukan gue." Berhasil mengendalikan diri, Edgar menarik napas dalam. Merasakan nuansa kantin yang terasa sepi akibat ulahnya itu Edgar mendengus. Tidak mau kalah oleh sang mantan yang sialnya terlihat semakin cantik setelah mereka putus. Edgar meraih tangan gadis itu membuat pemiliknya menghindar. Tapi tetap saja, ia kembali berhasil meraih tangan itu. "Gue mau bicara sama lo!" Dyra menggeleng, ia berusaha melepaskan tangannya. "Enggak mau! Gue lagi ngerjain PR! Dan lo udah ganggu gue!" "Gue bakal ngerjain PR matematika lo!" melirik ke arah Reindra Edgar menunjuknya. "Si cupu itu pasti asal-asalan ngerjainnya!" "Enggak! Dia pinter, lo sembarangan aja!" Sanggah Dyra, sembari terus berusaha melepaskan tangannya, namun sialnya Edgar tentu saja lebih kuat darinya. Edgar menarik kedua bahunya Dyra. Membuat gadis itu berada lebih dekat dengannya. "Gue enggak akan lepasin lo! Lo masih milik gue!" Tatapan lekat Edgar, membuat Dyra meringis, pasalnya kedua bahunya seolah mau remuk karena pegangan kuat itu. "Sakit! Edgar please!" "Gue enggak main-main Dyra! Si cupu itu, bakal abis ditangan gue!" Dyra terlihat gemetar, kedua mata cantik itu perlahan memerah dan basah. Ingin sekali ia mendorong laki-laki di depannya itu. Tapi diurungkan tatkala melihat wajah Reindra yang memar dengan sudut bibirnya yang berdarah. "Jangan ganggu dia! Dia enggak ada hubungannya sama gue! Dia cuma ngerjain PR gue." Edgar mengangguk, "Ok, jadi mau kan ikut sama gue sekarang?" Sekali lagi menatap ke arah Reindra, ia ingin memastikan kalau laki-laki itu aman-aman saja. Mengepal eratkan kedua tangannya bahwa ia tidak berdaya akhirnya Dyra mengangguk. "Tapi mau ke mana? PR gue belum dikerjain." rengek Dyra, membuat emosi Edgar menurun. Percayalah, tidak ada laki-laki yang kuat marah jika melihat rengekan manis itu. Ia perlahan menurunkan kedua tanganya, menatap lembut dan mengusap pipi lembut itu. "Gue masih sayang sama lo! Please balikan ya?" Dyra mengerjap, jika ditatap lagi Edgar ini memang tampan. Tapi Dyra tentu saja tidak akan mudah kembali tergoda oleh mulut manis itu, Edgar pernah menyakitinya dengan sangat keji. "Lo udah nyakitin gue." Kedua bibir manis itu terlihat gemetar. "Gue enggak bisa lupa itu, Edgar." mengingat bagaimana kondisi laki-laki itu ketika ia memasuki kamar mamahnya, Dyra menggigit bibirnya kuat. "lo udah milih nyokap gue. Dan se--" "Nyokap lo yang salah! Nyokap lo yang murahan!" Tes! Airmata yang dibendung sekuat baja itu pun jatuh sudah. Tapi Dyra tidak terisak, hanya saja bibir manis itu semakin terlihat gemetar. "Itulah kenapa lebih baik kita putus! Karena gue enggak layak buat lo! Iyakan?" Ingin berteriak, tapi Dyra sudah kehilangan tenaganya. Bahkan ia sudah bersumpah untuk tidak memperlihatkan wajah sedih sialan itu di depan mata para murid Mutiara. "Gue mau lo! Gue--" Buggh! Tarikan kuat bersamaan dengan sebuah pukulan membuat Edgar menghentikan suaranya. Sejenak meringis, Edgar menatap tajam sipemukul dan hendak akan membalasnya. Tapi melihat siapa laki-laki di depannya hanya membuat tangannya melayang di udara. Dewa tidak memelototinya atau pun menatap tajam seperti dirinya. Ia hanya berdiri dengan melihat dan meniup tangannya yang habis ia gunakan untuk memukul. "Ada yang mau lo sampein?" kalimat pelan dan santai dari Dewa, mendapatkan tanggapan gelengan cepat dari Edgar. Ia tampak ketakutan. Dewa mengangguk tenang, "Ok," hanya itu, cukup santai. Selesai urusannya dengan Edgar. Ia menatap ke arah Dyra, meraih dan menautkan jari-jemari mereka. Lantas menariknya pelan ke arah luar kantin. Setelah sebelumnya ia kembali menatap Edgar. "Oh, ya. Dia milik gue!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD