#Gigih dan PR#
Gigih sedang dalam masa sulit sekarang ini. Gigih punya banyak tugas. Meski tugas itu masih normal kalau dibandingkan tugas Chiko, namun Chiko ingat kalau mereka "berbeda". Chiko jelas tidak bisa membayangkan bagaimana susahnya Gigih dalam menghadapi tugas yang sangat keji dan kejam itu. Chiko mengerjap dengan wajah kesal ketika Gigih mengeluh berkali-kali padanya.
"Chiko tugas banyak, Chiko!" katanya pelan.
"Mas kerjain aja! Jangan main mulu! Mas selalu aja main!" Chiko mencibir. Gigih selalu mengajaknya bermain. Selalu. Bahkan ketika tengah malam, Gigih pernah membangunkannya. Gigih mengajaknya bermain angry bird di HP-nya. Chiko mencoba tidak marah, meski ubun-ubunnya sudah panas.
"Chiko, main, yuk!" Itu yang tiap kali Gigih katakan ketika ingin mengganggu. Ketika kalimat itu muncul, Chiko siap melarikan diri. Chiko sudah siap kabur dan tidak ingin diganggu. Hanya saja Gigih selalu berhasil menangkapnya. Gigih tidak bodoh. Dia bisa cepat secara fisik. Gigih lebih besar darinya.
Kadang Chiko iri terhadap Gigih. Iri setengah mati.
"Chiko, Chiko!" Suara Gigih membuyarkan lamunan Chiko. Chiko menoleh dan mengerjap dengan wajah cengo. Gigih sedang menatapnya, lengkap dengan buku tulis di tangan.
"Apa, Mas?"
"PR, Chiko."
"Ya Mas kerjain sendiri, lah!"
"Susah, Chiko."
"Tugas apa, Mas?"
"Mengarang, Chiko."
Chiko melongo. Dia juga tidak bisa membuatnya. Jangankan Gigih, dia sendiri saja tidak bisa melakukan itu. Berbohong itu mudah, namun mengarang? Jangan tanya! Chiko saja bingung apa yang mau ditulis. Mengarang ya mengarang saja. Bukannya dikonsep begitu! Chiko mengeluh, menggerutu. Dulu Chiko pernah melarikan diri dari pertanyaan Gigih, namun mama memergokinya dan mengomel.
"Bantu Gigih, Chiko!" Begitu kata mama.
Chiko menyerah dan mencoba membantu Gigih. Sekarang ini Gigih sedang mengulang lagi kisah masa lalunya. Gigih ingin diajari mengarang?
"Mas mau nulis apa?" tanya Chiko cepat. Gigih menggeleng putus asa.
"Tidak tahu, Chiko."
"Mas nggak mau nulis cerita liburan gitu?"
Gigih menggeleng. "Itu sudah bosan, Chiko."
Chiko meradang. Kalau ingin menulis ya menulis saja, Mas! Tidak perlu bosan-bosan begitu! Lagi pula sekarang ini Gigih sedang mencoba untuk jadi seorang pengarang. Pengarang yang terkonsep. Harus ada jalan ceritanya, tidak boleh asal bohong.
"Mas maunya gimana?"
"Gih buat, Chiko. Nanti Chiko periksa."
Chiko menyerah. Gigih tersenyum lebar dan mulai menulis. Jemarinya terlihat sangat terlatih dan super aktif sekarang ini. Matanya mengerjap beberapa kali. Ketika Chiko mencoba untuk tidak marah, Gigih sangat mengusiknya.
"Gih tulis apa, Chiko?"
"Mas tulis apa aja, kan katanya mengarang!" Chiko kembali menatapnya jengah. Gigih mengangguk cepat dan kembali sibuk dengan tugas mengarangnya.
Chiko terkikik diam-diam. Ketika pelajaran bahasa Indonesia, Chiko selalu kelimpungan. Gigih juga mengalami hal yang sama. Hanya saja Gigih tidak pernah tahu kalau Chiko bahkan lebih parah darinya.
Chiko melirik Gigih yang sedang menulis. Chiko memutuskan untuk tidur sebentar. Hingga akhirnya Chiko merasa tubuhnya berat sekali. Gigih duduk di atasnya.
"Mas... beraaat!" Chiko menggerutu. Gigih tersenyum dan melambaikan kertas di tangannya. Chiko mencoba bangkit. Gigih berguling ke sisi lain ranjangnya.
"Sudah, Chiko."
Chiko berdehem dan mulai membaca hasil karya Gigih.
Gigih punya adik. Namanya Chiko. Chiko baik. Gigih sayang Chiko. Mama bilang Chiko nakal. Gigih bilang nggak. Gigih bilang Chiko baik. Chiko memang baik. Chiko manis. Gigih selalu sayang Chiko. Dulu Chiko pernah marah. Gigih bawa tikus mati. Chiko suruh buang. Gigih gak mau. Gigih kasihan tikus. Gigih kubur tikusnya. Selesai.
Chiko melongo. Mungkin ini aneh kalau dianggap karya anak SMA, namun untuk anak tunagrahita, karya seperti itu sudah sangat luar biasa. Mereka mengalami kesulitan dalam mental dan bahasa, jadi karya seperti itu terlalu sempurna untuk Gigih. Chiko saja belum tentu bisa membuat yang seperti itu.
"Kok dikit, Mas?" tanya Chiko, tak tahu diri.
"Gih lupa, Chiko."
"Mas tulis aja apa yang Mas ingin tulis." Chiko jadi sok menggurui. Gigih mengangguk cepat. Jemarinya kembali menulis dengan wajah percaya diri. Chiko menatapnya, tersenyum lembut sesekali.
"Chiko?"
"Hm?"
"Gih tulis Gih sayang Chiko sampai habis boleh?"
Chiko merinding. "Jangan kayak gitu, Mas! Malu!"
"Gih nggak malu, Chiko."
"Tapi aku yang malu, Mas."
"Chiko malu?"
Chiko mengangguk.
"Gih nggak, Chiko. Bu guru bilang, Gih harus sayang sama adik."
"Iya, Mas."
"Gih sayang, Gih bilang."
Mam... pus! Chiko menelan ludah gugup. Matanya mengerjap beberapa kali. Bagaimana cara menjawab itu? Chiko tidak mengerti dan tidak tahu. Ketika ada anak kecil bertanya dengan sangat polos, terkadang orang tua sampai pusing harus menjawab apa. Sekarang pun sama.
Chiko tidak tahu harus menjawab bagaimana.
"Chiko..." panggil Gigih lagi.
"Ya, Mas?"
"Chiko sayang Gih?"
Duh... jawab apa ini? Chiko menelan ludah dan mengangguk cepat. Gigih sedang ingin bicara banyak hal dengannya. Chiko tersenyum dan kembali menepuk kepala Gigih. Sekarang ini Gigih sedang dalam masa paling menyebalkan. Chiko jadi mati kutu.
"Sayang, Mas."
"Chiko kapan bilang?"
Chiko menelan ludah gugup. Sekarang Gigih sangat kekanakan. Chiko tidak tahu lagi harus bicara apa. Gigih tidak pernah tahu kalau Chiko sedang malu-malu meong sekarang ini. Chiko tidak suka menunjukkan sayang dengan kalimat atau ucapan.
"Kan nggak perlu diucapin, Mas kalau sayang."
"Guru Gih bohong, Chiko?"
"Ya... ng... nggak gitu juga, Mas. Tapi kan kita semua berbeda. Ada yang suka diomongin, ada yang nggak suka."
"Gih suka, Chiko. Gih ingin dengar, Chiko."
"Mas..."
"Chiko sayang Gih, nggak?"
Chiko menghela napas, lalu kembali bicara dengan sangat pelan. Suaranya terdengar seperti bisikan yang sangat mencurigakan.
"Sayang..."
Dan Chiko menyesal sudah mengatakannya. Setelah itu Gigih langsung menubruknya, memeluknya erat, dan yang paling menyebalkan... Gigih mencium kedua pipinya gemas. Chiko dilanda bengong dan shock berkepanjangan. Gigih masih belum berubah.
#Chiko dan Mas Bejo#
Mas Bejo adalah tetangga Chiko. Sejak kecil mereka sudah bertetangga. Mas Bejo sudah kuliah di jurusan kedokteran. Chiko ingin tahu dunia itu. Dia ingin jadi dokter, namun juga ingin jadi psikolog bagi anak autis, tunagrahita, dan sejenisnya. Chiko ingin sekali mempelajari bagaimana pola pikir anak berkebutuhan khusus seperti itu. Karena hanya Mas Bejo yang sudah kuliah, Chiko selalu bertanya pada mas itu.
Mas Bejo adalah sosok kakak yang baik. Mas Bejo juga tidak pernah marah ketika Chiko bertanya macam-macam padanya.
"Kalau yang kayak Mas Gigih gitu bisa disembuhin, nggak, Mas?"
Mas Bejo menggeleng lemah.
"Kalau yang di TV itu bisa, Mas."
"Beneran?"
Chiko mengangguk. "Dari yang dia nggak naik sekolah sampe tua hingga dia jadi jenius dan sakti mandraguna."
"Itu sungguhan?"
Chiko mengangguk lagi. "Judulnya Koi Mil Gaya. Film India."
Mas Bejo ngakak. Mas Bejo menepuk kepala Chiko sekali lagi. Chiko tersenyum dan akhirnya bertanya soal jurusan kedokteran yang Mas Bejo geluti.
"Jadi dokter enak, Mas?"
"Kalau mau nanya enak nggaknya, jangan ke aku, Chiko."
Chiko merengut.
"Semua pekerjaan itu ada enak dan nggaknya. Tergantung yang menjalani. Sekarang kamu mau apa? Kalau mau yang kayak Mas Bejo, kamu harus niat dari dalam hati kamu. Jadi dokter itu nggak gampang, Chiko. Salah dikit bisa melayang nyawa orang."
Chiko sadar diri. Dia terlalu naif dan juga terlalu tergesa-gesa.
"Kalau masuk psikologi gimana, Mas?"
"Kamu sayang banget sama Gigih, ya?" tanya Mas Bejo sambil tersenyum. Pertanyaan Mas Bejo membuat Chiko gelagapan. Wajahnya memerah karena malu. "Kamu sayang banget sama dia sampe pengen memahami gitu. Bagus, Chiko! Artinya kamu jadi psikolog atas dasar kemanusiaan."
Chiko tidak tahu harus bereaksi seperti apa sekarang. Dia malu sekali ketika Mas Bejo memujinya seperti itu. Apa dia benar-benar siap menjalani ini? Memilih jalan ini? Dia tahu kalau jadi psikolog untuk anak tidak semudah itu. Dia akan berhadapan dengan anak sejenis Gigih, atau bahkan lebih parah daripada kakak sepupunya itu. Tunagrahita ringan saja sudah membuat Chiko kelimpungan, namun dia tidak akan menyerah. Dia sangat menyayangi Gigih, jadi dia ingin mengenal kakaknya. Lebih dari yang orang lain duga.
Menjelang sore, Chiko pulang. Gigih terlihat kacau. Matanya merah. Rambutnya berantakan. Sebuah gelas hancur berantakan di lantai. Begitu melihat kedatangan Chiko, Gigih berlari ke arahnya. Memeluknya erat sambil menangis dan berbisik, "Chiko dari mana? Gih takut Chiko hilang..."
Chiko makin yakin sekarang.
#Tragedi Bola#
Gigih tidak hanya mendapat PR mengarang, namun juga ada penilaian olahraga. Chiko menelan ludah gugup. Selain mengarang, Chiko juga tidak suka pelajaran olahraga. Chiko benci olahraga karena dia punya pengalaman pahit. Dulu dia pernah pingsan karena kena bola kasti tepat di kepalanya.
Sekarang, Gigih memaksa agar Chiko mengajarinya bermain bola. Meski bukan bola kasti, namun Chiko enggan bermain bola. Dia lebih suka menonton daripada harus bermain langsung.
"Chiko..."
"Apa, Mas?"
"Main bola, yuk!"
"Aku nggak bisa, Mas."
"Chiko bohong!"
"Hah?"
"Chiko bohong. Dulu Chiko pernah main bareng Mas Bejo."
Chiko lupa kejadian itu, namun Gigih mengingatkannya kembali. Dulu Gigih pernah kena flu, batuk, dan demam. Chiko menjauh karena takut tertular. Bahkan Chiko tidur di kamar papa. Mama menemani Gigih di kamar Chiko.
Chiko juga bebas bermain setelah pulang sekolah. Chiko bermain dengan Mas Bejo, bermain bola dan tertawa riang. Gigih hanya mampu menatap mereka dari balik kaca. Dia meraung, menangis karena Chiko pergi darinya. Dalam batuk yang sangat menyayat, Gigih memanggil Chiko berulang kali.
"Mas masih ingat, ya?"
"Ingat, Chiko. Ajarin, Chiko. Ya?" Gigih memohon. Chiko menelan ludah. Dia ingin mengajari Gigih, namun dia terlalu malas untuk melakukannya. Chiko tidak ingin melakukan apa pun sekarang ini. Chiko bosan!
"Chiko..." Gigih memanggilnya dengan nada manja.
Chiko menggeleng.
"Chiko..." Sekali lagi Gigih memohon.
"Nggak bisa, Mas."
"Chikooooo...." Gigih menempelinya. Chiko kesal setengah mati sekarang ini. Matanya mengerjap, menatap wajah Gigih yang terlihat sedih dan terluka. Chiko mencoba bertahan dengan prinsip dan egonya, namun Gigih lagi-lagi memaksa.
"Chikoooo... main, yuk!"
"Nggak mau!"
"Main bola, Chiko."
"Mas main aja sendiri."
"Gih mau Chiko."
"Atau Mas bisa minta ajarin Mas Bejo. Dia juga jago main bola." Chiko mencari korban baru. Gigih menggeleng kencang.
"Gih benci Bejo, Chiko."
"Kenapa?" Chiko baru pertama kali mendengar kalimat itu. Gigih membenci Bejo? Apa alasannya? Chiko mencoba tidak marah sekarang. Dia sedang ingin berjuang jadi psikolog untuk anak berkebutuhan khusus seperti Gigih.
"Kalau ada Bejo, Chiko pergi! Gih benci!"
Ah, Chiko ingat sekali! Ketika ada Mas Bejo, Chiko selalu pergi bersamanya. Gigih merasa diabaikan seperti itu pada akhirnya. Chiko mencoba mengerti dan akhirnya mengelus pipi Gigih. Gigih tidak akan pernah marah seperti ini kalau memang tidak emosi. Chiko tersenyum lebar, mengelus pipi Gigih pelan.
"Mas..."
"Gih benci Bejo!"
Chiko tersenyum lembut. "Mas Bejo baik, Mas."
"Gih benci, Chiko! Chiko diambil Bejo!"
Chiko melongo. Bahkan Chiko ingat kalau dirinya pernah cemburu pada Gigih karena mama lebih sayang padanya. Sekarang mungkin Gigih merasakan itu terhadapnya. Hanya saja Gigih yang berada dalam posisinya. Chiko ada di posisi mama.
"Chiko, main, yuk!"
Chiko menyerah.
"Oke!"
Keduanya bergerak ke halaman belakang. Chiko dan Gigih sudah mengambil posisi dan bersiap. Chiko punya bola yang agak berat di gudang. Chiko enggan memompa bola itu, jadi agak berat. Bola itu juga enggan menggelinding dengan mulus. Butuh perjuangan yang super keras ketika harus menendangnya.
Tendangan Gigih selalu tampak lihai di mata Chiko. Chiko iri. Mungkin Gigih mengalami keterbelakangan mental, namun secara fisik Gigih sangat jago. Gigih bisa menendang bola kurang angin itu dengan sangat kencang. Chiko yang sok jadi kiper akhirnya harus menyerah dan membiarkan gawangnya dibobol.
"Chiko pintar main bola, ya!" Gigih memuji. Chiko melongo. Dia tersindir. Chiko bisa saja tersinggung, namun dia ingat kalau Gigih memang sengaja mengatakan itu dengan tidak mengungkapkan maksud lain. Gigih begitu jujur.
Niat menyindir saja Gigih tidak akan mengerti.
"Mas lebih jago," puji Chiko akhirnya.
"Chiko jago!"
"Iya, lah! Terserah!" Chiko menyerah. Dia duduk di rumput dan membiarkan bola itu menggelinding malas ke arah Gigih.
"Ayo main lagi, Chiko!" katanya. Chiko menggeleng.
"Ogah, ah!"
"Chikooo..."
"Mas udah pinter main, jadi percuma juga aku ngajarin!"
Gigih merengut. Tubuh besarnya itu tidak pantas untuk bertingkah seperti itu. Gigih sedang marah dan kesal karena Chiko tidak menurutinya. Gigih terlalu bersemangat, hingga lupa kalau Chiko sudah kehilangan minat.
"Gih benci Chiko!"
"Makanya, jangan minta ajarin main bola sama orang yang Mas benci!" cibir Chiko kesal. Kok malah marah-marah sekarang? Chiko sudah memberikan waktu dan mengajarinya, namun Gigih membalasnya seperti ini! Dasar tidak tahu diri!
"Chiko, main, yuk!"
"Nggak mau! Aku nggak mau main sama orang yang benci aku!" Chiko mengatakan kalimat yang dulu sering membuat Gigih menangis. Gigih menelan ludah lagi.
"Gih benci Chiko!"
"Sana nangis!"
Gigih menelan ludah. Chiko berdiri, bersiap pergi. Namun ketika kakinya ingin pergi, Gigih kembali mengusiknya. Gigih menendang bola berat itu ke arah Chiko, berharap Chiko meladeni tendangannya. Hanya saja Chiko sadar ada sebuah bola yang melayang ke arahnya. Chiko menghindar spontan, dan akhirnya...
Prang!
Kejadian tak disengaja ini akan membuat Chiko dalam masalah lagi. Sungguh, Chiko sudah sering disalahkan karena ulah Gigih! Chiko melongo. Menggerutu setelah itu. Matanya menatap wajah Gigih tajam.
Pecahan kaca bertebaran di lantai. Sebentar lagi mama pasti marah. Jelas, Chiko yang akan diomeli lagi. Semua ini gara-gara Gigih lagi. Chiko sudah lelah seperti ini. Selalu dia yang disalahkan atas apa yang Gigih perbuat. Chiko melotot tak terima.
Dalam beberapa detik, Chiko menunjuk wajah Gigih marah.
"Lihat apa yang udah Mas lakukan!!" bentaknya. Dia tidak peduli dengan ekspresi berkaca-kaca yang Gigih tunjukkan padanya. Chiko marah. Sangat marah.
TBC