bc

Chiko, Let's Play!

book_age18+
3.8K
FOLLOW
22.3K
READ
dark
tragedy
like
intro-logo
Blurb

Chiko harus jadi pengasuh untuk mas-mas yang mengalami keterbelakangan mental alias Tunagrahita. Mas-mas itu sudah dewasa secara fisik, normal secara fisik. Tumbuh besar, tinggi, dan tampan, namun mentalnya masih seperti anak-anak. Sebenarnya Chiko jengah, namun papa sudah mengancamnya. Papa tidak akan memberi uang saku kalau Chiko masih mengabaikan mas-mas itu. Gigih namanya. Sepupunya.

Bagaimana keseharian Chiko mengasuh Gigih? Apakah Chiko akan betah ketika Gigih datang dan berteriak manja padanya dengan kalimat, "Chiko... Main, yuk!"

Kalimat itu jauh lebih horor daripada kalimat pemberitahuan kuota internet sudah habis!

chap-preview
Free preview
Satu
ernah nonton film India yang berjudul Koi Mil Gaya? Aku pernah. Cerita ini mungkin akan membahas karakter serupa, namun cerita ini bukan membahas soal bagaimana seorang anak yang mengalami keterbelakangan mental bertemu dengan alien. Cerita ini bukan fantasi, bukan tentang bagaimana dua sejoli bersatu atas nama cinta. Ini kisah fiksi meski begitu, namun aku berharap kalian bisa mengambil banyak pelajaran dari cerita ini. Ini hanya kisah tentang seorang lelaki pengidap retardasi mental yang disebut tunagrahita. Tunagrahita adalah keterbelakangan mental. Keadaan ini dikenal juga sebagai retardasi mental. Anak tunagrahita memiliki IQ di bawah rata-rata anak normal pada umumnya. Secara fisik mereka dapat tumbuh normal, mengalami pubertas, namun secara mental dan perkembangan berpikir, mereka "terlambat" untuk ukuran seusianya. Semoga kalian bisa membuka mata dengan cerita ini, dengan tidak menghujat dan memandangnya dengan sebelah mata. Kupersembahkan cerita ini dari dasar hatiku yang paling dalam, dengan penuh cinta dan perasaan. Meski mungkin aku agak sedikit "gila"... Dari dulu sudah seperti itu, bukan? #Chiko, Ini Gigih!# Di rumah Chiko ada seorang penumpang yang sangat fenomenal. Penumpang itu benar-benar menumpang sejak Chiko masih TK. Usia mereka hanya terpaut dua tahun. Mas Gigih, begitu Chiko memangilnya. Gigih ini adalah sepupu Chiko dari pihak ayah. Chiko tahu persis bagaimana pertama kali Gigih datang ke rumahnya waktu itu. Sepupu yang "tak biasa" itu sempat membuat Chiko menjauh. Dia masih belum bisa akrab dengan orang yang seperti itu. Takut salah sikap. Hingga akhirnya Chiko menyadari kalau Gigih juga sama sepertinya. Sama-sama manusia yang juga bisa sakit hati dan terluka. Dulu Chiko tidak tahu kenapa Gigih bertingkah seperti itu. Chiko hanya tahu kalau Gigih itu aneh. Dia masih senang menangis dan juga tidak bisa bicara. Padahal Chiko yang lebih muda saja sudah bisa membaca dan menulis. Chiko tidak mau berteman dengannya waktu itu. Dia lebih senang bermain dengan tetangga sebelah, Mas Bejo namanya. Usianya lebih tua dua tahun dibanding Chiko, sama seperti usia Gigih. "Chiko, kenapa Gigih ditinggal?" Mama bertanya cepat, mengomeli Chiko yang kabur lebih dulu. Chiko tidak tahu kenapa mama ingin mengajak Gigih ikut serta. "Mas Gigih nggak bisa diajak main, Ma." Chiko menggeleng kencang. "Nggak boleh gitu! Chiko, itu namanya nggak baik!" Mama kembali mengomel. Chiko menggerutu. Dia tidak suka bermain dengan Gigih. Gigih tidak bisa bicara dan hanya bisa menangis. Beberapa hari lalu mama dan papa membawa Gigih ke rumahnya, tepat ketika Om Adi meninggal dunia. Waktu itu pertama kalinya Chiko bertemu dengan Gigih. Dulu ketika mama dan papanya mengunjungi Om Adi, Chiko tidak pernah ikut karena harus sekolah. Ketika liburan pun Chiko lebih senang liburan ke rumah Om Candra. "Chiko, kenalin, Sayang! Ini Gigih, sepupu kamu. Anak Om Adi." Chiko mendongak, menatap anak yang lebih tinggi darinya itu. Dia mengerjap beberapa kali. Anak itu tidak bicara. Chiko mengajaknya bersalaman, namun Gigih langsung menerjangnya. Memeluknya. Mencium pipinya. Mama dan papanya hanya tersenyum geli dan berkata, "Kalian main dulu, ya! Mama dan Papa mau angkut barang-barang Gigih." Chiko mengangguk dan mencoba mengajak Gigih bicara. Namun sayangnya Gigih hanya bisa berkata sepatah kata saja. "Mah... Ko..." Begitu! Chiko merengut bingung. Dia pernah tahu anak bisu di televisi, jadi Chiko menganggapnya begitu. Dia menganggap Gigih bisu. Chiko tak ada masalah dengan itu, namun ketika melihat Gigih menangis kencang karena Chiko ke kamar mandi, barulah Chiko sadar ada yang tidak beres dengannya. "Mamaaa! Papaaa! Mas Gigih gila, Ma! Pa!" Chiko menjerit. Chiko tidak tahu kalau Gigih akan jadi seperti itu hanya karena Chiko pergi ke kamar mandi. Mama dan papanya langsung berlari menghampiri. Mereka memeluk Gigih dan menatap Chiko. "Chiko, nggak boleh gitu, Nak!" ucap papa pelan. "Tapi dia aneh, Pa!" "Dia nggak aneh, Sayang!" Mama membela. Chiko merasa diadili. Dia kesal karena tidak dibela. Dia kesal karena mama dan papa lebih memilih Gigih dibanding dirinya. Chiko merengut tak terima. Dalam beberapa detik, anak itu sudah menjerit kesal. Menangis seperti Gigih. "Chiko benci kalian!" Chiko berlari ke kamarnya, menutup pintu kamarnya kencang. Chiko ngambek. Hari-hari setelah itu dimulai lagi. Hal paling memuakkan menurut Chiko adalah ketika dia harus berbagi kamar. Gigih menangis dan menunjuk kamar Chiko, jadi mama dan papa sepakat untuk menjadikan Chiko dan Gigih satu kamar. Chiko protes, namun mama memberi pengertian kalau Gigih butuh dirinya. Anak kecil seperti Chiko merasa sangat bangga dan bahagia ketika merasa dibutuhkan dan dipuji seperti itu. Seperti superhero. Lambat laun Chiko dan Gigih tumbuh. Dulu Gigih masih senang mengompol dan membuat Chiko kesal setengah mati. Mama dan papa menyewa pengasuh untuk Gigih. Mereka juga mendatangkan guru khusus untuk mengajari Gigih. Hal yang paling menyebalkan adalah ketika Gigih memaksa Chiko menemaninya. Gigih tidak mau belajar tanpa Chiko. Chiko terpaksa duduk menemani Gigih, menolak ajakan temannya untuk bermain. Mereka tumbuh seperti itu. Ketika Chiko sudah menginjak bangku SD, Gigih sudah mulai bisa bicara banyak kata meski tertatih. Chiko sudah lebih dewasa dalam menghadapi Gigih. Dulu Chiko masih sering merengut dan melarikan diri, sekarang dia sudah bisa memberi nasihat pada Gigih. "Sebelum bobok, Mas Gigih harus pipis dulu biar nggak ngompol," ucapnya pelan. Gigih mengangguk semangat. "Gih pipis!" "Kalau tengah malam kebelet pipis, Mas bisa bangunin Chiko. Ntar Chiko anterin ke kamar mandi." Chiko menatapnya lagi. Gigih mengangguk untuk yang kesekian kali. "Chiko bangun pipis?" tanyanya. Chiko mengerti apa yang Gigih ucapkan meski hanya sepatah kalimat itu. Mama dan papa sering kesulitan mengerti ucapan Gigih, namun Chiko satu-satunya orang yang bisa paham. Chiko seolah jadi penerjemah untuk mereka. "Iya, kalau Mas ngompol, kita nggak bisa tidur di sini. Kita bisa tidur di lantai." Chiko menunjuk lantai kamarnya. "Lan... tai? Dingin, Chiko?" tanya Gigih. "Iya, kalau dingin Chiko dan Mas Gigih bisa sakit." "Chiko sakit?" "Iya. Kalau dingin Chiko bisa sakit." Chiko bersabar menjelaskan. Gigih merengut, memeluk Chiko spontan. Dalam beberapa detik kepalanya menjauh. Dia berdiri, lalu berlari ke kamar mama dan papa. "Ma! Pa! Chiko dingin! Sakit!" katanya sambil menangis. Chiko bengong. Mungkin ada cara lain agar Gigih bisa mengerti maksudnya. Chiko menarik Gigih menjauh. Mama dan papa keluar dari kamar dan bingung. "Ada apa, Chiko?" Mama menatap Chiko penasaran. Gigih menangis sesenggukan dan menggenggam baju Chiko. "Chiko sakit, Gigih?" Papa menunduk ke arah Gigih, mengajaknya bicara. "Gih pipis. Chiko sakit!" Chiko bingung menjelaskan dari mana, jadi dia diam saja. Mama dan papanya kembali menghibur Gigih, sementara Chiko hanya bungkam di sana. Chiko sudah biasa iri dan cemburu dengan itu. Dia hanya bisa diam saja. "Ma, Mas Gigih itu kenapa?" Akhirnya pertanyaan itu muncul kembali. Dulu Chiko sering bertanya soal ini, namun mama dan papa mengatakan kalau Gigih berbeda. Hanya itu saja. Selebihnya mereka tidak pernah menjelaskan apa pun. Chiko pernah mendengar sakit mental seperti itu. Ketika dia bertanya pada mamanya dan menyimpulkan kalau sakit mental berarti gila, mama mengomel. Mama menjelaskan banyak hal padanya. Gigih tidak gila. Mentalnya hanya terlambat untuk berkembang seperti anak seusianya. Chiko paham waktu itu, jadi dia mencoba membaca buku di perpustakaan. Tunagrahita sebutannya. Chiko mulai mengerti. Chiko paham. Hingga suatu malam mama mengajaknya bicara soal Gigih. Mama masuk ke kamar mereka setiap hari untuk mengecek keadaan keponakan yang sudah mereka anggap anak itu. Mereka akan menyelimuti Gigih dan Chiko. Gigih selalu memeluk Chiko ketika tidur, jadi keduanya selalu berbagi selimut. Chiko belum tidur dan mamanya mengajak Chiko bicara. "Sayang, Mama pengen ngomong..." Chiko bangkit dari tidurnya dan duduk bersandar di ujung ranjang. Gigih menggeliat tak nyaman ketika Chiko menjauh. Jemarinya mencoba menggapai Chiko yang sudah ada di ujung sana. "Ngomong apa, Ma?" "Chiko sayang Mas Gigih?" Chiko mencoba mengangguk. Dia tidak punya saudara. Hanya ada Gigih. Jadi mau tak mau dia juga harus menyayangi Gigih seperti kakaknya... ah, adiknya sendiri. Gigih lebih mirip adiknya meski usianya lebih tua. Mama tersenyum dan mengelus pipi Chiko. "Chiko tahu kenapa Mas Gigih jadi seperti ini?" tanya mama lagi. Chiko menggeleng. "Mama Gigih, Tante Yeni meninggal ketika melahirkan Mas Gigih. Waktu itu mendiang tante kamu mengalami kecelakaan hingga membuat Mas Gigih lahir prematur." "Mas Gigih seperti itu karena kecelakaan, ya, Ma?" Chiko menatap wajah tidur Gigih. Mama mengangguk. "Dulu Mama nggak bisa cerita ini karena usia kamu belum cukup untuk mengerti. Sekarang Chiko udah tahu apa itu tunagrahita karena baca buku di perpus, jadi sekarang waktunya Mama beritahu." "Mas Gigih nggak bisa sembuh, ya, Ma?" Mama tersenyum sendu. Beliau menatap Chiko sedih. Chiko tidak pernah tahu kalau kenyataan bisa sepahit itu. Chiko jadi kasihan pada Gigih tiba-tiba. Dia sering berlaku kejam pada Gigih dengan mengatakan kalimat kasar pada sepupunya itu. Chiko pernah menghina Gigih dengan sebutan "bodoh". Pernah mengolok Gigih dengan kata "aneh". "Meski Mas Gigih termasuk tunagrahita ringan, namun tetap saja Mas Gigih nggak seperti Chiko yang terlahir normal..." Mama kembali menjelaskan. Chiko mengangguk. "Karena itulah... Chiko jaga Mas Gigih, ya, Sayang! Mas Gigih udah nggak punya siapa-siapa. Kalau bukan Chiko yang menjaga dia, lalu siapa lagi? Om dan tante kamu yang lain punya beban sendiri. Hanya kita yang bisa merawat Gigih. Perlakukan dia seperti saudara kandung kamu, ya!" Mama mengelus kepala Chiko. Chiko mengangguk. Rasa trenyuh dan iba merambat dalam hatinya. Chiko sudah mulai bisa mengerti kenapa Gigih seperti itu. Chiko tidak ada masalah dengan keberadaan Gigih meski kadang sebal dengan kelakuannya. Gigih sering menangis ketika Chiko pamit keluar untuk bermain. Gigih akan menangis kencang, hingga Chiko merasa tak tega. Setelah obrolan panjang lebar dengan mama akhirnya Chiko kembali memejamkan mata. Keesokan harinya, Chiko dan Gigih sudah duduk manis di meja makan. Keduanya sarapan pagi itu. Gigih selalu menempeli Chiko, mengeluh ketika Chiko berpamitan. Mama akan selalu memberi pengertian kalau Chiko akan segera pulang dan mengajak Gigih bermain lagi. Lalu pagi ini Gigih kembali berbicara. "Gih sekolah! Ikut Chiko!" Mama dan papa bertatapan. Selama ini Gigih diberikan pendidikan home schooling, jadi dia tidak pergi ke sekolah luar biasa seperti anak berkebutuhan khusus pada umumnya. "Gigih ingin sekolah juga?" tanya papa sambil tersenyum. Gigih mengangguk. "Ikut Chiko!" jawabnya semangat. "Sayang... sekolah Chiko itu jauh sekali. Kalau Gigih ikut, nanti Gigih capek. Gigih belajar di rumah aja, ya!" "Gih! Sekolah!" Gigih menggeleng kencang. Mama dan papa menghela napas. Chiko menatap mereka dalam diam, namun setelah itu mulutnya terbuka. "Kalau Mas pengen sekolah, ya sekolah aja! Tapi kita nggak bisa satu sekolah, Mas," ucapnya. Gigih melongo. Wajahnya menampakkan protes setelah itu. "Ikut Chiko!" "Nggak bisa gitu, Mas. Kalau Mas ikut, nanti Chiko yang susah. Mas Gigih sekolah di SDLB dulu, nanti kalau sudah pintar, Mas bisa pindah ke sekolah Chiko." Chiko tersenyum, merayu. Gigih berbinar senang setelah itu. "Gih bisa ikut? Tapi pintar?" tanyanya senang. "Iya, Mas Gigih harus pintar dulu! Kalau udah pintar, nanti kita bisa satu sekolah." Gigih mengangguk semangat dan bertepuk tangan riang. Chiko tersenyum puas ketika melihat Gigih menurut. Gigih sedang bersemangat saat ini. Dia bertepuk tangan senang dan bahagia. Chiko berangkat sekolah setelah itu. #Tunagrahita Ringan# Pada umumnya, murid tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik karena secara fisik tampak seperti murid normal pada umumnya. Oleh karena itu, murid tersebut agak sukar dibedakan secara fisik dengan murid normal. Meski kecerdasan dan adaptasi sosialnya terhambat, namun mereka mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial, dan kemampuan bekerja. IQ anak tunagrahita ringan berkisar antara 50-70. Mereka masih dapat membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Mereka juga dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled dan tidak mampu menyesuaikan diri secara independen. Murid tunagrahita ringan banyak yang lancar berbicara, tetapi kurang perbendaharaan katanya. Mereka mengalami kesukaran berpikir abstrak, tetapi mereka dapat mengikuti pelajaran akademik. Ketika mereka menginjak usia enam belas tahun, kecerdasan mereka baru mencapai usia dua belas tahun atau kurang. #Gigih Sekolah# Gigih benar-benar sekolah. Papa dan mama memutuskan ini semalam. Mereka mendaftarkan Gigih pada sekolah luar biasa. SDLB singkatannya. Mereka beranggapan kalau Gigih harus bersosialisasi dengan orang lain, jadi mereka akhirnya setuju dengan ini. Guru khusus masih didatangkan, namun kali ini hanya untuk memberi Gigih pelajaran tambahan semacam les begitu. Seragam SDLB terbaik di kota mereka benar-benar imut. Dasi mereka tidak panjang seperti milik SD biasa Chiko. Dasi Gigih berbentuk pita, tersemat dengan manis dan juga otomatis. Dasi itu menempel di sisi kiri kancing krah seragam, jadi ketika kancing di sana terkait, dasi itu juga sudah terpasang. Chiko menatap Gigih yang sedang membawa tasnya. Sekolah mereka tidak terlalu jauh. Gigih senang sekali ketika mendengar sekolah mereka berdekatan. SD itu juga memiliki bangku SMP hingga SMA, sama seperti sekolah Chiko. "Chiko, sekolah!" katanya senang. Chiko mengangguk sambil menyuapkan sarapan ke mulutnya. Gigih begitu bersemangat hingga tidak tidur semalaman. Dia sibuk berguling senang dan memeluk Chiko bahagia. Chiko juga tidak bisa tidur karena ulah Gigih itu. "Mas hati-hati, ya! Jangan nakal-nakal di sekolah! Jangan nangis! Jangan suka berantem!" Chiko memberi pesan. Gigih mengangguk. "Chiko ada?" tanyanya. Chiko menggeleng. "Kita beda sekolah, Mas. Tapi nanti di sana Mas bisa punya temen baru yang banyak." Gigih menggeleng juga. "Gih mau Chiko! Yang lain nggak!" Chiko terpaksa mengalah kali ini. Dia menatap Gigih dengan raut merayu. Gigih menatapnya juga. Jemarinya menggenggam jemari Chiko erat, tidak mau melepaskannya. "Kalau Mas kayak gitu terus, nanti Chiko yang susah. Chiko juga harus punya temen lain. Mas nggak boleh kayak gitu lagi! Harus punya temen baru yang banyak! Oke?" Gigih merengut. "Gih mau Chiko!" Chiko mencoba memutar otaknya. Dia ingin mengatakan banyak hal pada Gigih sekarang ini. Bagaimana cara Chiko agar Gigih bisa mendengarkannya, ya? Ah, Chiko tidak pernah kehabisan akal untuk itu. Gigih selalu menurutinya. "Kalau Mas kayak gitu, Chiko bisa sedih," rayu Chiko. Gigih menegang. "Chiko sedih?" "Iya. Kalau Mas Gigih kayak gitu ntar Chiko jadi sedih." "Gih mau teman!" Chiko tersenyum puas. Akhirnya niatan itu berhasil juga. Chiko mengerling dengan wajah senang dan bahagia. Akhirnya setelah sekian lama dia mengerti juga kalau Gigih itu tipe yang tidak ingin Chiko bersedih. Gigih berdiri, Chiko ikut berdiri. Anak itu memeluk Chiko erat, lalu mengecup pipi Chiko cepat. "Gih cari teman sekolah!" katanya. Lalu anak itu berlari ke halaman rumah. Sudah ada papa di sana yang siap mengantarkan. Hari ini Chiko ikut mobil jemputan seperti biasa. Dulu papa sengaja tidak mengantar Chiko karena Gigih selalu menangis ketika Chiko dan papa berangkat. Untuk mengantisipasi tangis Gigih di pagi hari, papa menemani Gigih bermain, sementara Chiko sudah pergi ke sekolah dengan mobil jemputan. Padahal sekolah mereka tidak terlalu jauh. Anak SD, anak SD! #Rasa Sayang Papa Mama# Chiko iri. Ketika dia sampai di rumah, matanya menatap pemandangan yang super menyebalkan. Mama sedang bercanda dengan Gigih di ruang TV. Mama memuji hasil gambar Gigih. Chiko tidak pernah mendapatkan kasih sayang seperti itu dari mamanya. Ketika Chiko jadi juara kelas, mama hanya memberinya selamat dan hadiah. Tidak sampai memujinya seperti itu. "Wah gambar Gigih bagus!" ucap mama cepat. Chiko yang biasa mengucapkan salam akhirnya mengurungkan niat itu. Dia bergegas masuk kamar dan menutup pintu dengan kencang. Lamat-lamat dia mendengar mama bicara sesuatu. "Ah, Chiko udah pulang! Gigih, nggak boleh kayak Chiko, ya! Nggak boleh membanting pintu kamar seperti itu. Itu nggak baik." "Chiko nggak baik?" "Bukan Chiko yang nggak baik, Sayang! Tapi perbuatannya yang nggak boleh ditiru." "Gih suka Chiko, Ma." "Mama tahu, Sayang." "Chiko baik!" "Iya, iya..." "Gih sayang Chiko." "Iya..." "Mama Chiko bilang nggak baik. Chiko baik. Baik." "Iya, Sayang. Mama yang salah. Chiko anak yang baik." Mama menyerah. Chiko mendengarkan obrolan mereka dengan hati trenyuh. Bagaimana bisa mamanya jadi pilih kasih begini? Ah, papa juga! Mereka lebih menyayangi Gigih dibanding dirinya. Chiko menangis diam-diam. Dia sakit hati. Mama lebih sayang pada Gigih, papa lebih peduli pada Gigih. Selama ini papa selalu mengantar Gigih ke sekolah, sementara Chiko dititipkan pada mobil jemputan. Mama juga selalu membawakan bekal untuk Gigih, sementara untuk Chiko mama hanya membawakannya air minum. Chiko memang tak biasa bawa bekal karena malu dengan teman-teman lainnya, namun dia juga ingin diperhatikan begitu. Meski nanti dia harus diledek macam, "Cowok kok bawa bekal?" begitu dengan teman-teman lainnya, Chiko masih bisa bertahan. Daripada dia harus melihat adegan mamanya yang pilih kasih begitu! "Chiko! Chiko!" Gigih mengetuk pintu kamarnya cepat. Chiko menghapus air matanya, lalu membuka pengait di dalam kamar. Gigih lebih ahli menggunakan pengait ini daripada memutar kunci. Lihat, kan? Bahkan untuk kamar saja papa dan mama lebih peduli pada Gigih. "Ada apa?" tanya Chiko dingin. Wajahnya masih merengut karena emosi. "Gih gambar." "Aku nggak mau tahu, Mas!" "Chiko lihat!" "Nggak mau!" Chiko berbalik. Gigih mengekorinya, menempelinya, dan memaksanya melihat gambar itu. Chiko merengut tak terima karena dipaksa. Sekarang ini dia sedang kesal, namun Gigih malah membuatnya makin emosi. "Chiko, Gih gambar! Lihat! Lihat!" Gigih memaksa. Chiko menoleh malas ke arahnya. Gigih menunjukkan gambar di tangannya. Ada dua anak lelaki di sana. Gambaran Gigih aneh, namun Chiko cukup sadar kalau itu gambaran manusia. "Ini Gih, ini Chiko. Gih sayang Chiko." Dan sepupu tunagrahita-nya itu kembali memeluk Chiko erat. TBC

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Terjerat Cinta Segitiga

read
91.4K
bc

KETIKA DI LONDON (Indonesia)

read
68.5K
bc

NIKAH MUDA

read
149.3K
bc

Bercumbu dengan Bayangan

read
22.0K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
61.5K
bc

Give Love

read
23.1K
bc

Om Duda Nikah Lagi

read
77.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook