Tujuh

2564 Words
#Teman Chiko# Chiko gemas tak karuan karena Gigih masih tidak mau kembali ke sekolahnya. Kalau Gigih bolos nanti, bagaimana Chiko menjelaskan ini pada orang tuanya? Kalau memang izin, Chiko bisa mengabari lebih dulu ke sekolah. Guru Sekolah Luar Biasa jelas kelimpungan kalau ada siswanya yang tidak masuk. Mereka bisa punya pemikiran kalau murid mereka tersesat di jalan atau terjadi sesuatu. Murid mereka tidak seperti murid pada umumnya. Mereka masih butuh pengawasan. "Chiko!" Tiba-tiba teman yang lain muncul dan memanggilnya. Chiko menoleh dan mendapati teman ekskulnya muncul dengan tergopoh-gopoh. Mereka mengerjap dengan wajah panik. "Ada apaan?" Chiko curiga. "Bisa rapat sekarang? Penting, Chiko!" Chiko gelisah. Matanya menatap Gigih yang sedang menunduk. Ketika Chiko menatapnya, Gigih mendongak dan akhirnya memalingkan wajah. Hanya dalam sekali tatap saja Chiko mengerti kalau Gigih tidak mau ditinggal di sana. "Aku nyusul bentar lagi." Chiko menatap Beni, teman satu ekskulnya itu. Chiko tersenyum sekali lagi dan menepuk bahu Beni. Beni mengangguk dan melambai pergi. "Jangan lama-lama, Chiko! Ini penting banget!" Chiko juga tidak suka lama-lama, hanya saja sekarang ada Gigih di sini. Chiko tidak mungkin meninggalkan Gigih sendiri, kecuali Gigih mau dipaksa kembali ke sekolahnya. Chiko gemas tak karuan dengan kelakuan Gigih yang tidak mau ditinggal itu. "Gih nggak mau balik, Chiko!" Gigih menggerutu. Dia paham dengan maksud Chiko sekarang ini. Apalagi Gigih sudah mendengar ajakan teman Chiko tadi. Chiko menyerah. Dia sudah tak tahan lagi dengan keras kepala Gigih. "Aku ada urusan penting, Mas. Aku nggak bisa nunggu Mas di sini!" Chiko berteriak kesal, menggerutu. Gigih menelan ludah dan ketakutan dengan bentakan Chiko. Chiko tidak pernah malu punya saudara seperti Gigih, hanya saja sekarang ini Chiko ingin Gigih kembali ke sekolahnya. "Gih tunggu Chiko!" Chiko sudah tidak tahan lagi. Ketika Gigih yang pemaksa dan keras kepala itu bertemu dengan situasinya yang sedang galau, maka siap-siap saja dia terluka. Gigih menelan ludah. Gigih ingin menangis karena Chiko harus pergi. "Jangan nangis! Jangan nangis!" Chiko menunjuk wajah Gigih. Gigih menahan air mata yang sudah hampir menetes dari matanya. Cowok ganteng itu menggigit bibirnya sendiri agar tangisnya tidak keluar. "Chiko pergi?" Gigih mati-matian menahan sesenggukannya. Chiko menelan ludah gugup. Bagaimana cara membuat Gigih mengerti? Murid lain memperhatikan mereka. Gigih yang ganteng sedang menatap Chiko dengan wajah berkaca-kaca. Chiko terlihat jahat sekali kali ini. "Aku harus pergi, Mas." Chiko mengembuskan napas. Gigih menggeleng lemah. "Gih sendiri, Chiko." "Yang nyuruh Mas datang ke sini siapa?" Chiko membentak. Gigih menunduk sedih. Sekarang ini Chiko marah. Padahal niat awal Gigih hanya ingin memberikan uang sakunya, namun ternyata dia tidak ingin pergi. Chiko terlihat sangat akrab dengan murid lain dan punya banyak teman. Gigih gelisah. Kalau Chiko pergi dan tidak mau bermain lagi dengannya bagaimana? "Chiko... main, yuk!" Chiko melotot dengan ajakan Gigih. Sekarang ini Chiko tidak berminat main dengan Gigih. Chiko punya urusan yang lebih penting. Daripada harus bermain dengan Gigih, Chiko lebih memilih urusan PMR itu. "Mas balik aja!" "Nggak mau, Chiko!" "Trus mau Mas gimana? Disuruh balik nggak mau, ditinggal di sini nggak mau juga!" Chiko murka. Gigih menelan ludah. Dia gugup sekali. Dimarahi Chiko memang sudah biasa, namun kalau Chiko marah di depan umum begini... Chiko tidak akan mau dipeluk. Chiko pasti akan makin marah besar. "Gih tunggu Chiko..." Gigih akhirnya memutuskan sesuatu. Chiko menatapnya tak percaya. Dia takut kalau Gigih terlalu lama menunggu. Kalau Gigih lapar bagaimana? Lagi pula tas Gigih sepertinya masih ada di sekolahnya. Chiko masih bingung bagaimana Gigih melarikan diri dari sekolah. Dengan kesabaran yang sudah habis, akhirnya Chiko bersuara pelan pada Gigih. Berharap Gigih mau mendengarkannya kali ini. "Aku rapat dulu. Mas jangan pergi ke mana-mana dan tunggu aku di sini!" Chiko menarik lengan Gigih dan mendudukkan Gigih di pos satpam. Pak satpam hanya menatap Chiko dengan wajah canggung. "Aku nggak akan nitipin Mas ke pak satpam karena Mas udah gede. Jadi aku cuma nyuruh Mas nunggu di sini!" Chiko tahu diri untuk tidak merepotkan orang lain karena Gigih. Gigih mengangguk cepat, mengerti. Dalam beberapa detik, Chiko berbalik dan berlari kembali untuk rapat PMR. #Chiko di Kelas# Chiko gelisah. Pembahasan soal lomba dan materi yang akan diujikan tidak masuk dalam otak Chiko. Dia benar-benar gelisah dan tidak tahu harus bagaimana sekarang. Dia ingin menghampiri Gigih karena cemas, namun Chiko tahu kalau itu perbuatan yang sangat percuma. Gigih tidak akan mau kembali ke sekolahnya. "Juru bicara kita adalah Chiko. Tepuk tangan, dong!" Ketua PMR memberikan sambutan. Yang lain bertepuk tangan dan menatap Chiko. Chiko tersenyum canggung. Sekarang ini hatinya sedang tidak tenang. "Ayo, Chiko! Silakan sampaikan kesan dan pesan kamu." Chiko mengerjap dengan wajah bingung. Kenapa harus ada acara seperti ini? Bukankah dia hanya perlu mempersiapkan diri untuk lomba saja? Tidak perlu, lah membuat sambutan yang tidak penting begini! "Aku nggak mau ngomong apa-apa sekarang. Intinya, aku bagian juru bicara aja nanti pas presentasi. Laporan yang kita susun itu adalah kerja keras kita bersama. Aku nggak akan bisa ikut lomba tanpa kalian semua." Chiko sok bijaksana. Hatinya sedang gelisah, namun perannya sebagai kandidat lomba dipandang sekarang ini. Yang lain bertepuk tangan kembali dan rapat dilanjutkan. Chiko tiba-tiba teringat sesuatu. Kenapa dia tidak minta tolong Heru saja untuk melihat apa Gigih masih ada di depan, ya? Dengan harapan terakhirnya, Chiko mencoba menghubungi Heru. Heru di sana hanya mengerjap malas ketika mendapati SMS Chiko. "Ru, mnt tlng cek Mas Gigih, dong!" Sent. Heru membalas SMS Chiko meski pada akhirnya dia melangkah juga ke arah halaman sekolah. Ini pertama kalinya Heru tahu tentang keluarga Chiko. Selama ini Chiko terlihat sangat tenang, bahkan ketika ada pengambilan rapor. Dia tidak pernah menunjukkan rasa tertekan ataupun malu ketika ketahuan. Heru benar-benar turun ke bawah karena dia berada di kelas atas. Kakinya melangkah ke arah pos satpam, namun dia tak menemukan siapa pun di sana. Heru mencoba bertanya pada satpam, namun beliau hanya menjawab dengan wajah panik. "Tadi katanya dia mau balik, Mas." Heru mengusap wajahnya kasar. Apa ini saat yang tepat untuk mengabari Chiko? Chiko pasti sedang sibuk sekarang. Dia tidak ingin mengganggu konsentrasi Chiko. Chiko paling moody ketika sedang sibuk. Dia bisa berkata kasar ketika diganggu waktu serius. "Chiko, sibuk?" Chiko curiga ketika membaca SMS Heru. Dia merasa tidak enak tiba-tiba. Chiko mencoba memfokuskan perhatiannya untuk rapat, meski hatinya sedang galau. Dia tidak tenang selama rapat, hingga akhirnya rapat itu selesai. Chiko tidak punya waktu untuk membalas pesan Heru karena dia segera turun ke bawah, ke pos satpam. Mencari keberadaan Gigih di sana. Hanya saja... sepupunya itu sudah tak tampak lagi. "Chiko!" Heru memanggilnya. Chiko mengerjap dan menoleh ke sekeliling. Tidak ada wajah ganteng kakaknya di mana pun. "Mas Gigih mana?" tanya Chiko panik. Heru menatap Pak satpam. "Tadi dia bilang haus, Mas. Lalu saya belikan minum di kantin. Pas saya balik, kok dia udah ngilang aja." Keterangan Pak satpam hari itu membuat Chiko makin gelisah. Gigih menghilang! Panik seketika melanda hati Chiko. Bagaimana kalau kakaknya itu tersesat atau diculik? Sekarang ini tindak kriminal sangat banyak. Chiko takut kalau kakak sepupunya itu terluka. Terlebih lagi, kakaknya itu berkebutuhan khusus. Pasti penculik sangat tertarik dengan yang seperti itu. "Jam berapa tadi dia ngilangnya, Pak?" Chiko benar-benar sudah kehilangan ide kemana Gigih pergi. "Saya juga nggak tahu, Mas. Ya maaf, Mas. Saya sendiri nggak tahu kalau pada akhirnya..." Chiko tahu diri. Dia tidak akan menyalahkan orang lain karena memang bukan salah mereka. Ini salah Chiko. Juga salah Gigih. Bagaimanapun Gigih bersalah karena pergi tanpa pamit. Apa susahnya menunggu Pak satpam dan izin dulu? Apa Gigih sangat tidak bisa diberitahu untuk menunggu? Di antara kepanikannya, Heru kembali menyadarkan Chiko. Ketika panik, Chiko bisa saja bergerak semaunya. Bahkan tadi dia tersandung hingga hampir jatuh. Chiko menelan ludah lagi. Kalau sampai Gigih terluka, maka hidupnya juga pasti akan menderita. Mama dan papa pasti akan marah besar padanya. Meski kedatangan Gigih ke sekolahnya sama sekali bukan salahnya, namun kalau sudah begini... Siapa yang mau disalahkan selain Chiko? Belum dua puluh empat jam, jadi Chiko masih tidak bisa melapor pada polisi. Matanya mengerjap putus asa. Heru yang lebih dulu tahu itu mencoba membantu sebisanya. Dia tahu nasib Chiko dan mengerti benar kelakuan Gigih tadi. "Gimana ini, Ru?" Chiko menggigit kukunya. "Kamu tenang dulu, Chiko! Sekarang kita harus tenang." "Tenang gimana, Ru? Kamu tahu, kan kalau Mas Gigih itu bukan kayak kita yang tahu jalan balik. Aku takut kalau dia tersesat dan akhirnya terluka. Lebih parahnya lagi kalau sampai dia diculik!" Chiko benar-benar tidak tahu lagi harus bagaimana sekarang. "Kita harus cari dengan tenang, Chiko. Pertama, kamu minta surat izin keluar aja dari BP. Aku bantu. Kalau perlu aku anterin pake motor." Chiko mengangguk. Sepertinya itu cara paling tepat saat ini. Chiko beranjak ke BP untuk minta surat izin. Untunglah hari itu sedang tidak ada pelajaran, jadi mereka bisa keluar tanpa menyita waktu belajar. Chiko berhasil mendapat surat izin itu meski dengan peringatan dan pesan dari guru BP-nya. "Kalau sampai jam satu nanti kamu nggak bisa nemuin kakakmu, kamu balik ke sekolah dan lapor sama orang tua kamu, Chiko!" Chiko mengangguk meski dia berharap Gigih ditemukan sebelum pukul satu. Chiko duduk manis tak tenang di boncengan Heru. Mereka berdua berkeliling daerah sekitar sekolah. Ada sebuah perumahan di daerah sana. Chiko gelisah. Dia masih berputar-putar di lingkungan sekitar sekolahnya namun tak menemukan Gigih sama sekali. "Kalau dia ngilang gimana, Ru? Trus misalnya dia diculik gitu?" Heru menggeleng. "Tenang dulu, Ko. Kita belum muter ke sana!" Heru menunjuk tempat lain dengan dagunya. Mungkin ini akan percuma untuk Chiko. Dia bingung harus mencari kemana. Kalau Gigih hilang, maka Chiko yang akan kena omeli. Chiko mungkin anak pungut! "Ini nggak enaknya punya saudara kayak gitu!" Mulut Chiko sedang tidak berperikemanusiaan sekarang. Dia sedang ingin mengumpat, namun tak mampu melakukannya. Pikirannya campur aduk sekarang. Kalau dia mengumpat, itu tidak akan membuat semuanya membaik. Dia malah akan membuat orang lain emosi. Jadi Chiko hanya bisa mengeluh dan bicara sendiri. Panik. Galau. Kalau Gigih sampai tidak ditemukan sampai pukul satu, Chiko harus menelepon mama dan papa. Entah apa yang akan mereka katakan nanti Chiko pasrah saja! #Gigih Hilang# Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas tepat. Siang terik itu membuat Chiko dan Heru seolah diuji dengan emosi. Sekian lama mereka berputar-putar, namun mereka tidak menemukan yang mereka cari. Mereka sudah berputar puluhan kali, bahkan sudah mampir ke tempat yang kira-kira agak sepi. Hanya saja mereka mencoba berpikir ulang. Jika dengan motor saja mereka tidak menemukan Gigih, jelasnya Gigih tidak akan pergi jauh. Gigih jalan kaki. Kecuali... ada penculik yang bawa mobil seperti di berita kriminal itu, lho! "Kita muter-muter tapi nggak nemuin kakak kamu, Ko." Heru paham kenapa Chiko gemas sekali hari ini. "Lagian dia sendiri, sih! Ngapain, sih dia pake mampir ke sekolah segala!" "Dia kangen kamu." "Kangen apaan?" "Buktinya dia sampe meluk-meluk gitu." "Dia beda dari kita, Ru. Wajar kalau tingkahnya jadi aneh gitu." "Tunagrahita bukannya retardasi mental?" tanya Heru balik. Chiko mengangguk membenarkan. "Sikapnya juga bisa jadi kayak gitu?" Chiko mengerling. "Usia sekitar Mas Gigih itu mentalnya bisa seusia anak umur dua belas tahun atau kurang, lho!" Heru manggut-manggut mengerti. Chiko mengembuskan napas. Mereka beristirahat sejenak setelah sibuk bertanya pada orang-orang di sekitar sana. Orang-orang di sana mengaku tidak melihat anak sekolah SMALB yang berkeliaran di sekitar sana. Andai ada pun, mereka tidak akan pernah melihat Gigih sebagai murid SMALB. Secara fisik dia normal, tidak ada bedanya dengan anak lain. "Ru, aku ingat sesuatu!" Chiko terlonjak. Heru mendongak menatapnya. Es kelapa muda yang sedang dia seruput muncrat kemana-mana. "Apaan?" "Ada satu tempat yang belum kita datangi." "Mana?" "Sekolah Mas Gigih. Kamu tunggu di sini, ya! Biar aku yang jalan ke sana." "Berani sendiri?" Heru ingin bercanda, namun Chiko sedang tidak ada mood untuk melakukan itu. Cowok manis kurus itu berbalik dan berlari cepat ke arah Sekolah Luar Biasa. Beberapa menit lagi SMALB sudah pulang. Berbeda sekali dengan sekolah Chiko yang masih butuh waktu beberapa jam lagi. Belum lagi ada rapat PMR dan gladi bersih itu. Kenapa ada saja godaan ketika Chiko sedang sibuk begini? Chiko berlari kencang ke arah Sekolah Luar Biasa. Anak TKLB, SDLB, dan SMPLB sudah berhamburan keluar dari sekolah mereka. Sebagian besar dari mereka dijemput. Chiko jadi trenyuh tiba-tiba. Sejak SMP Gigih sudah tidak mau dijemput lagi. Dia mau berangkat sekolah sendiri, meski awalnya dia ikut Chiko. Dia berangkat bersama Chiko meski sekolah mereka baru masuk pukul delapan. "Pak, permisi mau nanya..." Chiko menghampiri pos satpam di sekolah Gigih. "Ah, Mas Chiko!" Chiko tahu kalau dia sudah terkenal di sana. Dulu Chiko selalu mengantar Gigih ke sekolah, jadi Pak satpam SMALB mengenalnya. Bahkan Gigih pernah menangis ketika Chiko pergi meninggalkannya. "Lihat Mas Gigih, nggak, Pak?" Pak satpam mengerjap. "Lho? Bukannya hari ini Mas Gigih nggak masuk?" Mampus! Chiko tidak mengerti harus bagaimana sekarang ini. Jadi Gigih tidak datang ke sekolah? Duh, kenapa kamu jadi merepotkan begini, sih, Mas? Dulu waktu kamu masih kecil, kamu tidak pernah begini! Kamu jadi anak manis dulu. Sekarang kok ya jadi makin menyebalkan dan membuat orang lain panik! "Ada apa, Mas?" "Tadi Mas Gigih ke sekolah Chiko, Pak. Lalu dia ngilang pas Chiko lagi rapat." Pak satpam melongo. Gigih memang tidak datang pagi ini. Makanya Pak satpam sempat bingung tadi kenapa Chiko datang ke sana dengan berlari dan terengah-engah. Chiko galau. Gemetar. Panik sudah sejak tadi dia rasakan, sekarang ini dia jadi takut. Kalau sampai Gigih hilang, maka dia akan dikubur hidup-hidup oleh kedua orang tuanya! Ketika Chiko sedang galau, salah satu guru Gigih menghampiri. Guru itu adalah guru piket yang selalu mengawasi anak didiknya. Guru yang selalu mengecek kehadiran muridnya, baik ketika datang maupun ketika hampir pulang sekolah. "Cari siapa, Mas?" Beliau bertanya pelan. Chiko tahu kalau jawaban yang akan dia dapatkan pasti sama, namun dia tidak menyerah untuk bertanya. "Gigih Ringga Adiwiyana, Pak. Dia tidak datang, ya hari ini?" "Mas ini..." "Saya adiknya. Tadi kakak saya datang ke sekolah, lalu bilangnya mau nunggu. Waktu saya kembali, dia sudah menghilang." "Waduh, gawat itu, Mas!" Pak guru itu malah membuat kepanikan Chiko makin tak karuan. Chiko tidak menemukan solusi sekarang. Masalah ini jadi makin rumit dan runyam! "Gigih emang anak yang aktif. Kalau tunagrahita ringan emang masih bisa dikontrol dan berkembang lebih pesat daripada tunagrahita berat, Mas. Apalagi Gigih itu tidak suka dikekang. Kemarin dia sempat ngambek karena ada yang mengolok adiknya." Chiko mengerjap lagi. Ternyata kelakuan Gigih di sekolah juga tidak ada bedanya dengan di rumah. Terlalu menempel padanya dan tidak suka ketika ada yang menghina Chiko. Chiko jadi merasa trenyuh dan juga terharu. Gigih terlalu mencintainya. Sekarang bagaimana, Chiko? "Bapak tahu kalau orang tua Gigih sama-sama sibuk, makanya saya mengira kalau kalian belum sempat telepon atau mengirim surat izin Gigih tidak masuk sekolah." Pak guru itu bercerita lagi. Chiko jadi makin galau. "Itu, Pak..." "Ternyata emang Gigih sempat berangkat. Kalau tahu gitu saya telepon orang tuanya tadi, Mas untuk menanyakan ketidakhadiran Gigih." "Ja... Jangan, Pak! Saya yang akan mengabari orang tua saya!" Chiko sudah panik tak karuan. Kalau orang tuanya tahu masalah ini, maka rencana dan perjuangan Chiko tidak akan ada hasilnya. Chiko pamit pergi dari sana dan kembali ke tempat Heru menunggu tadi. Percuma! Apa yang dia lakukan untuk Gigih ternyata tidak ada hasilnya. Chiko harus mencari di mana keberadaan Gigih sekarang. Dia tidak boleh menyerah dengan semudah itu. Dia harus menemukan Gigih bagaimanapun caranya. "Gimana, Ko?" Heru bertanya cepat, menghampiri Chiko yang melangkah gontai ke arahnya. Chiko bungkam, tak bersuara. "Lho? Chiko? Kok malah nangis?" Heru panik. Katakan saja Chiko cengeng dan juga mudah baper! Namun ini sudah keterlaluan. Ini pertama kalinya Gigih menghilang setelah sekian tahun mereka hidup bersama. Lebih dramatisnya lagi, Gigih juga menghilang ketika terakhir kali ada di sekolahnya. Chiko yang sedang suntuk karena PMR dan juga acara rapatnya itu terguncang dengan kejadian ini. Belum lagi kalau nanti papa dan mama mengomelinya. Mereka sama sekali tidak peduli bagaimana perasaan Chiko! Jadi, di sinilah Chiko! Menangis di depan tukang es kelapa muda. Dengan Heru sebagai saksinya. "Jangan nangis, ah! Ketemu, kok! Lagian juga Gigih udah besar." "Kamu jangan coba menghiburku, Ru!" Chiko jadi sangat keras kepala. Heru mengembuskan napas dan menepuk kepala Chiko. "Ntar aku bantuin ngomong ke orang tua kamu, Ko. Aku kan jadi saksi juga. Kalau menurutku, kamu nggak salah." Heru berbisik pelan. Menghibur. Sayangnya, menurut Heru bukan menurut kedua orang tuanya. Sekarang ini hati Chiko tidak bisa dihibur dengan kalimat manis. Kalau sampai Gigih ketemu nanti, lihat saja apa yang akan terjadi! TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD