2. Lalu Sabrina

1718 Words
Kalau ditanya jam berapa Wira tertidur, maka dia tidak tahu. Yang Wira ingat, dia ketiduran saat finalisasi bangunan tiga dimensi di depannya. Untung, apartemennya tidak jauh dari kantor. Jadi, dia tidak takut telat saat lembur sampai tidak kembali ke apartemennya sekalipun.  Bicara soal kegiatan kantor sehari-hari, kantor mulai beroperasi pukul 08.00 WIB. Sekarang masih kurang setengah jam lagi. Wira memanfaatkan waktu yang ada untuk mengisi perutnya yang kosong di Osean yang ada di lantai bawah.  Pria itu duduk di salah satu meja dan memakan sarapannya dengan damai. Dia bahkan masa bodoh meski jelas-jelas mendengar desas-desus dari berbagai penjuru. Apalagi, banyak wanita yang membicarakannya. Entah itu sekadar mengagumi atau mungkin menyumpahi yang tidak-tidak.  Jangan lupakan kalau selain punya banyak penggemar, Wira juga memiliki banyak haters. Entah sejak kapan, tapi seingat Wira, semuanya berubah sejak dia bangun dari kecelakaan tiga tahun yang lalu.  Biasanya, ada Aris yang siap sedia menemaninya sarapan karena dia juga sering telat sarapan. Namun, entah mengapa pria itu tak datang-datang juga. “Woi, sob. Pesenin kayak biasa, dong. Gue mau ketemu orang sebentar.”  Benar bukan! Mereka layaknya lem dan perangko, apa-apa selalu bersama. Tanpa rasa canggung, Aris menepuk pelan punggung Wira dan berlalu pergi begitu saja. Wira tentu tak mengambil hati. Dia melaksanakan amanat dari sahabat karibnya itu.  Dan tak selang lama kemudian, Aris dengan cengiran di wajahnya datang dan duduk di depan Wira. “Wir, si doi udah di lantai atas aja pagi-pagi gini. Nggak lo samperin? Kali aja mau balikan haha.”  "Tsk!” Wira berdecak tidak suka, “yang bener aja kali, Ris. Itu anak sampai nangis-nangis supaya gue mau lepasin dia. Yakali gue samperin tiba-tiba ngajak balikan lagi.”dia mendengkus pelan. Sebenarnya, Aris sudah mendengar cerita langsung dari Sabrina kenapa bisa meminta putus. Namun masalahnya, baik Sabrina maupun Aris tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada Wira. Mungkin, mereka sedang menunggu waktu yang pas. Namun tetap saja, mereka sendiri tidak tahu waktu yang pas itu kapan. Atau bahkan, tidak akan pernah menemui waktu itu.  "By the way, masih kontekan, kan? Ya kali kayak anak kecil yang putus langsung musuhan gitu.”  Alih-alih menjawab, Wira hanya menatap depan datar sambil mengangkat bahunya tak acuh. Apa-apa yang menyangkut Sabrina pasti membuatnya semangat dan terpuruk dalam waktu bersamaan. Ya tentu saja rasa tak terima itu masih ada. Wira jadi selalu mempertanyakan dirinya sendiri gara-gara berakhirnya hubungan mereka. “Tapi lo masih sayang sama si, Sab, kan, Wir? Sayang lhoh, lima tahun kandas tengah jalan gitu. Mana lagi dia anaknya nggak neko-neko. Coba deh ngom—” "Ngomong apa? Yang pertemuan terakhir aja dia cuma nangis!” balas Wira cepat. Lama-lama, dia muak juga dituntut ini itu seminggu terakhir ini.  "Ya…. Lo apain sampai nangis segitunya?” kemudian, diberi pertanyaan seperti itu, Wira diam di tempat. Dia berpikir keras, kalau-kalau ada yang dia lupakan. Namun, dia tak ingat apa-apa selain malam itu dia bangun tidur dan Sabrina malah menangis di pojokan dapur dengan wajah yang sangat berantakan. "Gue nggak tahu.” Wira menerawang jauh ke depan. “Malam itu Sabrina emang di apartemen. Dia lagi masak, habis itu gue ke kamar tahu-tahu malah ketiduran. Terus paginya, gue kaget ternyata dia ada di pojokan dapur. Dia benar-benar yang nangis kejer. Gue deketin aja takutnya minta ampun.”  Mau tak mau, Aris mengembuskan napas pelan. Dia tak tahu harus menjelaskan dari mananya. Namun, Aris percaya kalau pasti ada jalan keluar dari permasalahan ini. Mungkin, dia akan memantau dari kejauhan. Selepas itu, dia akan mengambil tindakan jika semuanya makin buruk. Terkadang, ada saatnya seseorang disadarkan oleh seseorang yang lain.  “Terus lo nggak ingat apapun gitu?” Aris lagi-lagi memancing.  "Gue tidur, Ris. Gue nggak tau apa-apa. Lo juga gue minta buat bicara sama Sabrina, lo juga bilang kalau Sabrina diem aja. Terus gue harus gimana?” tanya Wira putus asa.  Melihat nada dan wajah putus asa Wira sekarang ini membuat Aris agak sesak. Tumbuh bersama membuatnya tahu seluk beluk tentang hidup Wira. Jadi baiklah, dia akan menjadi sahabat yang baik untuk sekarang ini. "Ya udah, kapan-kapan gue coba bicara lagi sama Sabrina, kali aja dia mau cerita habis lo apain.”  Wira menatap Aris tidak suka. “Gue tidur, Bud! Lo tahu sendiri kalo gue tidur sebelas dua belas kayak mayat!”  "Itu mulut mohon dijaga! Telinga gue nggak menerima makian ataupun u*****n kasar.” maki Aris serius.  Wira hanya melengos pelan dan bergegas bangkit menuju lantai tempatnya kerja. Masa bodoh kalau Aris masih bahagia di Ocean sambil memandang pelayan-pelayan cantik di sana. Semerdeka Aris saja. Wira akan kembali menekuri rutinitasnya sebagai seorang arsitek.  Kabar baiknya, perusahaan sedang open tender lagi dan Wira sangat berharap kalau dia dilibatkan lagi dalam proyek baru. Setidaknya, ada saja yang membuatnya sibuk daripada harus berpikir berlebihan seperti sekarang ini.  Di luar, Wira memang pembawaannya tenang dan memang seperti itu adanya. Namun, semenjak Sabrina pergi, dia benar-benar berpikir keras akan apa saja kesalahannya sampai ditinggalkan dengan tidak terhormat. Wira ingat betul malam itu, dia tidak melakukan sesuatu yang buruk. Sabrina juga tidak memberi alasan. Sudah pantas kalau sebenarnya bukan dia yang bermasalah tapi Sabrina.  "Mungkin, Sabrina punya lelaki lain di luar sana dan bosan dengan kamu, Mas Wira.”  Suara itu lagi. Wira geram saat tahu-tahu, tidak ada orang di sekitarnya lalu dia mendengar seseorang berbisik begitu nyata. Apa dia harus pergi ke dokter tanpa ada Sabrina yang menemani? Yang benar saja. Pria itu kemana-mana selalu dengan Sabrina. Tiga tahun berkunjung ke Dokter Jhonson, Dokter pribadi Wira juga selalu ada Sabrina bersamanya.   “Wir, oyyyy! Kenapa?” tanya Aris. Pria itu sampai repot-repot menghampiri Wira yang terdiam di depan pintu lift.  “Ada yang bisik-bisik di telinga gue, Ris. Tapi nggak ada orang.” Kata Wira pelan. Aris hanya memutar bola matanya. “Jangan ngada-ngada, nggak ada siapa-siapa di sini. Cuma perasaan lo kali, terlalu mikirin Sabrina.”  "Iya kali, ya?”  "Nah iya.” Aris menimpali lagi. “Ayo buruan, ada rapat radir lima belas menit lagi.”  Bukannya berjalan, Wira malah menahan bahu Aris. “Kata siapa ada rapat pagi-pagi begini nggak ngasih tau gue?”  Aris langsung menyerngit bingung. “Lah lo nggak buka grup apa gimana, Sob! Pagi tadi juga udah gue PC. Masak lupa, apa emang nggak buka hape?” kali ini, Aris menatap Wira serius.  “Ris sumpah, gue nggak tahu apa-apa dan materinya belum gue buat.”  Sejak kuliah, Aris sudah sering dijaili Wira. Jadi, sekarang dia tidak akan mudah percaya dan panik lagi dengan apa-apa yang Wira katakan. “Dah lah, Wir. Nggak mempan juga lo ngomong yang enggak-enggak.”  Wira sampai harus menahan bahu Aris sekali lagi agar pria itu mau melihat kepadanya sekali lagi. “Gue kenapa, sih, Ris?” tanyanya terdengar putus asa pada dirinya sendiri.  Padahal, pertanyaan Wira sangat sederhana. Namun, Aris yang mendengar pertanyaan macam itu malah terdiam dengan pikiran berkecamuk. Terkadang, ada satu atau dua hal yang lebih baik tidak diceritakan. Begitupun dengan kasus yang Wira alami sekarang. Dan Aris, pria itu memilih diam.  *** Lima belas menit memang waktu yang sangat singkat. Namun, siapa sangka kalau waktu sesingkat itu bisa membuat Wira dan Aris bekerja bak pasangan kebanggaan yang mampu menyelesaikan semua permasalahan dalam waktu singkat, benar dan akurat. Aris tak perlu ditanya saat mengerjakan yang bukan bagiannya.  Pria itu masih sempat-sempatnya mencibir ketika fokus Wira hanya tertuju pada layar PC di depannya. “Bikin janji sama Dokter Jhonson lagi aja, Wir. Siapa tahu aja dia punya obat antilupa. Bisa serangan jantung gue kalau mau rapat direksi kayak dikejar setan kayak gini. Untung gue masih muda, tahan sama yang beginian.”  Wira tak repot menanggapi. Baginya, yang ada di depannya sekarang lebih penting dari apapun. Masalahnya, dia yang memang tanggung jawab rapat direksi hari ini tapi entah kenapa dirinya seolah orang yang mendadak lupa ingatan hingga tidak tahu apa-apa.  Semuanya sama seperti saat bangun tidur dan mendapati Sabrina menangis tersedu-sedu di dapur apartemennya waktu itu. Wira yakin, kalau dia punya penyakit jantung, pasti sudah kambuh melihat keadaan Sabrina yang lebih mirip hantu dengan penampilan yang acak-acakan.  Saat rapat direksi berlangsung, semuanya berjalan lancar seperti biasa. Orang-orang yang melihat Wira mempresentasikan garapannya saja memekik bangga dalam hati, yakin kalau mereka akan menang tender besar lagi selama Wira masih di tangan mereka.  Sebenarnya, Wira tahu kalau dia dimanfaatkan, tapi dia diam saja. Lagipula, selama dia tak diganggu terang-terangan, Wira tidak akan angkat suara. Bukan karena tidak berani, bukan. Tapi dia malas menghadapi politik perusahaan. Baginya, yang terpenting itu kerja dan memuaskan klien yang menggunakan jasanya.  "Kalau penthouse sudah banyak, mansion apa lagi. Tapi kita bisa menggunakan bahan baru untuk pembangunannya. Kita bisa menggunakan drum, dan untuk keawetannya kita beri pelumas dengan sirkulasi yang baik.”  “Tapi bagaimana kalau berkarat?”  “Pelumasnya, pak. Kita bisa mengaplikasikannya dalam dunia nyata.”  “Bagaimana Anda bisa seyakin itu?”  “Saya bisa menunjukkan percontohan yang ada sekarang.” Setelah mengatakan itu, Wira mengarahkan pointer ke gambar yang muncul dalam layar. Di sana, ada bangunan yang benar terbuat dari drum. Pria itu juga menjelaskan dengan terstruktur dan sangat rapi. "Saya juga bisa memperlihatkan modulnya. Kita tahu kalau manajemen keuangan juga diperlukan di sini. Dan ini, tentu dapat menekan pengeluaran jika terjadi over load di kemudian hari yang tidak diinginkan.”  Semua orang tatap sebentar kemudian memberikan tepuk tangan pada Wira sebagai bentuk penghargaan. Pria itu memang tidak pernah mengecewakan sama sekali. Semuanya, sempurna. Jangan kaget kalau dari perusahaan lain yang lebih besar sampai mengirinya email secara pribadi untuk bekerja sama, bahkan langsung menjadi arsitek tetap sejak pertama kali bergabung.  "Menurut Anda bagaimana, Sabrina?”  Sabrina yang sedari tadi diam langsung angkat suara. Dia menguatkan pendapat Wira karena memang idenya bukan main. “Tentu sangat membantu berbagai manajemen di perusahaan jika proyek ini berjalan dengan baik. Selain itu, kita memiliki peluang pasar yang sangat luas. Tidak menutup kemungkinan banyak investor yang akan menanamkan modal di perusahaan.”  Wira yang masih berdiri tersenyum tipis. Hubungan mereka mungkin memang sudah berakhir. Namun, Wira lega saat Sabrina selalu menguatkan pendapatnya yang entah bagaimana bisa selaras. Memang, sebelum hubungan mereka berakhir, Wira pernah berdiskusi dengan Sabrina tentang hal ini. Pria itu memberikan banyak sumber atau referensi terpercaya untuk bahan diskusi mereka. Jadi, Sabrina yang sudah dijelaskan lebih dulu tentu paham konsep yang Wira berikan.  Andai saja mereka baik-baik saja, kebahagiaan Wira pasti bertambah. Iya, seandainya saja memang semudah itu mengembalikan keadaan seperti semula.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD