3. Suara itu

2463 Words
Kalau boleh jujur, itu kali pertama mereka dipertemukan dalam rapat setelah hubungan keduanya berakhir di tengah jalan. Hebatnya, mereka tetap bisa bersikap profesional layaknya partner yang mendukung satu sama lain. Mengingat, bagaimana Sabrina menangis yang benar-benar hebat di depan matanya sendiri minggu lalu. Dan tadi, saat Sabrina menguatkan pendapatnya, tanda tanya di kepala Wira semakin besar. Kalau perempuan itu masih peduli padanya, lalu kenapa meminta berpisah? Hm, Wira bukannya sok percaya diri atau geer. Hanya saja, perlakuan Sabrina menunjukkan kalau sebenarnya masih peduli kepada dirinya. Jadi, Wira tidak salah, kan? Baiklah, lelaki itu tidak akan menganggu Sabrina sebagaimana menghargai keputusan perempuan itu meskipun sangat menyakitinya.  Oh, ayolah, Wira bahkan masih mencintainya sampai sekarang. Tipe setia macam dirinya tentu tak serta merta langsung bisa melupakan Sabrina begitu saja dalam hitungan jam apalagi detik. Alih-alih menyibukkan diri, Wira tidak sengaja menoleh saat Aris datang. Tanpa dipersilahkan, pria itu langsung duduk di kursi, bersedekap d**a layaknya tamu yang terhormat. “By the way, you can aks me anything. Especially, about her. ”  Aris berujar sambil tersenyum penuh arti.  Wira yang tidak paham sampai menyerngit bingung. “Sabrina? Kenapa? Udah ngasih tahu alasannya? Dia punya lelaki lain? Iya?” tanyanya beruntut. Pasalnya, dia tidak bisa menahan apapun kalau berkaitan dengan Sabrina. Perempuan lemah lembut itu terlalu candu baginya. “Woi!” Aris langsung menegakkan tubuhnya, kemudian menatap Wira muak. “Satu-satu elah nanyanya! Itu tadi lo nanya apa nuduh?!”  Lelaki ini membasahi bibirnya yang kering, kemudian menatap Aris serius lagi. “Ya terus dia bilang, apa?”  “You were good to her.”  kata Aris pelan. “What?”  Wira memekik, semakin tidak paham mendengar pendapat Sabrina akan dirinya. Kalau Sabrina merasa Wira terlaku baik, Wira juga punya alasan kalau dirinya jauh berkali-kali lipat lebih baik.  “Emangnya sekarang gue enggak baik?” lanjutnya bertanya.  Aris malah mengangkat bahunya tak acuh sampai Wira mendesah frustasi sendiri. Baru saja bicara begini, dia sudah kehilangan kendali, Aris saja sampai tak habis pikir. “Lo nyadar nggak sih, Wir? Lo banyak berubah sekarang.”  Wira berpaling sejenak sebelum akhirnya fokus kembali ke arah sahabatnya ini. “Berubah gimana, Aris, yang duduk di depan Lo ini masih Hikayat Prawira yang sama, yang dari orok mainnya sama lo." Detik berikutnya, Wira menatap Aris penuh tanda tanya, "jangan bilang lo juga percaya kalau gue berkepribadian ganda?”  “Lebih dari itu, Wir.”  Pria ini semakin tidak paham jalan pikiran sahabatnya sendiri, “Lo serius apa bercanda, sih, Ris? Lo tahu sendiri Dokter Jonson bilang kalau gue normal. Nggak ada yang salah sama gue. Gue nggak gila. Gue nggak berkepribadian ganda.” tegasnya penuh keyakinan. “Ya kan gue nggak bilang lo nggak normal, Bambang!” Aris memutar bola matanya malas, lama-lama muak jua menghadapi Wira yang oleng karena memikirkan wanita. “Lo semenjak putus sama Sabrina kok jadi emosian, sih? Dulu aja pembawaannya tenang, macem alpa alpa male gitu, yang diidolakan mbak-mbak satu kantor. Yang kalo lewat itu kaum hawa ngeces, kaum adamnya langsung pada minder.” Mungkin Aris hilang ingatan, karena itu dia mengatakan hal demikian. Padahal, Aris sudah tahu krtidakbenaran yang menimpa sahabat yang tengah menatapnya serius sedari tadi. Sebenarnya, di balik cibiran itu, ada sesuatunya, yakni mengingatkan kembali, bahwa dulu dia terbiasa dikejar-kejar, tapi sekarang malah ditinggalkan seorang diri.  Mendengar penuturan Aris barusan, Wira jadi berpikir keras. Jadi bertanya-tanya tentang beberapa tahun terakhir ini. Tahun-tahun setelah dirinya kecelakaan, semuanya terasa sama, tapi orang-orang sekitarnya yang berubah berbeda. Itu tentu Wira yang merasa. Bukankah setiap perubahan yang terjadi selalu ada sebab akibatnya? Bukan berubah macam jadi Hulk, tapi lebih kepada sikapnya yang saling menjaga jarak.  Sebenarnya, Wira senang saat tidak ada perempuan yang mengganggunya. Dia tidak perlu khawatir Sabrina dinyinyiri atau sampai diteror lagi. Tapi sekarang, dia malah bingung saat semua perempuan menjauh, Sabrina ikutan menjauh. Malah yang lebih buruknya, dia ikutan pergi juga. Pergi yang benar-benar pergi meninggalkannya, memutuskan mengakhiri hubungan mereka tanpa ada alasan yang jelas.  “Kan… kan… ngalamun lagi!" Aris gedeg sendiri saat Wira terus saat melamun sedari tadi, dia bahkan berbicara dengan keras agar Wira mendengarnya, bukan hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri. " Lo lama-lama gue beliin anti-depresan deh, biar nggak kayak orang sakau gitu. Dikit-dikit bingung, dikit-dikit diem, dikit-dikit bilang ada yang bisikin. Emang orang kurang kerjaan itu orang yang bisikin lo."  Tanpa mau menghiraukan Aris lebih lama, Wira langsung berlalu begitu saja. Dia sebenarnya ingin menerima fakta yang baru saja Aris sebutkan, tapi sisinya yang lain tidak terima dan tetap memegang teguh kenyataan kalau dirinya baik-baik saja. Meskipun pikirannya suka mendadak tidak tenang dalam waktu tertentu, apalagi saat malam dan sedang lelah-lelahnya.  Belum juga Wira sampai ke ambang pintu, Aris kembali bersuara yang sukses membuat langkahnya terhenti sejak pertama mendengar penuturan Aris. “Gimana kalau sebenarnya lo kena gangguan, Wir? Gangguan yang nggak lo sadari sebelumnya karena lo emang nggak sadar waktu ngelakuin itu semua.”  Terkadang, Wira ingin percaya dengan yang dikatakan orang-orang saking banyaknya yang mengeluhkan tentangnya, tapi semua orang yang mengeluh kepadanya tidak memiliki bukti. Jadi, Wira tidak mau percaya. Hidupnya jauh lebih berharga daripada dihabiskan untuk mempercayai perkataan orang yang tak ada bukti kebenarannya sama sekali.  ***  Kebetulan, Wira tidak mengambil lembur hari ini. Dia pusing, jadi langsung kembali ke apartemen saja. Pria itu berjalan dengan langkah lebar ke arah sofa. Setelah meletakkan jaketnya di sofa, dia menatap setiap penjuru ruangan.  Mulanya, semua terlihat baik-baik saja. Apartemennya masih sama, tidak ada yang berubah. Sentuhan-sentuhan Sabrina masih tertinggal di setiap sudut, di setiap sisi. Tentu saja. Perempuan itu selalu membantu Wira beberes dan tidak segan menata interiornya. Wira yang dibantu pasrah saja. Lagi pula, seleranya hampir sama dengan Sabrina. Jadi, dia menerima saja saat Sabrina lebih sibuk menata apartment daripada duduk dan menonton film bersamanya.  Mengembuskan napas pelan, Wira duduk di sofa sesekali memijat batang hidungnya. Alih-alih pergi ke kamar, Wira malah tiduran di sofa yang tak muat untuk menampung kakinya itu. Alhasil, kakinya menjuntai keluar, tapi dia tetap bertahan di sana. Matanya yang tajam menatap langit-langit sayu. Dari tadi dia membatin bagaimana kalau dirinya sakit saat Sabrina tidak bisa atau lebih tepatnya tidak mau merawatnya lagi.  Sedari dulu, perempuan itu yang selalu heboh kalau dirinya sakit. Apalagi waktu kecelakaan besar dulu yang sampai tidak bangun selama tiga hari. Saat membuka mata, dan mulai sadar seutuhnya beberapa jam kemudian, dia merasa bersalah melihat keadaan kacau Sabrina. Lalu sekarang, semuanya seolah hanya mimpi. Semua yang berlalu, hanya menjadi kenangan. Pria itu mengembuskan napas sekali lagi. Dia pasti sudah jadi sad boy karena ditinggal Sabrina. Perhaps, sesama lelaki macam Aris atau teman satu kantornya yang lain seperti Imam, Dandi, Kamim dan yang lainnya, Wira sudah seperti kehilangan dunianya dengan Sabrina pergi. Maksudnya, mereka juga menjadi saksi bisu perjuangan mereka bisa sampai di saat-saat seperti ini.  Namun, ada celetukan asal yang Wira ingat dari tiga hari yang lalu. Kira-kira, berbunyi seperti ini. “Untung Sabrina ninggalin lo pas lo lagi di atas-atasnya, ya, Wir. Kalau lo masih melarat mah, kita nggak segan bilang itu cewek mata duitan. Tapi see, dia nggak sama siapa-siapa dan itu cukup membuktikan kalau emang lo yang bermasalah di sini." Hah! Wira bangkit lagi dari posisi tidurannya. Dia agak kepikiran dengan pernyataan barusan. Agaknya, seolah-olah dia yang paling salah di sini. Padahal menurut Wira, juga seperti itu adanya. Masalahnya, dia kenal Sabrina tidak satu atau dua hari. Sebelum memutuskan untuk menjadi pasangan kekasih, tentu mereka sudah mengenal lama sebelum itu. Sabrina adalah adik tingkat Wira. Umur mereka terpaut tiga tahun. Saat Wira di semester akhir, Sabrina baru masuk kampus menjadi mahasiswi baru.  Niat hati ingin melupakan, Wira malah mengambil handphonenya yang sedari tadi tersimpan di saku celana. Tanpa sadar, senyum manisnya terbit kala melihat look screen handphonenya yang masih menampilkan potret kebersamaannya dengan Sabrina. Haruskah dia ganti wallpapernya? Namun, Wira terlalu sayang. Biar saja semua orang mengatainya berlebihan hanya karena ditinggal Sabrina. Yang merasakan Wira sendiri. Yang sesak Wira sendiri. Orang-orang tidak akan paham. Yang mereka tahu, Wira berlebihan seolah wanita di dunia ini hanya Sabrina saja.  Daripada semakin melantur kemana-mana, Wira memutuskan bangkit dan pergi ke kamar. Sebentar lagi Magrib, tentu dia harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang Muslim. Wira sudah siap saat azan Maghrib berkumandang. Dia duduk dan membaca doa selepas azan dengan khidmat. Setelah itu berjalan keluar apartemen menuju masjid yang ada di lantai dasar. Sesekali menyapa salah satu atau dua orang yang kebetulan juga akan pergi ke masjid. Semuanya berjalan lancar, sampai bisikan yang menghasut memenuhi kepalanya. “Jangan masuk, Mas.”  Wira menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari wanita yang baru saja berbisik tepat di telinganya. Namun sama seperti sebelum-sebelumnya, tidak ada siapa-siapa. Wira menggeleng pelan. Dia mengusap wajahnya gusar dan bergegas mengambil wudhu, kemudian salat berjamaah dengan yang lainnya.  Wira hanya diam seusai salat. Ketika semua orang menengadahkan tangan untuk berdoa, dia seperti orang yang sebentar-sebentar lupa, sebentar-sebentar ingat. Tapi Wira meyakini dia baik-baik saja. Dia seperti itu mungkin karena efek kecapaian. Karena itu dia tidak terlalu mengambil hati pikirannya sendiri.   ***  Tidak ada angin, tidak ada hujan, Wira terkejut saat Aris tiba-tiba datang ke apartemennya dan mengajaknya ke suatu tempat. Ya, Aris memang memiliki kartu akses di sana juga, pak satpam juga sudah tahu kalau Aris teman dekat Wira, jadi dia memberi izin saat Aris berkunjung. Terlebih, lelaki itu memiliki kartu aksesnya langsung.  Mulanya, Wira sempat mengomel karena Aris mengajaknya begitu mendadak, jam sepuluh malam pula. Wira tadi bahkan sudah bermimpi kalau tidak salah. Namun dengan kejam Aris masuk ke kamarnya. Sekali lagi, untung Wira bukan penderita jantung. Bisa shock dia kalau terus-terusan dikagetkan seperti ini. Karena itu, dia diam saja saat Aris menyupir mobilnya dengan santai. Dan beberapa saat kemudian, mereka berhenti di salah satu rumah sakit.  Wira sudah bingung sejak memasuki parkiran. Kepalanya berpikir keras siapa yang sakit. Masalahnya, Aris tidak mungkin mengajak Dokter Jonson ketemuan di jam seperti ini. Karena itu dia bingung. “Yang sakit siapa, Ris? Ini udah malem lhoh, nggak ganggu?” tanyanya polos.  “Udah, tenang aja. Dia nggak akan keganggu kalau lo nggak ikutan masuk.” Jadilah Wira menyerngit bingung sendiri. Lalu, tujuannya Aris membawanya ke sini untuk apa? Lama-lama, yang aneh itu bukan dirinya, tapi Aris saja yang suka aneh.  Lama berjalan, saat Aris menghentikan langkahnya, Wira ikutan berhenti. Mereka berhenti di salah satu ruangan yang sepi. Tapi tunggu… “Wir, coba deh lihat di dalem siapa.” Bagai anak anjing yang menurut, Wira menoleh ke dalam ruangan yang dimaksud lewat celah kaca kecil di pintu. Dan saat itu juga, Wira terbelalak kaget.  “Sabrina.” Lirihnya bingung. Pasalnya, beberapa hari ini, dia sempat melihat Sabrina meski dari kejauhan. Dan perempuan itu baik-baik saja. Dia tersenyum kepada semua orang seperti biasa. Dan malam ini? Bagaimana bisa dia di rumah sakit, dengan bantuan tabung oksigen seperti itu?  Seolah lupa statusnya yang sudah berakhir, Wira hampir membuka pintu ruangannya, tapi ditahan oleh Aris. “No. Jangan sekarang.” Kata Aris lemah, seperti mengerti keadaan mereka yang tidak memungkinkan untuk berbicara berdua saja.  “Dia sakit, apa? Selama berhubungan, Sabrina nggak pernah sakit sampai seperti ini. Daya tahan tubuhnya bagus.” Aris menghela napas pelan emndengar cerita Wira tentang Sabrina. “Lo aja bingung, Wir. Apa lagi gue.” Aris menampilkan wajah yang terlibat tersiksa.  “Ya terus lo bawa gue ke sini kalau nggak buat ketemu sama dia terus buat apa?” tanya Wira menuntut, mulai tidak sabar.  “Gue cuma mau lo tau keadaannya. Sabrina nggak baik-baik aja meski udah pisah sama lo.”  “Mak—” Wira berkacak pinggang, “maksud lo apa?” tanyanya bingung.  “Lo nggak akan ngerti kalau nggak lihat langsung, Wir.” Aris sendiri sudah frustasi mengatakan banyak hal pada Wira. “Lihat apa?”  Wira semakin kalut, tidak paham dengan teka-teki yang Aris berikan. Sungguh, dia tidak suka saat semua orang bertele-tele dalam menyampaikan sesuatu. Lebih baik tidak saja sekalian. “Gue mau masuk.” Kata Wira lagi saat Aris hanya diam saja.  Namun, satu kalimat Aris berhasil membungkamnya hingga langkah kakinya terhenti tepat di depan pintu masuk. “Yakin Sabrina nggak histeris lagi waktu lihat lo?”  “Buktinya waktu rapat dia fine-fine aja. Dia bahkan menguatkan pendapat gue.” Wira berpendapat, menguatkan pemikirannya sendiri. “Itu karena ada orang banyak di sana.” kata Aris telak. Benar saja, tangan Wira hanya sampai menyentuh handle pintu, tidak sampai membukanya. “Kalau gitu Lo ikut masuk aja sama gue. Biar Sabrina ngerasa aman kalau ada lo.”  Aris jadi kasihan sendiri melihat wajah datar Wira yang tidak berekspresi apa-apa. Ingin membantu, dia juga belum tahu jalan keluarnya. Masalah yang sebenarnya saja dia tidak tahu. Sungguh, menyedihkan sekali kisah mereka. “Okay, gue temenin masuk. Tapi kalau ada tanda-tanda dia mau nangis, Lo keluar sendiri, ya?” Perkataan Aris barusan benar-benar membuktikan kalau Wira tak lebih dari beban untuk Sabrina sekarang ini. Namun apa boleh, buat? Dia hanya bisa mengiyakan saja.  Dan masuklah mereka ke ruangan itu sama-sama. “Hai, Sab. How do you fell? Better now?” Perempuan itu jelas pucat pasi, tapi masih memaksakan bibirnya untuk tersenyum.  Sampai, senyumannya padam melihat Wira berjalan dan berdiri di samping Aris yang juga masih berdiri. “Hai?” sapanya lebih dulu.  Sabrina hanya tersenyum tipis. Asal tahu saja, dia ingin berteriak saking senang dan sesaknya. “Nggak ada yang nungguin?” Aris yang memang tidak memiliki masalah tentu bersikap biasa saja, dia bahkan sudah duduk di kursi yang ada di sebelah brangkar Sabrina. Beda jauh dengan Wira yang mau melangkah sedikit saja bingung harus bagaimana.  “Duduk, Mas.” Suara itu, for God’s sake. Wira merindukannya. Dia sangat merindukannya. Seperti terhipnotis, Wira langsung duduk di kursi dan melihat Aris dan Sabrina yang bercengkrama sambil berpikir keras. Takut jika Sabrina selama ini merahasiakan sesuatu padanya. Dia tadi bahkan berpikir kalau Sabrina sakit. Karena akhirnya nanti tidak mau menyusahkan, makanya dia meminta berpisah sekarang.  Namun sepertinya, itu tidak akan ada di dalam cerita mereka. Wira tahu betul Sabrina. Perempuan itu sehat. Dia suka menjaga pola makannya. Makannya yang bergizi-bergizi juga. Selama hampir dua jam di sana, lebih tepatnya saat saudaranya Sabrina datang, mereka langsung pamit pergi. Kalau boleh memilih. Andai hubungan mereka baik-baik saja, Wira akan dengan senang hati menunggui Sabrina sampai sembuh.  Bagaimana dulu Sabrina mengurusnya seorang diri pasca kecelakaan, Wira mulai percaya kalau dirinya tidak berguna. Harusnya, dia bisa melakukan hal lebih dari yang Sabrina lakukan padanya. Dan kalau boleh jujur, tanpa Sabrina, tidak akan pernah ada Hikayat Prawira yang sekarang.  Pernah dengar kalau kesuksesan seorang pria itu karena ada sosok wanita hebat di belakangnya? Dan ungkapan itu memang benar. Sabrina adalah semangat Wira untuk menjadi lebih baik selama ini. Mungkin, memang ini yang terbaik. Wira tidak mungkin memaksa. Daripada melihat Sabrina sedih, dia lebih memilih yang terluka saja. Atau mungkin, Sabrina lah yang lebih terluka dari semua orang yang ada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD