Suaranya Tidak Asing

1109 Words
Akhirnya jam mata kuliah si dosen galak itu pun berakhir, meski Via tidak bahagia karena akhirnya tidak seperti yang dia harapkan. Sang Dosen memberinya tugas yang begitu banyak padahal bisa di katakan ini adalah semester pertamanya. Masa iya harus di hadapkan dengan tugas segini banyaknya? Beginikah kuliah? Betty merangkul lengan Via. Dia tidak mau kehilangan bestie satunya itu. Menariknya langsung ke kantin yang ada di samping luar gedung fakultasnya. Jangan harap tempat itu sepi pada jam segini. Para mahasiswa juga pasti akan lari ke sini usai mata kuliah mereka berakhir meski hanya sekedar nongkrong cekakak cekikik sama temannya sambil menunggu jam mata kuliah berikutnya. "Loe mau minum apa, Vi?" tanya Betty. Meski belum mendapat kursi kosong, dengan percaya dirinya Betty memesan minuman sekaligus makanan untuknya dan Via. Asal pesan saja karena sampai saat ini Betty belum tahu persis apa makanan kesukaan Via yang sebenarnya. "Terserah loe deh!" jawab Via seraya menelisik setiap sudut kantin mencari tempat kosong. "Ty, gue ke sana ya. Ada kosong tuh dua," tunjuk Via. Betty mengangguk. Beberapa saat kemudian Betty datang dengan nampan di tangannya. Nampan berisi pesanan makanan dan minuman untuk dua orang. Dia menaruhnya di atas meja dan membaginya untuk Via dan dirinya. Kemudian mangun nampan kosong itu di meja sebelahnya yang kebetulan baru saja kosong. "Makasih," ucap Via atas traktiran yang Betty berikan padanya. "Gak ada proyek makasih!" seru Betty. "Hmmm ... sogokan ternyata ini?" tebak Via, tepat. Tidak serta merta mentraktir, Betty ingin balasan atas kebaikannya. Ya walau gak muluk-muluk. "Loe harus cerita malam pertama loe jebol sama siapa?" "Sttt! Betty! Volume suara loe tuh kecilin dikit napa sih?!" Via membungkam mulut Betty dengan tangannya. "Iya, iya, sorry. Lagian gak ada yang kenal kita juga kali di sini!" balas Betty seraya melebarkan mata menatap sekitarnya. Via menarik napas dalam-dalam, bersiap bercerita pada bestie-nya. Tentang malam pertamanya dengan pria yang tidak dia cintai. Pria yang dia tidak kenal, baru pertama bertemu dan langsung merenggut kesuciannya. Mahkota berharganya yang dia harapkan pria yang dia cintailah yang dapat menikmatinya di malam pertama pernikahan. Tapi harapan Via hanya tinggal harapan saja sekarang karena kenyataan tidak berpihak baik pada mahasiswi pintar itu. Kebutuhan ekonomi adalah penyebabnya. Memaksa Via mengambil keputusan mengambil jalan ninja menjadi kupu-kupu malam. "Dia, pria matang, Ty. Dia ngajarin gue semua gaya yang mau dia nikmati." Via terkikik mengingat permainan semalamnya bersama Ryan. "Rasanya gimana?" selidik Betty, penasaran tingkat dewa wanita satu itu. "Gak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Sakit tapi enak, sampai sekarang gue masih berasa miliknya masih tertinggal di dalam." Via membetulkan posisi duduknya. Betty tertawa lepas sampai mengeluarkan air mata. "Sttt!" Via kembali membungkam mulut Betty. Wanita itu mengusap sudut matanya. "Loe lucu banget sih, iya rasanya memang begitu karena baru di coblos. Tar lama-lama juga terbiasa." "Tadi mami Lira telpon dan pria itu mau gue temenin dia lagi," beber Via. "Ambil dong!" "Gue takut, ini aja masih berasa nyeri dikit." "Segede itu kah?" "Heum, gede banget, Ty." Betty menelan salivanya kasar. "Ukuran orang bule?" Via mengangguk dengan wajah merona. "Ohhh, pantesan!" Betty kembali menyuap makanan ke dalam mulutnya. "Terus kapan loe siap lagi?" selidik Betty. "Gak tau, tunggu bunda gue sembuh lah." *** Kedua mahasiswi itu sedang membicarakan seorang pria yang memuaskan Via beberapa malam yang lalu. Sosok pria itu sendiri saat ini sedang uring-uringan karena wanitanya masih belum memberinya jawaban hingga saat ini. Ryan menghubungi Lira kembali. Menanyakan kabar dari Nona V-nya. "Maafkan saya Tuan Ryan, nona V belum memberi saya kabar," jawab Lira kala Ryan menanyakan kepastian pesanannya. "Saya butuh kepastian segera, Lira!" paksa Ryan. "Saya akan kabari Tuan Ryan segera setelah mendapat kabar darinya." Panggilan pun berakhir sepihak, Ryan langsung mematikan sambungan telponnya karena kesal. Tidak juga fokus pada pekerjaan karena selalu membayangkan nona V-nya, Ryan menghubungi sahabatnya. Hanya satu kali nada tunggu, pria tampan di seberang sana menjawabnya. "Hai, Bro. Ada apa nih telpon jam segini?" "Loe dimana, Ga?" Bukannya menjawab, Ryan malah bertanya balik pada Dirga sahabatnya yang bekerja satu profesi dengannya hanya beda universitas. "Di kampus, baru aja selesai ngajar. Kenapa?" jawab Dirga, dan dia mengulang pertanyaannya. "Gue ke sana ya!" "Asik nih di traktir makan siang." Ryan terkekeh kecil, "Makan siang di kantin kampus." "Loe mau makan siang apa cuci mata liat mahasiswi kampus gue?" Dirga tertawa lepas. "Sambil menyelam minum cendol." "Enak dong!" seru Dirga. Keduanya terbahak. Selesai menghubungi Dirga, Ryan langsung beranjak dari kursi CEO-nya mengambil tas tangannya dan kunci mobilnya, tidak lupa jas yang dia sangkutkan di kursi. "Ra, tolong alihkan semua pertemuan hari ini sama Galih, saya ada urusan lain. Kalau klien tidak mau sama Galih kamu atur jadwal ulang saja," pesan Ryan pada sekretarisnya. "Tapi, Pa. Pak Galih masih rapat di perusahaan baterai itu," sahut wanita cantik bernama Rara itu, mengingatkan sang atasan kalau asistent pribadinya yang bernama Galih sedang back-up dirinya rapat di perusahaan baterai di pinggir kota. Ryan terhenyak, dia lupa akan hal itu padahal dia sendiri yang meminta sang asistent menggantikannya tadi pagi. "Ya sudah kamu reschedule aja semua." Tutup Ryan kemudian dia pergi meninggalkan sang sekretaris. Rara mendengus kecil kemudian dia kembali ke ruangannya. *** Ryan tiba di universitas Dirga, universitas swasta yang sama besarnya, dia dulu juga pernah mengajar di sini. Hanya saja karena perusahaannya sedang berkembang dan tidak dapat jadwal ngajar yang tepat mau tidak mau dia mengundurkan diri jadi dosen di universitas ini. Pria itu memarkir mobilnya dekat dengan kantin yang di design sebagian indoor dan sebagian lagi outdoor. Ryan mencebik, "Tambah bagus aja ni kampus," pujinya. Karena melihat bangunan kantin yang sudah di renovasi sedemikian bagusnya untuk kenyamanan mahasiswanya. Setelah mematikan mesin mobilnya, Ryan keluar dan mengunci mobilnya dengan remote di tangannya. Dia menyusuri jalan di kantin itu, jalan pintas menuju gedung rektorat dimana ruang dosen juga berada di sana. "Betty, cepetan! Kelas Bu Mutia sebentar lagi mulai loh!" pekik Via sembari merapihkan buku-buku tebal miliknya dan Betty. Sang sahabat yang sedang sibuk bertelepon ria membuat Via membawa semua buku-bukunya dan lebih dulu pergi meninggalkan miss ring-ring tersebut. "Ish! Telponan gak kelar-kelar tuh orang!" gerutu Via. Via kerepotan dengan bawaannya, buku miliknya sudah tebal dan banyak di tambah buku Betty, beberapa kali dia membetulkan posisi buku-buku di tangannya, membuatnya hilang fokus pada jalan dan akhirnya dia menabrak punggung seseorang. "AKH!" pekik Via, karena menabrak semua buku di tangannya terjatuh. Via langsung jongkok dan mengambil buku-bukunya. Bersamaan dengan itu sosok pria yang Via tabrak berbalik dan melihat Via yang sedang menunduk. "Lain kali kalau jalan hati-hati, Mba! Sudah mahasiswi kan!" Deg! Seketika Via terpaku, membeku. Bahkan sampai tidak berani menengadah, tidak berani menatap sosok tersebut. Via terus menunduk, beruntung rambutnya panjang hingga bisa menutup sebagian wajahnya. Karena dia mengenal betul suara bariton itu. Ya, suara itu, suara yang sudah ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD