FAMILY

1979 Words
Eks Corpus Alienum adalah istilah medis untuk menyebut kejadian tertelan benda asing serupa jarum, paku, koin, gigi palsu dan lain-lain. Gadis remaja yang sedang aku tangani sekarang mengalami itu. Jika tidak salah, diblanko tertulis namanya Fera Riadra, 15 tahun. Setelah melakukan rontgen, aku segera memberikan hasilnya pada suster Rani. "Sudah Ga?" tanya suster Rani. "Sudah, ini!" jawabku sembari memberikan hasil rontgen pada suster Rani. "Oke, thanks." Aku mengangguk kecil. Setelah itu suster Rani dan pasien itu keluar dari ruangan. Aku menghela napas panjang. Meski aku bukan dokter, aku menyadarinya bahwa jarum yang ditelan gadis bernama Fera itu berada di daerah bronkus. Jadi kemungkinan dia akan dibawa ke brokus scopy ( poly paru ) untuk segera ditangani. Karena kasus ini termasuk dalam kategori klinis cito ( urgent ), jarum itu akan diangkat dengan tindakan bronkoskopi. Aku bukan dokter, sekali lagi aku menegaskan. Aku seorang Rafiografer. Akan tetapi seorang Radiografer juga mempelajari soal anatomi manusia dan penanganannya jika terjadi hal berbahaya. Namun kami hanya memberitahukan, bukan langsung mengeksekusi. Aku tidak tahu bagaimana kronologi kejadian sehingga Fera dapat menelan jarum tetapi keinginanku sama seperti semua orang. Aku berharap Fera akan baik-baik saja. Semoga. Dia sudah berada di rumah sakit, itu artinya dia sudah berada di tangan yang tepat. Rumah sakit kami memiliki tenaga medis yang mumpuni, jadi mereka pasti akan melakukan yang terbaik untuk Fera. Aku berjalan pelan lalu duduk di kursi, mengistirahatkan diriku. Belum ada blanko permintaan untuk rontgen lagi sehingga aku bisa sedikit bersantai. Aku membekap mulutku dengan tangan kanan saat menguap. Entah kenapa lelah padahal baru menangani beberapa kasus. Aku tidak sedang mengantuk dan ingin tidur, tetapi tubuh yang penat akan membuat tubuh menguap otomatis. Jadi, aku mengeliat sebentar lalu berdiri, memutuskan untuk berolahraga agar tubuhku lebih segar. "Ga." Panggilan itu membuatku menoleh, suster Mirna yang datang dengan blanko di tangannya. "Nih," katanya sambil memberikan blanko padaku. "Oke," sahutku sembari menerima blanko yang diberikannya. Aku meneliti sebentar nama pasiennya, Abdul Gafur, 70 tahun. "Ini pasien yang tadi diagnosa Hidronefrosis sin*?" tanyaku memastikan. Suster Mirna mengangguk. "Iya, tadi hasil rontgen darimu dikonsulkan ke dokter Gilang dan diputuskan untuk laser ( eswl )*," jawab suster Mirna. "Oke, jadi ini akan BNO IVP?" Suster Mirna mengangguk. "Yups," katanya. "Persiapkan plannya kata dokter Gilang, besok eksekusi." "Oke," jawabku. Suster Mirna tersenyum kecil sebelum akhirnya keluar dari ruangan. Saat melakukan rontgen abdomen dan melihat adanya batu ginjal di tubuh pasien, aku sudah menduga proses selanjutkan adalah BNO IVP. Walaupun ada prosedur lain yang juga bisa digunakan yaitu USG. Namun, setelah proses pemeriksaan abdomen polos, jarang dilakukan USG. Kalaupun USG, nama USGnya disebut USG Abdomen. USG ada banyak jenisnya, seperti USG abdomen ( perut ), dut ( tungkai ), tiroid ( leher ) dan mammae ( p******a ). Pelaksanaan BNO IVP pasien barusan dijadwalkan besok pagi sekitar jam 7 pagi. Hal ini karena Poli Urologi pada malam hari tidak ada, yang ada poli Obgyn. Dokter Gilang Sp.U adalah salah satu dokter Urologi terbaik yang rumah sakit kami miliki. BNO ( Blass Nier Overzich ) dan IVP ( Intravena Pyelografi ) adalah salah satu pemeriksaan radiologi untuk melihat saluran kemih. Prosedur ini diperlukan untuk mendapatkan gambaran radiologi dari letak anatomi dan fisiologi serta mendeteksi kelainan patalogis dari ginjal, ureter dan vesika urinaria. Prosedur BNO IVP memerlukan persiapan yang matang, tidak bisa sembarangan. Terlebih, prosedur BNO IVP memakai cairan khusus yang disebut kontras. Adapun persiapan-persiapan BNO IVP sebagai berikut : pertama pasien menjalani pemeriksaan uream kreatinin. Kedua, pasien akan diberi laksansia yang digunakan untuk membersihkan kolon dari feses yang menutupi daerah ginjal. Selain itu, pasien akan diminta untuk tidak minum, berpuasa dan sedikit bicara ataupun merokok. Larangan ini untuk menghindari gangguan udara di usus saat pemeriksaan besok pagi. Paginya setelah segala persiapan selesai, dilakukan foto BNO sebagai langkah awal pemeriksaan BNO IVP. Baru kemudian, suster Mirna selaku suster khusus melakukan skin test obat kontras ke kulit pasien. Prosedur ini berlangsung sekitar 15 menit untuk melihat apakah ada dampak alergi atau tidak dari pasien kepada obat yang akan dimasukkan lewat infus. Saat dalam proses menunggu, Arif datang. Shiftku sudah selesai. Karena itu, aku segera melakukan operan ( mengoper agenda / blanko yang belum dikerjakan atau hal penting apa yang perlu dioperkan seperti kondisi alat alanger*, biasanya untuk menjelaskan dimana posisi atau siapa yang terakhir memakai alat tersebut ). "Cuyy," panggilku pada Arif. Arif adalah rekan radiografer yang bertugas di bagian yang sama sepertiku dan Vety. Selain mereka berdua, juga ada Kamil, Febri, Ilham dan Dila. Dila bukan hanya radiografer, dia merangkap sebagai Karu ( Kepala Ruangan ) kami, menggantikan bang Nopri yang sedang cuti untuk melanjutkan pendidikan S2-nya. "Ya, Ga?" sahut Arif. "Pasien yang lagi ditangani sekarang namanya Abdul Gafur, 70 tahun, lagi proses BNO IVP. Sekarang lagi proses cek obat, habis ini foto menit ke-5, 15, 30 dan 45," kataku melaporkan agenda yang sedang aku tangani. "Jangan sampai lewat, nanti obatnya lewat!" imbuhku yang langsung dijawab anggukan oleh Arif. "Siap, thanks," sahut Arif. "You're welcome." Foto menit ke-5, 15, 30 dan 45 adalah bagian terpenting dalam prosedur BNO IVP. Menit ke-5 untuk menilai nefrogram dan mungkin sistem pelviokalises ( SPC ). Menit ke-15 untuk menilai sistem SPC sampai dengan kedua ureter. Menit ke-30 untuk menilai ureter dengan buli-buli dan menit ke-45 untuk menilai buli-buli. Selesai melakukan operan, aku pun bersiap untuk pulang. Aku lepas dulu baju dinasku, APRON, sarung tangan dan masker. Setelah itu aku lepaskan pula TLD. TLD ( Termoluminisensi Dosimeter ) adalah alat yang digunakan untuk mengukur berapa banyak radiasi yang diterima oleh seorang radiografer. Hal ini dikarenakan radiasi berbahaya bagi manusia dan juga untuk menjaga keselamatan pekerja radiologi itu sendiri maka berdasarkan peraturan BAPATEN ( Badan Pengawas Tenaga Nuklir ) sekurang-kurangnya sekali dalam setahun harus dilakukan peninjauan. Di rumah sakit kami, petugas radiasi menjalani pemeriksaan setiap tiga bulan sekali. Alat pengukur ini dikirim ke BAPETEN Medan untuk mengetahui berapa banyak radiasi hambur yang seorang radiografer dapatkan. Seorang pekerja radiasi dikatakan aman jika batas dosis yang mereka terima tidak melebihi 20 miliseivert ( mSV ) pertahun. Sedangkan untuk radiografer, faktanya, kami hanya menerima paparan radiasi 0,1 miliseivert perbulan sehingga para radiografer tidak perlu cemas akan dampak radiasi. Namun jika melewati batas, petugas wajib diistirahatkan. Aku melangkah dengan santai di lorong rumah sakit. Sempat ke kamar mandi dulu untuk mencuci muka. Perutku kelaparan, jadi aku memutuskan untuk mencari sarapan dulu sebelum pulang. Saat melewati lorong, tanpa sengaja aku berpapasang dengan Ima, satu-satunya admin radiologi di rumah sakit kami yang berjalan santai dengan senyum terkembang sempurna. Dia selalu tersenyum, tidak pernah terlihat murung atau sedih. Pembawaannya selalu ceria. Dia juga merupakan satu-satunya perempuan yang suka digodain Arif, tapi aku tidak terlalu tahu detailnya. Lagipula, itu juga bukan urusanku. "Kanggent," sapanya begitu melihatku. Kanggent bukan bahasa Ilmiah apalagi bahasa Latin atau Rusia. Singkatan dari Tukang Rontgen. Dia memang biasa memanggil kami dengan panggilan itu. Sekadar candaan untuk mengakrabkan diri jadi tidak ada rasa tidak suka atau tersinggung jika dia yang bilang. Terkhusus dia, kami juga memiliki julukan khusus. "Ya, Imbul," kataku balas menyapanya yang langsung membuatnya mengembungkan pipi. "Dih, Rangga gitu ih! Ima ngambek!" protesnya. Aku hanya berwajah datar walau sebenarnya ingin tertawa. "Apa yang salah, Imbul, Ima gembul?" tanyaku pura-pura tidak mengerti ucapannya. Ima mendengus kesal. "Ih, Ga, nggak cium bau sesuatu nggak?" katanya sambil mendengus-endus udara di depannya. Aku menautkan alis. "Bau apa?" Ima mendekat ke arahku beberapa langkah sambil tetap mengendus udara di sekitarnya. "Aw, busuknya bau Rangga!" jeritnya sambil nutup hidungnya. "Pulang sana, Ga. Pulang! Udah bau apek," katanya mengejek sambil ketawa-ketawa. "Nyebelin, Im," gerutuku lalu berlalu pergi meninggalkan Ima yang masih tertawa. Tiba di depan pintu masuk rumah sakit, terdengar suara ambulans. Bersamaan dengan itu, ada keramaian yang terlihat olehku. Aku yang sebenarnya tidak begitu peduli, mendadak jadi tertarik. Aku mencoba sebisanya untuk melihat apa yang tengah terjadi. Aku tertegun saat tahu bahwa sedang dilakukan proses pemindahan jenazah. Salah satu pasien kami meninggal dunia dan akan dibawa ke rumah duka. "Kasihan ya." "Katanya yang meninggal kecelakaan saat dalam perjalanan pulang ke rumah orang tuanya," "Iya, ditabrak truk. Nggak langsung meninggal, setelah dua hari dirawat meninggalnya.” "Istrinya sedang hamil lagi." "Wah, gimana nasibnya tuh?" Desas-desus tentang pasien yang sudah meninggal dari beberapa orang yang juga menonton itu tiba-tiba membuatku jengah. Aku menghela napas panjang lalu pergi meninggalkan keramaian itu. Bukan tidak ingin bersimpati, tetapi kematian adalah suatu kejadian yang selalu menyakitkan dan meninggalkan bekas luka bagi orang yang ditinggalkan ataupun meninggalkan. Apapun penyebabnya, sejatinya kematian adalah sesuatu yang tidak terelakkan. Aku berjalan menuju parkiran, mengambil sepeda motorku lalu pergi meninggalkan area rumah sakit. Tiba di kos, aku menyapa bu Kos yang sedang menyiram bunga. Setelah berbasa-basi sebentar, aku pergi ke kamar kosku. Sebenarnya rada sungkan, hanya saja suka dimarahi kalau ngeloyor pergi begitu saja. Bu Kos bilang kurang sopan makanya aku mulai membiasakan diriku berbasa-basi. Aku membuka pintu kos lalu merebahkan tubuhku di kasur. Lelah, sudah pasti. Kelaparan apalagi. "Ah, lupa beli makanan," gumamku sembari menutup mataku sejenak. Capek. Otakku kembali memutar rekaman saat melihat keluarga korban dari pasien yang tadi terlihat menangis. Entah kenapa, hatiku serasa sakit seakan diiris. Orang tua, dari sekian juta kata yang bisa aku dengar, kata itu sangat menggangguku. Aku jadi teringat padanya, seseorang yang sudah setahun ini tidak pernah kuhubungi. Prinsip kami berbeda sehingga aku meninggalkan rumah dan bersikap kekanak-kanakan dengan tidak menghubunginya untuk waktu yang cukup lama. Aku merogoh kantung celanaku lalu menekan nomer. Telpon diangkat pada deringan yang pertama seolah memang menungguku untuk menghubunginya. "Halo?" Suara berat dan serak itu terdengar. "Halo, Pa?" sahutku menjawab ucapan Papa. "Mamamu sedang keluar, akan aku sampaikan kamu menelpon nanti," kata Papa seolah ingin menyudahi percakapan yang bahkan belum dimulai. "Mai chai ( bukan), " sanggahku cepat. "Rangga memang mau menelpon Papa." Papa diam mendengar ucapanku yang menggunakan campuran bahasa itu. Bukan karena Papa tidak bisa berbahasa Thailand. Akan tetapi kami biasa menggunakan bahasa dari kampung halaman Papa hanya jika ingin mengungkapkan sesuatu yang tidak biasa kami katakan atau tidak ingin didengar oleh siapapun. "S̄ìng thī̀ keid, Rangga ( ada apa, Rangga )?" tanya Papa dengan nada yang terdengar dingin tapi terasa hangat. Samar, ada kecemasan dalam nada suara dingin itu. "Sabai Dee Mai Krap, Po ( apa kabar Pa )?" tanyaku. "Sabai Dee ( baik )," jawab Papa singkat. Hening setelah itu. Tidak ada percakapan yang terjadi di antara aku dan Papa. Aku memang payah dalam hal ini. Berbeda dengan anak perempuan yang bisa langsung mengatakan apapun pada Papa atau mamanya. Aku sangat canggung, kaku malah untuk sekadar berbasa-basi dengan Papa. Bahkan dengan Mama yang suka menelpon atau mengirimkan pesan padaku hampir tiap hari juga begitu. Percakapanku dengan Mama cukup banyak dan panjang karena kebanyakan soal perjodohan. "Bagaimana pekerjaanmu, Ga?" tanya Papa kemudian yang membuatku sedikit kaget mengingat Papa tidak pernah menanyakan itu walau kami satu profesi. Bedanya, kami hanya beda generasi. "lancar, Pa," jawabku. "Baguslah," sahut Papa yang diikuti desahan napas lega. "Ya sudah, Pa," kataku mencoba menyudahi percakapan canggung di antara kami. "Jika ada waktu, pulanglah," kata papa kemudian yang membuatku mengulas senyum senang. "Khrap ( ya )," jawabku. "Rangga pasti pulang." Setelahnya panggilan diakhiri. Walau begitu aku masih tidak bisa berhenti tersenyum karena sudah berhasil berbaikan dengan Papa. Selama hampir dua tahun ini kami tidak mengobrol. Papa kecewa, karena aku memutuskan untuk meninggalkan rumah. Ingin mandiri, begitu alasanku. Walau kemudian menyadari sesuatu setelah apa yang aku alami hari ini. Bagaimanapun sikap orang tua pada anaknya, mereka hanya menginginkan hal terbaik untuk anak-anak mereka. Kalaupun ada perbedaan ideologi, sebaiknya dibicarakan dengan baik. Karena orang tua selamanya akan menjadi keluarga, tidak akan menjadi mantan. Bagaimana keadaan keluarga yang kita miliki, keluarga tetaplah sesuatu yang tidak bisa dibuang walaupun ingin. Karena itu, daripada mengeluhkan sikap keluargaku yang tidak sesuai dengan pemikiranku, aku lebih memilih untuk bersyukur dan menikmati setiap moment kebersamaanku dengan mereka. Sebelum, mereka benar-benar pergi dan tidak bisa kutemui lagi. Keu Rak, Po. Keu Rak, Me. Rangga sayang kalian berdua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD