TAKE IT

2039 Words
Aku melangkahkan kaki menyusuri lorong rumah sakit. Sesekali aku mengarahkan pandanganku ke sekeliling, sekadar menunduk sembari tersenyum lembut untuk menyapa beberapa rekan atau pasien yang aku lewati dengan atau tanpa sengaja. Aku melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 20.40 wib. Hari ini aku bekerja shift malam dari jam 21.00 s/d 07.00 wib. Karenanya, tadi siang aku tidur dulu sampai sore sebelum bekerja. Aku juga sudah makan agar tidak kelaparan saat bekerja. "Malam, Rangga," sapa seorang suster. Aku mengangguk pelan. "Malam juga," sahutku membalas sapaan dari suster itu. Suster itu membalas senyumanku lalu berlalu. Ya, ini memang basa-basi setiap hari. Tidak ada lanjutan untuk itu. Kami memang hanya rekan kerja, sudah sering bertemu karena saling bekerja sama dalam mengobati pasien yang sakit. Walau namaku Rangga, suster barusan bernama Rani Wahyuni, bukan Cinta. Rani adalah seorang suster yang masih lajang. Usianya sekitar 26 tahun, berpostur tubuh tinggi semampai yang selalu berkoar-koar akan menikahi dokter. Sayangnya, para dokter di rumah sakitku kebanyakan sudah taken. Kalaupun masih lajang, sudah punya pasangan yang siap untuk dibawa ke jenjang pernikahan. Aku? Jangan tanyakan perihal itu. Mama tidak akan menjodohkanku dengan banyak wanita jika aku sudah taken. Meski ada banyak wanita di sekitarku, aku belum tertarik untuk mencari 'cinta'-ku. Lagipula, apa itu cinta? Sejenis makanan atau merek sepatu? Haha, entahlah. Aku enggan membahas hal menyebalkan semacam itu. Aku melewati Ruangan Radiology central yang terletak satu line dengan IGD dan Laboratorium. Ruangan Radiology central tidak hanya terdiri dari satu ruangan tetapi masih terbagi lagi menjadi beberapa ruangan pokok. Ada ruang rontgen, ruang CT ( Computerized tomography ) scan, USG dan MCU ( Medical Check Up ). "Tugas malam, Ga?" Pertanyaan itu membuat kepalaku tertoleh. Aku melihat seorang wanita tersenyum ke arahku. Pakaiannya memang hampir mirip dengan seragam suster, tetapi dia bukan suster. Dia sama sepertiku, Radiografer. "Iya, Kak," sahutku. "Wah, kalau aku bentar lagi kelar," katanya lagi memberitahu tanpa kuminta. "Shift sore?" tebakku. Dia hanya mengangguk mengiyakan. "Huum, di bagian rontgen dan CT Scan siapa yang jaga sekarang?" tanyanya. "Vety," jawabku. "Ah, kalau gitu selamat bertugas. Aku mau siap-siap pulang," pamitnya. "Oke. Hati-hati, Kak," pesanku. "Siap," sahutnya lalu berlalu. Wanita itu bernama Ratna, radiografer di bagian MRI. Tidak seperti dugaan banyak orang, di setiap rumah sakit ada banyak jenis Radiografer yang dibedakan sesuai dengan tugasnya. Ada Radiografer yang bertugas di ruang operasi dengan menggunakan alat yg namanya C.arm (si.am), ada radiographer yang bertugas di bagian rontgen dan CT scan sepertiku serta ada yang bertugas di bagian MRI. Di bagian manapun seorang radiografer ditempatkan, kami memiliki tanggungjawab yang sama yaitu mengutamakan keselamatan pasien dan memindai dengan seksama bagian tubuh pasien agar menghasilkan hasil yang mendekati kebenaran agar dokter Radiologi tidak salah dalam memberikan diagnosa. Aku memasuki ruangan Radiologi dan disambut oleh Vety yang sedang minum Yogurt. "Nggak ada kerjaan?" tanyaku. Vety hanya mengangguk. "Belum ada," jawabnya. "Udah jam sembilan?" Aku menggeleng. "Belum, tapi udah hampir.” "Akhirnya," katanya sambil mengeliat, meluruskan punggung. Sepertinya dia kelelahan. Shift kerja radiografer secara umum ada 3 yaitu pagi ( jam 07.00 s/d 14.00 wib), sore ( jam 14.00 s/d 21.00 wib ) dan malam ( 21.00 s/d 07.00 wib ). Walau, ada juga yang mendapat shift dari jam 10.00 wib sampai jam 18.00 wib jika ada rekan Radiografer yang cuti. Kami merupakan salah satu petugas rumah sakit yang harus ada selama 24 jam. Karenanya, aku sangat kesal jika ada orang yang meremehkan profesi seorang radiografer. Banyak orang yang bicara bahkan tanpa mengetahui ilmu atau faktanya. Aku benci orang-orang semacam itu. Berbicara tanpa ilmu, hanyalah bullshit. "Capek banget kayaknya, Vet. Sibuk hari ini?" tanyaku. Vety mengangguk pelan. "Banget, Ga. Tadi aku habis ngerontgen pasien yang masih muda banget, kasian deh," ceritanya. "Kasian kenapa, Vet?" tanyaku penasaran. "Dia habis jatuh dari tangga," jawab Vety. "Beberapa bagian tulang kakinya patah dan dislokasi. Kasihan banget kan?" Aku mengangguk. "Ya, kasihan. Jadi apa dia dioperasi?" "Ya, makanya hari ini sibuk." "Karena satu pasien?" "Karena semakin banyak orang yang kurang menjaga kesehatannya," "Dasar," desisku yang membuat Vety cekikikan. "Sudah jam sembilan belum? Aku laper nih," "Belum, tapi kalau kamu mau pulang duluan silahkan," suruhku. Vety mengembungkan pipinya. "Kenapa?" tanyaku heran. "Aku radiografer bertanggung jawab, kok. Aku nggak akan pergi sampai shiftku kelar," katanya penuh dengan penekanan. "Iya, iya," sahutku mengalah. Vety nyengir, memamerkan barisan giginya yang seperti gigi kelinci. "Kamu sudah makan?" tanyanya. "Sudah," jawabku. "Tumben perhatian, naksir?" godaku. Vety mendecih pelan. "Ngaco. Aku naksir kamu yang dingin kayak es batu? Ogah!" sanggahnya. "Haha, bercanda." Vety nyengir lagi. "Tapi nih, kalau aku putus sama pacarku boleh deh kamu jadi suku cadang," katanya dengan ekspresi seolah sedang mempertimbangkan. "Kalau itu, aku yang ogah," tolakku yang langsung disambut gelak tawa Vety. "Dih, nyebelin," desisnya. "Teet, udah jam sembilan. Aku go home dulu ya," pamitnya lalu berdiri dari duduknya. Aku mengangguk pelan. "Hati-hati!" pesanku. "Sip," sahut Vety lalu pergi meninggalkan ruangan. Selepas Vety pergi, aku duduk di kursi mengamati ruangan operator dimana tempatku berada sekarang. Ruangan ini adalah tempatku standby. Selain ruangan operator, ada ruangan lain yang bersebelahan dengan ruangan ini yaitu ruangan radiasi dan kamar ganti pasien. Ruangan radiasi harus dibuat sesuai standart keselamatan dan ideal. Ukuran minimal ruangan radiasi adalah panjang 4 m, lebar 3 m dan tinggi 2,8 m. Hal ini belum termasuk ruangan operator dan kamar ganti pasien. Tebal dinding ruangan berbeda-beda. Jika dinding dari beton rapat jenisnya 2,35 gr/cc adalah 15 cm. Sedangkan tebal dinding dari bata dengan plester adalah 25 cm. Ada perlakuan khusus untuk pintu dan jendela ruangan radiasi. Pintu serta lobang yang ada di dinding ( misal stop kontak dan lain-lain ) harus diberi penahan-penahan radiasi yang setara dengan 2 mm timbal. Di depan pintu ruangan radiasi juga dipasangi lampu merah yang menyala ketika meja kontrol pesawat dihidupkan. Jendela di ruangan radiasi juga harus minimal 2 m sari lantai dua letaknya. Bila ada jendela yang kurang dari itu maka harus diberi penahan radiasi yang setara dengan 2 mm timbal. Hal penting lainnya, jendela harus ditutup ketika penyinaran sedang berlangsung. Jendela pengamat di ruangan operator juga harus diberi kaca penahan yang sama. Semua aturan ini diperuntukkan demi keselamatan para petugas medis serta pasien itu sendiri.[1] Menjadi petugas radiologi itu penuh dengan risiko, jadi keselamatan adalah prioritas utama. Inilah salah satu alasan mengapa aku ingin jadi rafiografer. Profesi ini dianggap berbahaya tetapi menantang untuk dilakukan. Selain itu, masih jarang dikenal banyak orang sehingga pekerjaan ini jadi sedikit saingannya. Alasan utama mengapa aku menjadi radiografer karena dulu aku melihat papa yang juga menekuni profesi yang sejenis. Namun papa di bagian MRI. Bisa menyusuri tubuh manusia secara keseluruhan dengan suatu alat membuatku begitu bersemangat. Pengalaman melihat apa yang ada di dalam manusia hanya dalam bentuk hitam-putih membuatku mengubah sudut pandangku. Cantik, bukan lagi soal penampilan luar tetapi memiliki rangka tubuh yang sehat dan tanpa ada benda asing di dalamnya adalah kecantikan yang sebenarnya. Karena sekecil apapun benda asing di dalam tubuh manusia akan berakibat fatal bagi seluruh tubuh manusia. Terutama jika benda asing itu adalah sel-sel hidup sejenis tumor atau kanker. Sel hidup itu akan membuat tubuh bak kerangka tanpa otot dan jaringan. Mengenaskan, jika kerangka hanya dibalut kulit. Karenanya, cantik bagiku adalah memiliki tubuh yang bersih dari benda asing yang menyakiti tubuh. Pintu ruangan operator dibuka, suster Rani memasuki ruangan. "Udah giliranmu, Ga?" tanyanya saat melihatku. Aku mengangguk pelan. "Ada pasien," katanya sambil menyerahkan blanko yang sudah diidentifikasi oleh pihak adm ( administrasi ). "Oke," kataku sembari menerima blanko dari suster Rani. Setelah itu suster Rani keluar, memanggil pasien. Aku melihat sebentar keterangan di blanko tersebut. Nama pasiennya Abdul Gafur, 70 tahun. Diagnosa awal, batu ginjal sehingga aku harus melakukan rontgen di bagian abdomen untuk pemeriksaan awal. Tak lama kemudian suster Rani datang membawa pasien laki-laki yang sudah berusia lanjut. Aku mengamati pasien yang melangkah satu-satu dengan dibantu suster Rani itu. Beliau sudah renta , membuat hatiku merasa iba karena jadi teringat Papa yang ada di rumah. Walau papa belum setua pasien ini, aku berharap Papa selalu sehat agar tidak perlu mengalami hal semacam ini. Semoga. Aku pun menyambut pasien itu dengan ramah. Raut wajahnya menunjukkan rasa tegang dan takut. "Selamat malam, Pak," sapaku pada pasien itu dengan ramah. Pasien itu hanya tersenyum kaku. "Ah, iya, malam, Nak," sahutnya dengan bibir agak bergetar. Sepertinya beliau tidak mampu menyembunyikan rasa gugup, takut dan tegangnya. "Tidak apa-apa, Pak," hiburku. "Prosesnya hanya sebentar saja," kataku mencoba menenangkannya. "Saya tidak akan mengalami hal buruk kan Nak?" tanyanya khawatir. "Tidak, Pak. Karena itu bapak akan saya Rontgen dulu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan," hiburku. Pasien itu hanya mengangguk mengerti. Setelah itu aku pun meminta pasien itu mengganti pakaiannya, bersiap untuk rontgen. Demikian pula denganku, sudah siap sedia melakukan tugasku. Setelah itu aku mulai memandu pasien tersebut untuk bisa melakukan proses Rontgen secara baik dan benar. Aku mengatur posisinya dan melihat bagian seperti yang dokter inginkan yaitu bagian abdomen ( perut ) dimana ginjal berada. Selesai rontgen, aku menyerahkan hasil Rontgen pada suster Rani dan pasien yang sudah menunggu. "Sudah selesai, Ga?" tanya suster Rani. "Sudah, Sus. Ini hasilnya!" kataku. "Terimakasih, Ga,” kata suster Rani lalu keluar bersama dengan pasien itu. Selesai menyerahkan hasil rontgen, tugasku selesai. Seorang radiografer perannya memang seperti itu. Kami tidak berhak mendiagnosa, hanya memberikan hasil gambaran bagian tubuh yang ingin didiagnosa. Tapi tanpa kami, dokter tidak akan bisa mendiagnosa penyakit pasien terlebih jika menyangkut sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata t*******g. Aku menyandarkan diriku di kursi, masih terbayang wajah pasien tua yang tampak khawatir itu. Tidak kusangka di usia setua itu, beliau harus dioperasi di bagian ginjalnya. Penyakit memang tidak memilih pada siapapun, mau muda atau tua, mau kaya atau miskin. Karenanya menjaga kesehatan itu sangat penting. Aku baru saja akan terlelap ketika tiba-tiba suster Rani kembali masuk ke ruanganku. "Ga," katanya. "Ya?" "Segera bersiap, pasien berikutnya sudah menunggu. Kali ini cukup gawat," katanya memberikan informasi. "Heh?" "Dia tidak sengaja menelan jarum dan kita harus tahu posisinya untuk bisa mengeluarkannya," jelas Suster Rani. "Oke," kataku lalu mulai bersiap kembali. Suster Rani tersenyum lalu keluar ruangan, hendak memanggil si pasien. Aku menghela napas sambil melihat pakaian dinasku yang sedang aku gunakan, sudah mirip tentara yang memakai baju anti peluru. Bedanya, pakaian perangku bernama APRON dan juga sarung tangan timbal. Tak lama kemudian, pasien yang dimaksud datang. Sesuai blanko, pasien kali ini masih remaja. Karena dia menelan jarum, maka aku akan melakukan rontgen di bagian toraks ( d**a ). Aku memintanya menggunakan pakaian khusus, melepas b*a serta kalungnya. Perlu begitu karena hal-hal itu dapat mengganggu proses rontgen. Awalnya pasien itu tampak enggan, karena aku lelaki mungkin. Untungnya suster Rani bisa meyakinkan pasien itu. Remaja emang labil, padahal tidak ada yang perlu membuatnya malu. Saat merontgen, aku hanya akan melihat kerangka tubuhnya secara hitam dan putih. Tapi tidak apa jika dia berpikir begitu, setidaknya dia tidak akan kembali melakukan hal bodoh dengan menelan jarum dan kembali ke ruang rontgen lagi. Aku berharap begitu. Dengan ‘alat perang’-ku, aku pun mulai menyusuri tubuh pasien itu dalam sebuah ruang dimensi hitam-putih yang menegangkan. Aku harus mencari tahu dimana letak jarum itu singgah. Karena jika tidak segera dikeluarkan, nyawa pasien itu mungkin tidak akan tertolong. Ketemu, ucapku dalam hati ketika berhasil menemukan jarum yang tanpa sengaja tertelan itu tengah melintang indah di antara saluran paru-paru. Jarum kalau tertelan memang memiliki dua kemungkinan yaitu bisa masuk ke saluran pernapasan atau pencernaan. Jarum termasuk logam sehingga mudah untuk mengetahui letaknya yaitu dengan proses rontgen. Baik di saluran pernapasan atau pencernaan, benda asing tajam sejenis jarum sangat berbahaya bila dibiarkan karena bisa menimbulkan luka. Nantinya luka tersebut berisiko jadi infeksi yang berbahaya. Perlukaan di saluran napas atau cerna berpotensi menimbulkan infeksi atau abses ( infeksi yang disertai nanah ). Abses di saluran napas ini berpotensi menyebabkan sesak atau bahkan sama sekali tak bisa bernapas. Kalau ada infeksi di saluran tenggorok akan nyeri saat menelan atau kalau sudah parah, tidak bisa makan sama sekali. Setelah menelan jarum, kemungkinan menimbulkan lecet sepanjang jalan juga bisa terjadi. Jika ini terjadi, bisa menyebabkan pendarahan atau bahkan kolaps. Fatalnya, bisa menyebabkan pasien meninggal dunia. Oleh karena itu, mengetahui posisi jarum yang tertelan sangat menentukan cara dan bagaimana menangani keadaan genting tersebut. Seandainya ada alat medis tetapi tidak ada petugas yang bisa mengoperasikannya, pasti tidak akan ada gunanya bukan? Karenanya, orang-orang seperti kami, Radiografer diperlukan. Masih menganggap kami tukang Rontgen semata? Jangan bercanda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD