2

1010 Words
Sepeninggalan Amina dan Hardi tadi siang, Ara mulai mengerjakan pekerjaan rumah. Gadis remaja itu menyapu halaman rumah yang mulai di penuhi oleh dedaunan pohon mangga, ia melongokkan kepala keatas—melihat ada beberapa buah mangga yang sudah matang, Ara jadi punya ide untuk mengambilnya besok. Hari sudah menandakan waktunya sore, Ara yang masih berkutat menyelesaikan pekerjaannya memincingkan mata—disana seorang pemuda seumurannya berjalan kearah rumah kakeknya. Bahkan lelaki itu langsung masuk tanpa menyapanya—emm maksudnya, tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Ara mengikuti arah langkah pemuda itu, dilihatnya sedang mencium tangan kakeknya setelah mengucapkan salam. Keduanya berjalan ke depan rumah, pemuda itu mendorong kursi roda Utomo. Ara semakin memincingkan mata, mereka berdua terlihat sangat-sangat dekat—layaknya kakek dan cucu. Ara berpikir bahwa posisi Aris sebagai cucu akan di gantikan oleh pemuda itu, lihat saja betapa akrabnya mereka yang sesekali tertawa santai. “Ara, kesini sebentar.” Utomo memanggil Ara yang masih terdiam melihat keakraban keduanya. Gadis itu meletakkan sapu serta memasukkan tumpukan sampah pada tong besar yang berada tak jauh dari sisinya, lalu berjalan kearah dua lelaki yang berbeda usia. Ara bisa melihat tatapan datar dari tamu kakeknya yang duduk di kursi depan, sepanjang langkahnya ia terus di tatap oleh pemuda itu. “Pemuda ini bernama Andi, dia juga selalu menemani kakek selain Pak Soleh.” Utomo ganti menoleh pada Andi. “Nak Andi, ini Ara—cucu kakek, kamu pasti sudah mengenalnya ‘kan.” Kakeknya memberi kode agar Ara bersalaman dengan pemuda itu, lama sebelum tangannya balik di jabat. Tatapan pemuda itu seakan menusuk tajam tepat di bola matanya, oh ayolah! Seharusnya Ara yang melakukannya, pemuda itu sudah merebut hati kakeknya. Hanya sekitar dua detik mereka bersalaman, setelahnya Ara melepaskan jabat tangan itu karena tidak tahan dengan tatapan yang menghunusnya. Dari arah pintu keluarlah Aris dengan kaos santai dan celana pendeknya, anak itu bersiap untuk mencari warung. Ketiganya mengalihkan pandangan pada Aris, membuat pemuda itu kikuk. “Ada apa melihatku seperti itu, tampan kan?” Ara memutar bola matanya jengah, berbeda dengan Andi yang menampilkan raut datar. “Aris, perkenalkan ini Andi. Dan Nak Andi, ini Aris cucu kakek.” Aris hanya mengangguk-angguk, enggan untuk bersalaman karena hanya membuang-buang waktu berharganya. “Mana kunci motornya kek?” Tanya Aris pada Utomo, mengabaikan Andi yang mulai menurunkan tangannya karena tadi berniat untuk berjabat. Utomo memberi kode arah ke atas ventilasi pintu, Aris berjinjit untuk mengambilnya. Saat benda itu sudah berada di tangan, pemuda itu diam sejenak lalu melongo. “Ini jenis motor jaman dulu yang kuno itu kan, apa tidak ada motor lain?” Ujar Aris sambil memperhatikan bentuk kunci motor jaman dulu. Utomo terkekeh pelan, cucunya itu benar-benar tidak bisa di ajak hidup sederhana. “Hanya motor itu yang kakek punya, di belakang ada sepeda jika Aris mau?” Aris segera menggelengkan kepala cepat, ia saja tidak tahu dimana warung terdekat yang dimaksud kakeknya. Mencari-cari warung dengan mengayuh sepeda tentu membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak pula, ia tidak berniat mencari keringat sore hari. “Pakai motor saja, Aris pergi.” Pemuda itu melenggang pergi sambil memasang wajah keterpaksaan. Karena merasa canggung berdekatan dengan Andi, Ara memutuskan untuk masuk ke dalam. Membiarkan kakeknya berbincang dengan cucu angkatnya itu, Ara heran bagaimana kakeknya bisa nyambung mengobrol dengan pemuda dingin itu. Bukannya berpikir tidak-tidak, hanya saja Ara merasa jika Andi selalu menatapnya tajam. Ara sama sekali tidak nyaman jika berdekatan dengannya walaupun ini kali pertama bertemu—mungkin. Dan sepertinya Ara merasa pernah melihat tatapan itu. --- Hari mulai petang, sinar matahari perlahan mulai pudar. Semburat oranye terlihat jelas di langit-langit sebagai pertanda bahwa cahaya bulan akan berganti menerangi. Ara membuatkan masakkan untuk dimakan bersama, hanya nasi goreng seadanya. Sejujurnya ia tak pandai memasak, tapi bukan berarti tidak bisa sama sekali. Gadis itu hanya bisa membuat beberapa menu saja, baginya yang penting masakan itu mengenyangkan dan tidak membuat sakit perut pun ia sudah bersyukur. “Aris, Ara tolong kesini sebentar.” Panggil Utomo. Ara segera mendekati kursi yang di duduki kakeknya—dengan susah payah Utomo berdiri dari kursi roda ke kursi makan tanpa bantuan siapapun, sempat membuat Ara khawatir. Utomo mengeluarkan dua benda berbentuk bulat kosong ditengahnya, memperlihatkan pada dua cucunya. “Cincin?” ujar Ara dan Aris bersamaan, tumben kompak. “Dengar, kakek hanya berpesan satu kali tapi kalian wajib melaksanakannya.” Ara semakin mendekatkan dirinya pada kakeknya, sedangkan Aris yang mulai tertarik dengan obrolan ini meletakkan ponselnya di meja. Utomo menatap lekat-lekat cucunya secara bergantian, membuat suasana terasa awkward. “Jangan pernah mempercayai orang-orang yang baru kalian kenal, tidak semua warga disini baik. Beberapa diantaranya ada yang tidak suka pada kakek, berhati-hati lah selagi kalian bertegur sapa dengan mereka.” Ara mengangguk paham. Ia juga tidak suka pada orang bernama Andi-Andi itu, ia harus menjaga jarak dengan pemuda dingin itu. Berbeda dengan Ara, maka berbeda pula dengan Aris. “Hanya itu saja pesan kakek?” Kali ini Utomo menatap cucunya dengan tajam, membuat Aris menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “Ini tidak main-main, Aris. Kakek tidak ingin orang-orang yang membenci kakek berusaha mencelakai kalian, jangan membiasakan diri menganggap remeh hal apapun.” Speechless. Aris yang biasanya bersifat congkak akhirnya terdiam seribu bahasa, mungkin merasa takut karena Utomo mengatakan hal itu dengan tegas. Tak ada kesan santai seperti biasanya, membuat Aris agak segan pada kakeknya. “B-baik, Aris akan ingat pesan kakek.” Ara menahan tawa yang siap menyembur, melihat Aris ketakutan seperti itu adalah hal langka. Pribadi Aris yang sombong dan mau menang sendiri akhirnya runtuh, dengan sekali tatapan tajam kakeknya mampu membuat adiknya menunduk ketakutan. Utomo menormalkan ekspresinya, pria tua itu kembali ke raut cerianya. “Pakai cincin ini, sepertinya pas di jari kalian.” Ara dan Aris menerima benda itu, benar saja—ketika dipasang pada jari manis, cincin itu sangat pas. “Kalau boleh tau, ini cincin apa?” Ara memperhatikan cincin itu. Bukan emas ataupun besi biasa, memiliki full warna kuning cerah. “Itu terbuat dari bambu kuning yang di olesi minyak zaitun, kakek membuatkannya untuk kalian. Selalu pakai kapanpun dan dimanapun kalian pergi, terutama selama masih di desa ini.” Ara mengangguk paham, sedangkan Aris? Masih bersikap canggung. “Indah dan kreatif tentunya.” Gumam Ara. “Ayo kita makan, setelah itu kalian bisa beristirahat atau menonton tv.” Ketiganya makan dalam diam, hanya suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Setelahnya Ara membantu kakeknya kembali ke kursi roda. Sebenarnya Utomo tidak lumpuh total, ketika tubuhnya down saat itu kakinya juga tidak kuat menahan beban tubuhnya. Sesekali ia berjalan sedikit demi sedikit, agar tidak melulu bergantung pada kursi roda. Baik Ara maupun Aris sama-sama memilih masuk kamar, mengistirahatkan tubuh mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD