3

1232 Words
Pagi ini Ara bangun lebih pagi di banding biasanya ia saat berada di rumah, ia ingin menikmati udara sejuk pedesaan. Ia sempat mencari mirrorless di ranselnya, untung saja benda kesayangannya itu tidak tertinggal. Sebelum pergi jalan-jalan Ara memutuskan untuk membuatkan sarapan ala kadarnya untuk Aris dan kakeknya, telur ceplok dan nasi hangat. Saat menata makanan di meja makan, Ara mendapati adiknya yang berjalan gontai kearahnya, remaja itu duduk melamun di kursi, tangannya menopang kepala yang tertunduk ke bawah. Ara menautkan alisnya, ada apa dengan adiknya itu. “Ris, kamu sakit?” Tanya Ara yang di jawab gelengan kepala oleh adiknya. Aris masih menunduk ke bawah, kepalanya sesekali di pijat pelan. “Aku mau pergi jalan-jalan sekitar desa, tak akan lama.” Aris mendongakkan kepala. Ara bisa melihat wajah pucat pasi adiknya, jangan lupakan lingkaran hitam di sekitar matanya. “Kamu kenapa, Aris? Aku tau kamu tidak tidur semalaman, cerita sama kakak.” Lagi-lagi Aris menggeleng, terdengar hela napas Ara. Mungkin adiknya belum mau cerita sekarang, tak apa Ara akan membuat adiknya itu bercerita nanti. “Ini sarapan kamu di makan dulu, setelahnya lunasi waktu tidurmu.” Aris tidak menggubris, remaja itu memandang kosong kedepan. Jika dilihat-lihat Aris pernah bersikap seperti ini beberapa bulan lalu, akibat putus dari pacarnya yang berselingkuh dengan teman Aris sendiri. Apa remaja itu mengalami hal sama, entahlah Ara ingin menghabiskan paginya berjalan-jalan di sekitar. Sudah lama ia tidak mengunjungi beberapa tempat yang pernah ia datangi disini, Ara ingat ada perkebunan buah di desa ini. Tanah yang subur serta air yang melimpah membuat tanaman apapun yang ditanam menjadi subur, tak lupa dengan para petani yang selalu merawat tanaman mereka dengan baik. Tempat ini menjadi favoritnya sedari kecil, udara yang sejuk serta pemandangan indah dapat memikat hati siapapun untuk singgah walau sejenak. TAPI TIDAK DENGAN SISI KELAMNYA. Tadinya ia ingin berjalan kaki saja, tapi karena ia melihat sepeda yang tergeletak di halaman membuat Ara berubah pikiran. Dengan pelan ia mulai mengayuh kendaraan roda dua itu, meninggalkan sebuah rumah yang di dalamnya ada seorang memperhatikan gerak-geriknya. Sepanjang perjalanan banyak dari warga sekitar yang menyapanya, beberapa dari mereka memang mengetahui bahwa Ara merupakan cucu Utomo—salah satu tokoh sesepuh desa Pendem Asih. Ara membalas sapaan mereka dengan mengangguk sopan, sejujurnya ia tidak suka menjadi pusat perhatian seperti ini. Memang warga desa sangat ramah pada pendatang, apalagi mereka sudah tahu bahwa Ara seorang cucu tokoh desa ini. Walau begitu Ara tetap menjaga jarak dengan mereka, bukan karena ia bersifat sombong. Akan tetapi pribadi dirinya yang lebih condong sebagai pendiam membuatnya lebih menyukai suasana sepi, lagipula pesan kakeknya sangat di ingat betul. “Jangan pernah mempercayai orang-orang yang baru kalian kenal, tidak semua warga disini baik. Beberapa diantaranya ada yang tidak suka pada kakek, berhati-hati lah selagi kalian bertegur sapa dengan mereka.” Ngomong-omong tentang perkataan kakeknya itu, ia jadi penasaran kenapa beberapa warga ada yang tidak suka dengan kakeknya. Ara hanya mengetahui jika kakeknya merupakan salah satu orang penting disini, kakeknya turut ikut membangun kemajuan desa pada masa menjabat sebagai sekretaris desa dulu. Kayuhan sepedanya mulai memelan, Ara menyenderkan sepeda itu pada pohon jambu yang ada disana. Gadis itu mulai menuruni bebatuan terjal dengan kaki telanjang, sandal jepitnya sudah di jinjing ditangan kiri. Tangan kanannya sibuk berpegang pada dahan pohon untuk menyeimbangkan tubuh agar tidak menggelinding bebas ke bawah sana, ini tantangan yang Ara suka dari dulu. Tempat ini benar-benar tidak berubah, warga desa masih mempertahankan keasriannya. Semakin melangkahkan kaki, maka semakin keras terdengar bunyian air yang sangat deras. SUNGAI PENDEM ASIH. Ara mencincing celananya, padahal ia sudah memperkirakan jika celana selututnya tidak akan terendam air. Tapi sepertinya debit air sedang melimpah, mungkin karena hujan beberapa hari lalu. Diraihnya tas slempang yang ia bawa, mengambil benda yang ia bawa dari rumah kakeknya. Ara mengarahkan mirrorless itu kearahnya, berniat selfie menggunakan benda itu. Beberapa kali ia mencari angle yang tepat agar gambarnya terlihat sempurna, setelah di rasa cukup Ara mengembalikan kameranya ke dalam tas. Gadis itu menikmati suasana sepi namun mentrentamkan hati, matanya terpejam tatkala sinar matahari mulai menyinari tempat ia duduk sekarang. Beberapa detik kemudian matanya membulat waspada, ia merasa tengah di awasi oleh seseorang yang berada di semak-semak belakangnya, Ara bergegas menjinjing sandalnya lalu pergi dari tempatnya saat ini. Setiap langkahnya ia terus  berhati-hati oleh dua hal, yang pertama karena batu yang dipijakinya terasa licin, yang kedua adalah orang yang sedang menguntitnya bisa saja mencelakainya dari sisi manapun. Suasana menjadi mencekam, entah sadar atau tidak—air sungai yang Ara mainkan tadi seketika berubah menjadi merah darah setelah di tinggal oleh gadis itu. Tak. Kakinya mendarat sempurna setelah sebelumnya ia melompat dari batu terakhir, ia masih harus berhati-hati karena tanah disana masih becek. Ara bergegas menaiki sepeda tuanya lalu mengayuhnya dengan tergesa, punggungnya terasa di tatap tajam dari belakang. Oh ayolah! Bukan hantu yang ia takuti, melainkan bandit-bandit jahat yang bisa berbuat criminal padanya. Apalagi ditambah seseorang itu tidak menampakkan wajah sama sekali, percaya tidak percaya namun feeling nya yang merasa sedang di awasi adalah benar. Dirasa sudah jauh dari tempat sungai tadi, Ara memelankan kayuhannya. Kini ia melewati jalanan setapak yang berada di tengah sawah, karena sulit untuk mengayuh akhirnya Ara memutuskan untuk mendorong sepedanya, sementara ia berjalan kaki disamping sepedanya itu. Bisa ia lihat sawah disana sangat subur, ada bermacam tanaman yang di tanam dan siap panen. Disamping tempatnya berjalan ia mendapati tanah dengan tanaman padi yang menguning dan merunduk, selisih jauh dari sawah itu Ara bisa melihat tanaman jagung yang juga tumbuh subur. Ara berdecak kagum, mensyukuri nikmat Tuhan yang maha indah ini. Desa yang berada di kaki gunung itu bisa membuat warga memanfaatkan kekayaan alam dengan baik, tentunya tidak boleh merusak keindahan ini. Ingin rasanya Ara mengambil kameranya, lalu memotret pemandangan indah ini. Namun tangannya sudah susah payah mendorong sepedanya yang kadang rodanya terjebak kubangan tanah, sangat disayangkan ia melewati momen indah itu. Percaya lah walaupun Ara terkesan irit bicara, namun hobinya adalah photography. Bahkan ia beberapa kali memenangkan kontes pengambilan gambar dengan bermacam jenis, mulai dari alam hingga  seseorang yang menjadi modelnya. “Ini Ara cucunya kakek Utomo, kan?” seseorang menepuk pundaknya dari samping, sembari meneliti wajah Ara. “Iya.” Perempuan paruh baya itu mendekati Ara. “Lupa ya sama tante?” Wait, sepertinya Ara pernah mengenal ibu-ibu di hadapannya ini. “Tante Vivian?” Vivian memeluk Ara dengan cepat, seperti orang yang kenal dekat tapi terpisah sejak lama. “Sudah lama kita tidak bertemu, kamu sudah besar dan cantik.” Puji Vivian pada Ara, tapi Ara bisa merasakan bahwa Vivian sekarang berbeda dengan orang yang di kenalnya dulu. Postur tubuhnya mulai membungkuk seperti manula, padahal ia tahu bahwa Vivian seumuran dengan ibunya. Bentuk wajahnya pun sudah mengeriput layaknya kakek Utomo, apa selama ini Vivian menderita penyakit penuaan dini? Tatapan Vivian membuat Ara agak tidak enak, perempuan itu seakan memendam sebuah dendam pada gadis itu. Tapi cepat-cepat Ara menghentikan pikiran buruknya, dulu Vivian dengan baik selalu memberinya makanan setelah lelah bermain. “Main ke rumah tante yuk, sudah lama lho kita tidak berbincang. Terakhir kali kamu ke rumah kan saat kamu pamitan mau pulang, saat itu kamu nangis karena harus berpisah sama tante.” Entah kenapa Ara merasakan perasaan tidak enak, Vivian memang baik padanya—tapi itu dulu. “Emm maaf tante, Ara harus pulang dulu untuk membersihkan diri.” Ara mencari alasan yang masuk akal, di tengoknya sandal jepit yang terkena kubangan air bercampur tanah. Vivian mengangguk mengerti, tapi ia tidak pula menyerah. “Lain waktu main ya kerumah tante, ada Putra yang juga rindu sama kamu sejak pergi lama dari desa ini.” “Iya tante, Ara permisi dulu.” Segera Ara menggunakan waktunya untuk undur diri dari hadapan Vivian, ia merasakan atmosfir tidak mengenakkan pada diri Vivian. “Kali ini aku tidak akan melepaskanmu, cucu Utomo.” Desis perempuan yang masih memandang tajam punggung Ara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD