Barsha

1539 Words
Ketakutan adalah teman terbaik sekaligus musuh terburuk. Ini seperti api. Jika bisa mengendalikannya, kita bisa memasak dan menghangatkan rumah. Sebaliknya, jika tidak bisa mengendalikan, justru akan membakar dan menghancurkan. Aku bergidik dan berlari di dalam ketakutan. Tidak ada satu pun tempatku untuk meminta pertolongan. Apalagi dekapan hangat agar seluruh tubuhku tidak lagi bergetar. Setibanya di dalam kamar, aku masih dapat mendengar suara tapak kaki lain yang mengikuti langkahku. Sayangnya, aku tidak mampu untuk menoleh sekedar ingin tahu. Di dalam sebuah selimut tebal berwarna coklat, aku menyembunyikan diri dan pandangan mata dari bayangan asing yang seolah membuntuti ku. Sepertinya, ini adalah akhir dari masa muda yang penuh dengan canda tawa. Setelah 15 menit dan merasa cukup tenang, Aku memberanikan diri untuk menapaki kaki di lantai untuk menghidupkan lampu kamar. Ini sudah gulita. Matahari yang sejak tadi berteman, menghangatkan dengan sendirinya. Setelah berhasil menekan tombol berwarna putih untuk menyalakan penerangan, aku kembali ke dalam tempat perlindungan palsu yang sepertinya sangat nyaman (Selimut), untuk saat ini. Gelegar. Petir menyapa hingga mengejutkan dan menciptakan debaran yang kuat biasa kencang. Untuk pertama kalinya, aku takut pada suara yang hampir sama dengan mercon ukuran raksasa dunia. Lalu disambut cahaya kilat yang membentuk pohon besar, tanpa daun di langit sana. Aku bisa melihatnya dari kaca jendela kamar yang terkadang direnggangkan oleh udara. Gelegar. Lalu disambung dengan suara hujan yang mulai membasahi bumi. Ketika tengah fokus menatap langit malam yang mencekam. Aku merasa, ada bayangan yang melintas dengan sangat cepat, dari arah samping ke belakang. Dadaku kembali berhuncang hingga menimbulkan rasa sesak dan sembilu pada saat yang bersamaan. 'Tidak! Aku harus tenang!' Perintah hati kepada otakku. Setelah 10 menit mengatur napas yang terengah-engah, aku membuka cover buku yang cukup tebal dengan simbol lima bintang dan tampak terikat dengan rantai berwarna silver. Tiba-tiba saja, angin segar menerpa wajahku bersama lembaran pertama yang sudah terbuka lebar. Di sana, ada wajah lama yang begitu mirip denganku. Heran, aku memfokuskan pandangan dan meyakinkan tatapanku. "I-ini?" gumamku dalam tanya. Aku menyentuh gambar seorang wanita berambut panjang yang disanggul rapi. Pakaian yang ia kenakan juga tampak model lama, bahkan jauh lebih tertinggal daripada setelan kebaya milik eyang. Kemudian, aku terpanggil untuk membaca tulisan yang berada di bawahnya dengan simbol Jawa kuno. "Barsha? ujarku semakin bingung. "Siapa Barsha?" 'Apa? Bagaimana mungkin aku bisa membaca tulisan yang ditorehkan melalui simbol batangan seperti ini?' tanyaku tanpa suara. "Dan perempuan ini, namanya Barsha?" Ketika aku menyebut namanya untuk yang ketiga kali, hujan kian turun dengan lebatnya. Bahkan, gemuruh merongrong bergantian dengan kilat, dan tampak berlomba-lomba memperlihatkan kekejamannya. Aku kembali bergetar. Rasa itu seperti teman yang tidak rela ditinggalkan. Tetapi, aku merasa semakin ketakutan. Angin dari arah depan, menyapa hingga membuka lembaran kedua dari buku ini dengan sendirinya. Saat ini, aku pun dapat melihat sebuah gambar cermin besar dengan motif spiral dari rotan yang dijalin menyerupai kepangan rambut bak ratu zaman dahulu kala. Semakin aku memperhatikan gambaran tersebut, aku semakin masuk ke dalamnya dan dapat melihat bayangan lain yang tampak tidak asing di mataku. Di bawah cermin tersebut, kembali tertoreh kalimat kejawen yang membuatku pusing, ketika bersikeras untuk membacanya. Anehnya, lidah dan bibirku terus berucap sendiri. Seolah keduanya bukanlah milikku dan dapat bergerak secara otomatis. Kepala ini terangkat ke atas dan ke bawah, dengan gerakan yang begitu cepat. Diakhir kalimat, aku mengucap kata Buka. Tiba-tiba saja, sesuatu yang menyeramkan keluar dari dalam buku usang tersebut dan membuka mulutnya lebar-lebar. Saat itu, wajahku terasa dipenuhi dengan lendir seperti air liur yang begitu kental dan berbau bangkai. Aroma menyengat itu semakin memperburuk keadaan hingga aku kehilangan kendali atas pikiran dan tubuh. "Tidaaak!" pekikku menyeruak. "Jangaaan!" Shock bersama takut, aku terus mundur dengan cepat hingga kepala bagian belakang terbentur kayu tempat tidur dan aku merasakan sakit yang luar biasa. Lalu, semua pandangan, menghilang. *** "Bakar dia hidup-hidup! Biarkan tulangnya menjadi arang. Lalu gunakan untuk memanggang kambing guling kegemaranku!" teriak seseorang terdengar sangat gembira di balik teriakan kesakitan seorang wanita yang tidak tampak parasnya. "Hentikan! Saya mohon, Tuan! Jangan lakukan itu kepada istri saya! Dia tengah hamil besar, Tuan," ratap seseorang terdengar sudah tidak berdaya. Aku pun segera berlari ke arah sumber suara. Di tanah lapang, tepatnya di tengah hutan. Aku menyaksikan seorang laki-laki diinjak-injak sesuka hati oleh beberapa orang. Sementara pemimpin dari kelompok itu, terus tertawa terbahak-bahak dan terlihat begitu menikmati teriakan kesakitan dari kedua bibir anak manusia itu. Pepohonan menjadi saksi terpanggangnya tubuh seseorang yang terus merintih kesakitan dan memohon pengampunan. Wanita itu hampir kehilangan suaranya, begitu juga dengan laki-laki yang terkulai dan rata dengan tanah. Ia tidak mampu berbuat apa-apa karena lehernya dipasung dengan posisi tertelungkup. Hanya menangis dan terus memohon hingga suara wanita itu menghilang. Pada saat yang bersamaan, kilat petir bersahutan dan hujan pun turun dengan derasnya. Aku tidak berani mendekati keduanya dan hanya mampu menatap dari kejauhan. "Gustiii ... Gustiii ... siapa pun, tolonglah kami!" pekik laki-laki tersebut tanpa henti, hingga suara lenyap dari tenggorokannya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamku yang hanya duduk dan terus bersembunyi di balik pohon besar nan rindang. Kobaran api padam berkat hujan yang terus runtuh. Tak lama, sosok berwarna hitam kelam terjatuh dan tidak bergerak lagi. Tetapi, setelah hujan mulai reda, seseorang itu mengangkat wajah dan menatap laki-laki yang berada di hadapannya. Wanita itu terduduk, mulai merangkak dan terus merayap dengan tubuh yang bergetar hebat. Tujuan pandangnya hanya ke satu arah, yaitu laki-laki yang sudah terpasung dan meratap lirih. "Ya Gusti ... kenapa semua ini terjadi?" ratap laki-laki tersebut kembali terdengar jelas, meskipun dengan suara yang tipis dan serak. "Ampuni saya karena tidak mampu melindungimu!" "Ma ... s," ratap seseorang itu dengan suara lembut. Sepertinya, ia adalah wanita yang sempurna dan gemulai. Rintihan kesakitan dan hisapan air mata, terdengar jelas dari keduanya. Sakit, aku pun ikut menangis ketika melihat mereka diperlakukan tidak manusiawi. "Mas ... ," panggilnya sekali lagi. "Saya akan membalas semua ini hingga habis keturunan mereka!" Wanita itu meraup tanah dengan kedua tangannya yang sudah gosong "Hingga darah terakhir!" "Jangan ... ." "Aku serahkan jiwa dan ragaku untuk sesembahan yang agung. Ambilah-ambilaaah! Jadikanlah aku halus lebih dari udara untuk membalaskan rasa sakit ini! Jadikanlah aku kuat, lebih dari iblis untuk mengoyak mereka semua. Dan jadikan aku abadi, di dalam dunia fana ini?" teriaknya sangat kencang, hingga suara itu menghilang, bersama nyawanya. "Barshaaa! Tidaaak!" pekik laki-laki yang sempat kehilangan suaranya beberapa saat yang lalu. "Ampun, Gusti. Tolong ... ." "Ba-Barsha?" tanyaku dengan mata yang terbuka lebar. "Jadi, dia adalah Barsha dan wajahnya begitu mirip denganku. Kenapa?!" Sedang berpikir keras dengan berjuta ketakutan dan kesedihan, aku mendengar suara liat dan basah dari atas kepala. Ini terdengar seperti seseorang yang tengah menikmati makanan yang alot dengan sabarnya dan terus melumat hingga hancur. Yakin merasa seorang diri, tanpa kawan. Aku pun melihat ke arah sumber suara. Tanpa diduga, sosok misterius yang menyeramkan sudah berada di atas kepalaku, seolah siap menerkam dan menghancurkanku hingga lebur. Aku berteriak tanpa perduli dengan apa pun. Lalu meninggalkan tempat tersebut menuju cahaya. Hampir saja tiba, kedua kakiku ditarik kencang oleh makhluk tersebut dan ia kembali membawaku ke tempat pembakaran Barsha. Namun yang anehnya adalah, aku melihat wajah papaku lah yang berada di dalam kobaran api tersebut dan beliau tampak begitu menderita serta kesakitan. "Papa? Papaaa!" pekikku yang langsung berlari ke arah laki-laki yang sangat aku benci seumur hidupku. Sayangnya, baru saja melewati susunan pepohonan besar, kedua kakiku tersandung akar pohon yang kuat dan besar. Aku sudah berusaha untuk berdiri, tetapi akar panjang yang kokoh tersebut, menjerat kedua kaki dan mengangkat tubuhku sangat tinggi dalam posisi terbalik. Pada saat yang bersamaan, aku melihat sosok misterius yang begitu mengerikan, merayap ke arah papa dengan cepatnya dan tampak ingin menyakiti dengan kuku-kuku tajam berwarna hitam. "Papaaa!?" pekikku bersama ketakutan. "Lihat ke bawah! Lariii!" pintaku bersama tubuh yang semakin tertarik ke atas. Di saat yang sama, akar pohon tersebut melepaskan kedua kakiku dan tubuhku terjatuh begitu saja di tanah, dengan posisi kepala berada pada bagian terbawah. "Tidaaak!" Aku kembali berteriak, tetapi kali ini, tubuhku berada di atas tempat tidur, bersama peluh yang membasahi pakaianku. 'Ikuti aku, ikuti jiwaku! Berkelana malam dalam api yang terus membakar!' Suara asing terdengar jelas di telingaku. Ini seperti lagu pengantar tidur, dengan kalimat yang lebih mudah dipahami, namun terdengar menakutkan dan membunuh. "Tidak! Jangan menggangguku!" pintaku dalam ketakutan dan terus menatap seluruh bagian kamar. 'Ikuti aku, ikuti jiwaku! Berkelana malam dalam api yang terus membakar!' Kalimat itu kembali terngiang hingga aku tidak mampu lagi mendengarkannya. "Kenapa? Kenapa harus aku? Apa salahku, Barsha?" tanyaku dengan suara parau. Rasanya, kepala ini begitu pusing dan tubuhku sakit tanpa ampun. Bagai dipukuli oleh orang sekampung dan meninggalkan sisa lebam di sana. Pandangan mata yang semula masih terang benderang pun, kini berangsur-angsur pudar. Rasanya, aku hanya dapat melihat kilauan kecil seperti manik mata yang tertinggal. Air mataku kembali menetes di dalam ratap dan kesendirian. 'Eyang, di mana aku bisa mendapatkan ketenangan?' Tanyaku di dalam hati. Lalu suara tawa cekikikan terdengar jelas, seakan menyambut pertanyaan di relung hatiku. 'Wanita misterius itu, apakah ia bahagia ketika aku menderita? Jika tidak, mengapa ia tertawa besar seperti sedang melakukan perayaan.' Aku kembali bertanya pada diri sendiri dan berharap dapat terlelap, di dalam tubuh yang tidak lagi dapat bergerak. Ternyata, sendiri itu adalah kesakitan yang paling mencekam dan berat. Wajar saja jika banyak orang di luar sana yang sanggup membeli teman hanya untuk mengusir rasa ini. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD