Suara teriakan dari bibirku yang masih terseret kencang, terdengar jelas. Tetapi, tidak ada satu pun yang tampak mendengar, apalagi ingin menolong. Seperti seekor annjing jalanan yang melolong, hanya dianggap seperti angin lalu dan hilang begitu saja.
Rasa sakit yang mulai mengoyak kedua tanganku karena masih terseret, terasa bersambut tanpa henti. Ini semua bagaikan sayatan panjang tanpa jeda dan aku merasa tidak mampu lagi untuk menahannya.
Kejadian buruk seperti ini, baru pertama kali terjadi seumur hidupku. Itu sebabnya aku begitu terkejut dan tidak menyangkal, bahwa hal aneh dan misterius dapat terjadi kepadaku.
Rasanya, begitu rindu dan ingin memeluk almarhum eyang. Sebab, biasanya beliau lah yang meminjamkan tubuh untuk merangkul dan mendekap tatkala teman-teman ada yang mengejekku.
Sakit, tubuhku terseret tanpa ampun. Ini adalah kesakitan pertama yang nyata, pasca kepergian eyang.
"Tolooong!" pekikku dengan bibir yang terbuka lebar. Disaat yang bersamaan, pasir yang berada di bawah mulut, masuk bersama udara. "Eyang!" panggilku dalam ratap, sembari menangis pilu.
Aku berusaha membuang pasir dan beberapa kerikil kecil yang terlanjur memenuhi rongga mulut. Tetapi aku tidak bisa, mungkin lebih tepatnya tidak sempat.
"Eyang ... ," gumamku dalam ratap panjang, penuh ketakutan. Nama itu adalah satu-satunya yang aku ingat karena beliau adalah orang yang paling dekat denganku.
Tak lama, aku merasakan kehadiran seseorang yang tidak pernah aku sangka, akan datang untuk membantu.
"Beraninya kau!" teriak seseorang sambil menghentikan gerakan makhluk misterius yang tidak aku kenali itu. "Lepaskan putriku!" lalu cahaya seperti api, tampak jelas di mata yang sudah basah ini.
"Papa?!" ucapku dalam posisi tengkurep dan sudah lepas dari seretan makhluk pemilik kuku panjang nan hitam tersebut.
'Tidak, aku pasti salah lihat.' Ujarku tanpa suara. 'Mana mungkin dia yang datang menolong dan menjadi pahlawan untukku. Sebab, selama ini, ia lah penjahatnya.' Kata sisi hatiku yang lainnya dan terus membakar jiwa.
"Jangan ... sentuh Annora!" pekiknya sekali lagi sambil terus melayani sosok astral tersebut.
Untuk pertama kalinya, aku melihat sosok laki-laki yang selama ini terlihat tidak perduli kepadaku, berdiri sebagai pelindung sekaligus penyelamat. Dia adalah ayah yang tidak bersedia menatap mata dan memanggil namaku dengan nada sayang.
Tal lama, kalimat-kalimat aneh yang tidak aku pahami terdengar jelas di telinga. Lalu disusul dengan suara erangan kesakitan dari makhluk yang semula berdiri tegak dan tampak mengerikan itu.
Tak lama, aku melihatnya tertunduk. Aneh sekali, sebab aku bisa melihat hal yang mungkin tidak bisa orang lain lihat. Entah sejak kapan semua ini terjadi kepadaku. Yang jelas, aku merasa bahwa sebentar lagi akan gila.
Makhluk berambut panjang itu, kini tertunduk dan berlutut tidak berdaya. Sepertinya, sebelum pertarungan dengan papa, ia sudah terlanjur terluka.
"Seandainya bisa, pasti aku sudah membumi hanguskan dirimu sejak awal," ucap papa terdengar penuh sesal. "Sekarang, enyahlah dari sini, sebelum emosiku tidak terkendali! Dan jangan berani menyentuh putriku lagi!" pekiknya terdengar emosional.
Hingga kalimat itu berakhir, aku masih dapat mendengarnya dengan jelas. Tetapi setelahnya, aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja, duniaku menghitam dan aku tidak dapat melihat cahaya sedikit pun.
***
Entah berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk tertidur dalam ketidaksadaran. Yang jelas, saat terbangun, aku langsung dapat melihat sinar berwarna jingga.
"Sttt!" Kepala ini terasa sakit dan berat. Bahkan rasanya, seluruh wajahku bengkak dan kebas. "Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamku seraya memperhatikan setiap sisi kamar tidur.
Hingga detik ini, aku sama sekali tidak tahu dengan apa yang sebenarnya telah terjadi. Seperti mimpi yang begitu nyata dan asli, bahkan rasa sakitnya dapat aku rasakan dengan jelas.
Setelah cukup tenang, aku memutuskan untuk berdiri dan menatap cermin ukuran besar yang berada di dalam kamar. Wajah dan tanganku memang terlihat berantakan.
Jika diperhatikan dengan seksama, terdapat banyak luka tipis seperti sayatan ilalang, namun begitu dalam hingga meninggalkan rasa perih.
Sementara wajahku tampak lebam dan membengkak. Sambil terus menatap, aku mengingat kembali tentang apa yang telah terjadi semalam.
"Papa?" ucapku setelah sadar bahwa beliaulah yang sudah memberikan pertolongan kepadaku.
Bersama langkah berat dan cepat, aku berlari mencari keberadaannya. Ada berjuta pertanyaan yang ingin sekali aku layangkan agar semua ini menjadi jelas.
"Papa!" teriakku sambil mengarah ke dalam kamar tidurnya. Namun setelah menyusuri setiap bagian rumah, aku tidak menemukan siapa pun di sini. "Papa ... ," ratapku lirih sambil terduduk di ujung tembok ruang tamu.
"Kenapa?" tanyaku dalam rintih. "Kenapa papa meninggalkan aku? Apa semua ini, sudah tidak bisa diperbaiki lagi? Apa salahku? Kenapa tidak membunuhku saja? Papaaa!"
Tulang belulang di sekujur tubuhku terasa hilang. Tubuh pun langsung lunglai dan kehilangan tenaga. Lagi-lagi, aku hanya tinggal seorang diri.
Tidak ada rasa lapar, yang ada hanya sakit dan perih pada tubuh dan juga hatiku. Ini adalah luka yang tidak berdarah, tetapi terasa sangat menyiksa. Bahkan, rasanya dunia ini sudah tidak lagi berirama.
"Kenapa? Kenapa Tuhan memberikan aku penderitaan seperti ini? Apa aku ini, begitu tidak berarti? Lalu kenapa dilahirkan?" tanyaku sambil menangis dan terduduk.
Malas untuk melakukan apa pun, aku memilih berbaring di lantai dingin, di mana aku terduduk sesaat setelah mencari papa.
***
Gelap, hanya ada cahaya dari pori-pori jendela dan pintu rumahku. Tanpa sengaja, aku tertidur dan sekujur tubuh terasa dingin. Sepertinya aku sakit, ini ciri-ciri ketika aku merasa demam tinggi.
Belum memiliki tenaga lebih, aku memutuskan untuk meringkuk dan memeluk tubuhku sendiri sekuat tenaga. Namun tetap saja terus bergetar.
Bukan tanpa alasan, alas di mana aku berbaring adalah lantai dan di luar sana, hujan turun bersama suara gemuruh yang lantang.
Tak lama, terdengar suara pintu kamar dibuka dengan gerakan lamban, seolah anginlah pelakunya. Lalu kembali tertutup kembali dengan cepat.
Untuk sesaat, kepalaku terangkat guna mengintip dan meyakinkan pikiranku tentang hal tersebut. Namun ketika pandangan mataku menajam, aku melihat sosok asing yang tidak pernah dikenali sebelumnya.
Perempuan berambut panjang, mengenakan kebaya putih dengan jarik berwarna kuning keemasan, berdiri tidak jauh dari tubuhku yang masih tergeletak di lantai.
Aroma tubuhnya begitu enak untuk dihirup. Seperti campuran bunga-bungaan yang mekar dan beraroma semerbak.
Penasaran, aku memaksakan diri untuk duduk. Apalagi, saat ini aku tidak merasakan takut sedikit pun. Yang ada, malah rasa tenang karena memiliki teman.
"Eyang?" sapaku yang baru mampu berdiri.
Lalu terdengar suara kran yang bocor dan meneteskan air satu demi satu, namun jelas terdengar. Bahkan mampu mengalahkan suara erangan air hujan yang jatuh berserakan di atas atap rumahku.
"Eyang?" tanyaku sekali lagi karena hanya melihat bagian belakang tubuhnya yang tampak kurus. Ia seperti eyang yang begitu gemar mengenakan pakaian adat kejawen kuno.
"Eyang, jangan membuatku bingung!" pintaku mulai iba.
Tiba-tiba saja, petir menggelegar dengan kuatnya. Pandanganku pun teralihkan pada bagian jendela yang tampak bercahaya dan terang.
"Astaga, Eyang ... takut," ujarku lirih semakin ketakutan.
Setelah semua potret alam berakhir, aku kembali menatap ke arah wanita asing tersebut. Tetapi beliau sudah tidak lagi berada di sana.
Namun, suara tapak kaki pelan yang jelas, mulai mengisi rongga telingaku. Tidak ingin kehilangan jejak, aku segera menyusul ke arah sumber suara.
Ternyata, arah langkah wanita misterius itu adalah kamar rahasia yang selama ini tidak boleh aku jamah.
Awalnya aku ragu, mengingat eyang selalu meninggikan nada suaranya ketika aku mencoba mengintip aktivitas di dalam kamar bawah tanah tersebut.
Namun kali ini, hatiku malah membimbing agar terus mengikuti suara langkah yang terdengar pelan, tetapi jelas.
Sembari melihat ke kiri dan ke kanan ruang rahasia, aku memastikan keadaan. Setibanya di tempat tujuan, aku melihat pintu kamar yang selama ini dikunci, tiba-tiba terbuka lebar.
Dengan debaran yang tidak biasa, aku memulai langkah dan menyalakan penerangan. Ketika ruangan yang semula tampak gelap gulita, menjadi terang benderang, aku menyaksikan hal aneh yang tidak terduga.
Kemenyan menyala dengan sendirinya, bunga tujuh rupa bertaburan dimana-mana, minyak wewangian di dalam wadah, tampak baru saja dibuka, dan tempat sesembahan terasa hangat, seolah baru saja di duduki/ditempati oleh seseorang.
"I-ini? Kenapa aneh sekali? Aku yakin, di rumah ini, hanya ada diriku seorang diri. Lalu, siapa yang melakukan semuanya?" tanyaku heran sambil terus berpikir keras.
Tak lama, sebuah buku usang jatuh dan menggelinding hingga ke ujung jari kaki kanan. Ini seperti petunjuk yang sengaja diberikan untuk menjawab pertanyaan yang bersarang di jiwaku.
"Eyaaang!" panggilku sekali lagi. Tetapi sosok itu menghilang seperti ditelan alam. Ia benar-benar tidak muncul lagi.
Perasaan tidak enak, kembali menyapa relung hatiku. Bahkan, saat ini bulu-bulu halus di sekitar pundakku berdiri dengan cepatnya.
Khawatir akan hal buruk yang kembali datang, aku langsung berlari untuk meninggalkan kamar tersebut, seraya memeluk buku yang sudah berada di genggaman tanganku. Kemudian, aku masuk ke dalam kamar dan menguncinya rapat-rapat.
'Tadi itu, siapa? Apa di rumah ini ada orang lain, selain diriku? Tapi, sejak kapan dan kenapa?' Tanyaku seraya menatap ruang kamar yang tidak terlalu lebar.
Rasanya, aku ingin sekali pergi keluar sana dan meninggalkan rumah ini. Sayangnya, aku masih takut. Sebab, kejadian sebelumnya sudah menyisakan trauma yang mendalam.
Dengan tubuh yang masih bergetar hebat, aku berusaha untuk tenang. Aku mulai membayangkan kenangan lama yang indah dengan eyang.
Wanita baya itu, begitu mencintaiku. Ketika bersamanya, aku juga merasa seperti di sisi mama.
Aku pun semakin frustasi. Bahkan ada keinginan untuk mengakhiri hidup ini agar semua kesakitan dan ketakutan segera berakhir.
Namun, eyang saja selalu menjagaku dengan sepenuh hati. Lalu, bagaimana aku bisa bunuh diri? Kemudian, apa yang akan aku katakan di hadapan eyang nanti. Aku kembali berdiskusi pada diri sendiri, seperti orang gila yang tidak memiliki teman.
Bersambung.