Baru keluar dari pintu pemandian, angin dingin menghampiri wajahku. Ini seperti ucapan selamat datang yang hangat, di tengah rasa sejuk yang menerpa.
Aku pun terdiam sejenak. Lalu memperhatikan sekitar yang situasinya belum berubah dari pertama kali aku masuk ke ruang pemandian.
Hanya ada satu yang berbeda, yaitu kedua pergelangan kakiku menjadi ringan dan jauh dari kata panas serta sakit.
Aku kembali melangkah ke sisi kakak yang masih berdiri dan menungguku dengan gaya santainya. Saat ini, beliau tampak menikmati pemandangan dari orang-orang yang menyaksikan hiburan kejawen, seraya meletakkan kedua tangannya ke belakang.
'Barsha ... .' Suara itu kembali lagi dan sempat menghentikan langkahku.
Panggilan dari iblis yang menakutkan kembali muncul di tengah-tengah hangatnya pertemuan pertama yang menakjubkan.
Bukan tanpa sebab, semua ketakutan itu luntur bersama senyum khas laki-laki tua renta berbadan kecil pendek, lengkap dengan blangkon berwarna coklat keemasan.
"Sini, ikut si Mbah!" ajaknya sambil memainkan ujung jari tangan kanannya secara bersamaan. Ketika bersamanya, aku merasa berada di sekitar eyang uti.
Nyaman dan tenang. Meskipun berada di tempat asing yang sama sekali tidak pernah aku pijak. Semua karena sikap hangat laki-laki tua yang memiliki senyum tulus.
"Terima kasih, Mbah," jawabku santun dengan kepala tertunduk, seraya berjalan ke arah beliau.
"Berat bebanmu ya, Ndok?" tanyanya seraya menyilangkan tangan di belakang punggung. "Nyaris salah langkah."
Aku menghentikan gerakan kaki secara mendadak. Sebab, ucapan beliau mengisyaratkan bahwa si mbah sudah paham akan permasalahan yang aku hadapi.
Padahal, aku belum menceritakan apa pun. Bahkan mengangkat suara perihal urusan ini saja, tidak. Lalu, bagaimana beliau bisa tahu. Misteri berikutnya yang tidak aku pahami.
"Di dunia ini, kita yang kasar dan yang halus, hidup berdampingan. Sejatinya, jika tidak saling mengusik, maka tidak akan ada dendam dan angkara murka," ujarnya terdengar begitu berwibawa dalam kalimat penuh nasihat. "Silakan duduk!"
"Pendopo yang nyaman, Mbah," pujiku sembari menatap sekitar.
Di saat udara siang sepanas ini, aku tetap merasa sejuk. Padahal tidak ada AC di sini, hanya terdapat sebuah pohon beringin yang tampak tua dan rimbun, bersama akarnya yang terjuntai manja.
"Apa iya? Cuma kamu loh yang bilang begitu. Ha ha ha ha ha, kamu anak yang santun dan suka menyenangkan hati orang tua," ujar beliau bersama tatapan mata yang teduh.
Aku terus saja memperhatikan wajah tua si kakek yang terlihat santai. Beliau tidak seperti pikiranku sebelumnya. Tadinya, aku berpikir bahwa orang pintar yang akan ditemui ini berkumis tebal, berwajah sangar, dengan rambut gondrong dan tubuh yang di selimuti aroma kemenyan.
Namun pada kenyataannya, si kakek sangat lucu dan begitu familiar. Ternyata eyang benar, kita tidak akan mengetahui isinya sebelum mengupas kulitnya.
'Eyang ... .' Panggilku di dalam batin, hingga memacu air di dalam kelopak mata ini.
"Oh iya, panggil saja aku mbah ya?!" perintahnya.
Aku mengangguk paham, "Iya, Mbah."
"Thu kan, lebih enak di dengarnya. Ha ha ha ha ha."
"Si Mbah ada-ada saja," timpalku yang juga ikut tertawa.
"Apa yang ingin kamu cari?" tanya si mbah dengan gaya seadanya. "Semua memang seperti teka-teki. Soalnya, cara mereka berkomunikasi dengan kita berbeda."
"Untuk dapat berbicara secara langsung, mereka harus dalam keadaan yang prima. Dalam artian, punya kekuatan penuh atau dapat kekuatan lain. Jadi, ndak mudah juga bagi yang halus untuk bercakap-cakap secara baik-baik kepada manusia. Begitu juga ketika mereka hendak menakuti."
"Wah, aku baru tahu soal itu. Mbak, berarti semuanya tidak mudah."
"Lah iya. Misal, ada yang nakutin kamu, habis itu ya yang halus itu langsung keder. Plek kelepek-kelepek," ujar si Mbah berbalut tawa. "Mereka juga modar, Ndok." Si Mbah melanjutkan perkataannya.
"Lalu apa yang mereka dapatkan, Mbah?" tanyaku heran, sebab kelakuan mereka sangat mengejutkan dan mengerikan.
"Kepuasan!" jawab si Mbah sambil mengacungkan jari telunjuk tangan kanannya. "Sama halnya dengan manusia to?"
Aku mengangguk paham akan maksud tersirat dari ucapan beliau. Hari ini, aku seperti belajar ilmu lain dari dunia. "Iya, Mbah."
"Sayangnya, banyak manusia yang tidak ngeh dan lari kocar-kacir gara-gara mereka. Padahal, cuma ketawa doang loh itu. Ha ha ha ha ha."
"Ha ha ha ha ha, habis serem sih Mbah."
"Makanya mereka iri pada kamu yang ayu dan kulitnya halus. Nggak kelopek-kelopek gitu. Giginya rapi, ndak keluar seperti leak, rambutnya wangi dan diikat, ndak seperti kuntilanak, kakinya bagus, nggak seperti gundoruwo."
"Ih, Mbah serem. Peliharaannya kok di panggilin semua," timpalku dengan tubuh yang sudah merinding.
"Ha ha ha ha ha, kira-kira begitu itu loh. Ngerti, nggak?"
"Hmmm," gumamku yang merasa sudah merinding disko. "Ngerti, Mbah. Oh iya, boleh tanya sesuatu?"
"Ya boleh. Kalau ndak, sejak tadi sudah tak usir kamu."
Aku tersenyum simpul, "Makasih, Mbah."
Si mbah mengangguk lembut. "Cerita aja!"
"Aku sering bermimpi tentang perempuan yang disiksa sampai akhirnya menghembuskan napas terakhir. Lalu, sosok itu muncul dalam kehidupan nyata dan sangat mengganggu. Sebenarnya, dia itu apa atau siapa?"
"Manusia," jawab si mbah lugas. "Awalnya dia itu manusia, lalu diperlukan secara tidak manusiawi. Bahkan lebih s***s, daripada binatang."
"Mbah tahu soal itu?"
Mbah mengangguk sebanyak tiga kali. "Hanya kamu sendiri saja yang bisa menyelesaikan urusan yang satu ini, Ndok. Sebab, kalian saling bertaut. Teliti, cari letak kesamaan itu, dari sana, kamu akan mendapatkan caranya!"
"Tapi, aku sudah nggak kuat. Semua begitu menyakitkan, Mbah."
"Ini adalah awal kesakitan yang sebenarnya. Kamu harus bisa, sebab orang lain tidak dapat membantu jika kamu tidak pandai dalam menelaah."
"Kenapa, Mbah?" tanyaku heran sekaligus penasaran.
"Karena iblis yang sebenarnya, ada di dalam jiwamu."
"Aku?" tanyaku sambil memegang dadda dengan kedua tangan. "Maksudnya, Mbah?" aku melipat dahi dan menyipitkan pandangan.
"Ia ditanam sangat dalam, demi menjaga banyak orang. Tapi, jika kamu begitu lemah dan dia kuat, maka ia akan muncul, lalu mengambil alih dirimu. Kemudian menghabisi semuanya. Kecuali ... ."
"Kecuali siapa, Mbah?"
"Abdi abadi miliknya," sambung si mbah tampak serius.
"Abdi abadi miliknya?" Aku mengulang perkataan si mbah dalam nada tanya. "Tolong diperjelas, Mbah!" pintaku karena benar-benar tidak mengerti.
"Kamu." Si mbah menatap penuh iba. "Kamu adalah abdi miliknya yang abadi. Dia akan memanfaatkan kamu hingga anak cucumu kelak. Tentunya, yang memiliki darah kental, sama seperti kamu."
"Sebentar, Mbah! Tunggu dulu!" Aku menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya. "Jadi, wanita gosong itu ingin menjadikan aku dayang-dayang, demi memuluskan aksinya dalam menjadikan manusia sebagai b***k, begitu?"
"Tidak semudah itu," sahut si mbah sambil menekuk dahi. "Sejak awal, kamu sudah berada pada dua kubu yang saling membunuh dan penuh dengan keinginan balas dendam. Pahamilah!"
"Aku semakin bingung, Mbah," sahutku yang kali ini ingin menangis.
Bahkan, rasanya aku mulai merasa putus asa. Sebab, bukan jawaban yang aku dapatkan. Melainkan misteri berikutnya yang semakin sulit untuk dipecahkan.
Aku pun menundukkan kepala untuk berpikir sejenak. Lalu tiba-tiba, aku merasakan udara menjadi panas dan dadaku semakin sesak.
"Non-Non!" panggil seseorang hingga aku tersentak dan terduduk. "Kok ya malah tidur di sini? Saya sudah nunggu di bawah lebih dari lima jam. Sebentar lagi magrib, Non." Lalu laki-laki tersebut mengusap kedua tangannya sambil memperhatikan sekitar.
"Lima jam? Nggak kok, paling, cuma beberapa menit saja, Pak." Aku menjawab demikian karena merasa baru sekitar 15 menit berada di tempat ini.
"Astaga, Non," ujarnya seraya mengusap wajah dengan tangan kanan. "Sekarang gini aja, mau ikut pulang atau nggak? Saya nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Mohon maaf, nggak dibayar juga nggak apa-apa. Permisi, Non."
"Pak, Tunggu! Sebentar! Aku ikut." Aku berniat untuk mengejar laki-laki yang sudah meninggal diriku dalam langkah tergesa-gesa itu.
Pada saat yang bersamaan, aku juga memperhatikan lokasi di mana aku berdiam dan berdiskusi dengan si mbah selama beberapa menit tadi.
Aneh sekali, di tempat aku duduk yang terasa nyaman sejak tadi, kini hanya ada pohon beringin tua yang sudah tidak lagi berdaun. Tampaknya, pohon rimbun tersebut sudah tak lagi bersemangat untuk hidup.
Kemudian, ketika melewati pendopo, aku masih dapat mendengar suara gamelan yang melantunkan lagu kejawen halus, hingga kembali berhasil mengiris hatiku.
Tadi, ketika awal datang, aku melihat banyak orang sedang menikmati pementasan tari tradisional dengan para penari yang mengenakan kemben. Tetapi saat ini, hanya ada dedaunan kering yang beterbangan sesuai arah angin.
Aku benar-benar bingung dan kedua kakiku berputar-putar di areal teras besar ini. Hingga tanpa sengaja, aku berpapasan dengan seorang penari yang tiba-tiba saja muncul, seraya memperlihatkan wajah pucat pasi, bersama tatapan mata kosong.
Satu yang aku lihat pasti, wanita penari itu, tidak memiliki iris mata yang sama denganku. Seakan biji mata berwarna hitam miliknya, hilang di telan alam.
'Tidak!' ucapku tanpa suara sambil melihat langit yang mulai gelap. 'Tukang ojek itu benar sekali. Ini sudah magrib, tapi bagaimana bisa?'
Sekujur tubuhku bergetar hebat. Bahkan kedua kakiku terasa kaku dan sulit untuk digerakkan. Aku benar-benar berada diantara kehidupan dan kematian.
"Sebenarnya, apa yang terjadi?" tanyaku yang langsung menyusul tukang ojek tersebut. "Tunggu, Pak!"
"Ya ampun, Non. Saya juga baru tahu. Aduuuh ... aduuuh, ayo naik dulu! Kita pergi dari sini!"
"Iya, Pak," jawabku dengan suara yang sudah bergetar hebat. Kali ini, aku sangat ketakutan dan tidak dapat merasakan hangatnya napas dan kedua tanganku.
Sepanjang perjalanan dari pendopo hingga ke luar (Halaman luas), tukang ojek yang bersamaku, sama sekali tidak membuka mulutnya. Ia terlihat sangat fokus untuk menuju jalanan besar dan pulang.
Ketika di ujung patok bambu tinggi pembatasan jalan, aku melihat si mbah tersenyum sambil memegang dadanya dan menunduk. Seolah beliau ingin mengatakan, 'Sabar ya, Ndok!'
Mataku pun selalu tertuju kepadanya. Entah apa maksud isyarat yang si mbah berikan. Tapi rasanya, tidak ada niat jahat di dalamnya.
Tidak tahu harus mengatakan dan berbuat apa, aku pun memutuskan untuk melambaikan tangan kanan sambil meneteskan air mata. Beliau adalah satu-satunya harapanku, tapi kenapa masih saja sulit untuk mencari tahu kebenarannya.
'Tuhan, apakah jalan keselamatan itu memang tidak ada lagi bagiku? Apakah aku ini dilahirkan hanya untuk dijadikan b***k iblis atau tumbal kebiadaban?' Tanyaku tanpa suara.
Lalu menatap jalanan yang lurus dengan mata hampa. 'Sekarang, kemana aku harus melangkah?' Tanyaku tanpa suara. 'Si mbah, aku akan kembali ke tempat ini hanya untuk bertemu. Semoga si mbah mengizinkan aku lagi. Sebab, rasanya nyaman sekali.'
Walaupun orang lain begitu ketakutan, tapi tidak denganku. Aku malah merasa terlindungi dan nyaman.
Saat ini, aku pun menghafal seluk-beluk jalanan menuju ke tempat ini. Hanya demi bisa bertandang kembali. Tentunya tidak akan membawa orang lain.
Aku berbeda, aku dapat merasakan hangatnya hati orang-orang yang sudah pergi. Asalkan mereka tidak berniat buruk, maka aku bisa melihat mereka sebagai wujud yang bagus, tidak mengerikan sama sekali.
Selain itu, kebiasaan mereka ketika masih bernyawa, juga dapat aku rasakan dengan nyata. Bahkan ketika bersama si mbah, aku tidak tahu kalau beliau sudah tiada.
Bersambung.