Perjalanan dan Pertemuan

1553 Words
Pagi harinya, setelah melewati malam tanpa tidur yang nyenyak. Aku kembali ke sekolah untuk menyelesaikan ujian di hari pertama. "Nora!" pekik Adam dari kejauhan. "Tunggu!" pintanya dari ujung pagar sekolah. Lalu berlari ke arahku. Akhir-akhir ini, ia memang sering melakukannya. Sejak kepergian eyang, ia menjadi satu-satunya orang di sekolah ini yang selalu menggodaku. "Ngapain kamu? Kan bisa jalan aja." Aku menatap matanya yang sering sekali berbinar terang. "Aaagh, kamu itu. Nggak ada lembut-lembutnya kalau ngomong." "Yeee ... malah ngejekin aku." "Ha ha ha ha ha, enggak kok," timpalnya seraya mengatur napas yang terengah-engah. "Ayo masuk ke kelas!" "Iya." Hari ini, saat melaksanakan ujian, aku sangat tidak konsentrasi. Hati dan pikiranku hanya tertuju pada orang pintar yang alamatnya sudah aku dapatkan. Sadar akan Adam yang selalu memperhatikan gerak-gerik serta tingkah laku, aku memutuskan untuk menjaga jarak dengannya, agar ia tidak membuntutiku sesaat setelah pulang sekolah nanti. Lokasi kediaman orang pintar tersebut cukup jauh, hingga aku memutuskan untuk mencari ojek demi tiba di sana sebelum sore hari. Aku pikir, sebaiknya aku kembali ke rumahku, sebelum maghrib. Bukan tanpa alasan, banyak orang yang baik dan dekat denganku mengatakan bahwa rumahku adalah tempat teraman bagiku saat ini. Meskipun, aku merasa kebalikannya. Tetapi, tidak ada salahnya mendengarkan perkataan orang yang peduli terhadap diriku. Pada jam ujian terakhir, aku memutuskan untuk keluar lebih dulu, demi meninggalkan Adam. Sadar dengan gerakan tergesa-gesa dari langkah kakiku, Adam langsung mengangkat wajah dan saat itu aku pura-pura tidak melihatnya. Tanpa istirahat ataupun mengganti pakaian, aku segera pergi ke pangkalan ojek dan mengatakan tujuanku. Dari empat orang tukang ojek yang sedang menunggu penumpang saat itu, tidak ada satu pun di antara mereka yang bersedia untuk mengantarkanku ke areal terlarang tersebut. Menurut mereka, di sana adalah tempat yang paling angker dan mengerikan sehingga tidak ada yang berani untuk melangkahkan kakinya ke ujung kota tersebut. "Maaf, Mbak. Kalau ketempat itu, dibayar berapa pun saya ogah," kata laki-laki berusia sekitar 30 tahun. "Saya tidak punya nyali segede itu," sambungnya. 'Memangnya di sana ada apa ya?' Tanyaku tanpa suara. 'Kenapa mereka pada takut sih?' Lalu aku menjauh dan berpikir untuk mencari jalan lain demi sampai ke tujuan. Bingung dengan keadaan, aku melanjutkan langkah untuk mencari mobil angkot dan memutuskan, menyambung perjalanan agar lebih memungkinkan tiba di lokasi. Namun, ketika aku hendak meninggalkan pangkalan ojek, seseorang yang baru tiba memanggilku dan meminta ongkos lebih karena tujuan kami dirasa berbahaya. Tanpa pikir panjang, aku segera mengiyakan syarat dari tukang ojek tersebut dan akhirnya kami melangkah bersama demi menyibak rahasia besar di dalam keluargaku. "Non, ngapain ke tempat berbahaya seperti itu?" tanya tukang ojek yang tampaknya juga penasaran. "Itu bukan areal bermain." "Aku tau kok, Pak. Tapi, penting banget. Ada yang harus aku tanyakan," jawabku yang sama sekali tidak merasakan takut sedikit pun. Bukan karena sombong ataupun hebat (Berilmu tinggi). Melainkan kebalikannya dan aku sama sekali tidak mengetahui apa yang ada di sana dan resikonya. "Kan ada banyak orang pintar. Kenapa pilih di sana?" "Nggak tahu. Aku cuma lihat di google dan review orang-orang sangat bagus. Mereka memuji kehebatan dukun sakti itu." "Iya, memang beliau terkenal. Tapi, dia itu dukun ilmu hitam. Serem, Non." "Ih, jangan nakut-nakutin kenapa, Pak?" tanyaku karena jantung ini mulai berdegub kencang. "Kan, aku jadi khawatir." "Saya serius to, Non," sambungnya yang terus membawaku ke tempat tujuan. "Di sana itu, untuk urusan berat. Seperti antara hidup dan mati," bebernya terdengar serius. "Nah, itu dia masalahnya," jawabku karena merasa bahwa persoalanku saat ini, begitu genting. "Aku juga begitu, Pak. Makanya cari yang paten." "Serius, Non? Kamu masih muda begini kok." "Iya, Pak. Beneran." "Ya sudah. Yang penting, saya sudah mengingatkan. Jangan sampai gara-gara urusan asmara, Non berbuat nekat." "Wah, nggak lah. Maksudnya, aku mau melet cowok gitu? Nggak-nggak," tolakku karena memang bukan itu tujuannya. "Ya sudah." "Pak, nanti bisa nunggu, kan? Jadi, sekali jalan gitu." "Iya, boleh. Tapi jangan lama-lama ya, Non! Saya merasa serem juga ini." "Iya, Pak. Do'ain aja! Semoga ketemu sama orang pintar itu. Jadi, nggak bolak-balik gitu." "Iya, Non. Iya." Kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor sekitar kurang lebih 120 menit. Jalanan kotor dan berdebu, mulai kami sikat. Bebatuan kecil yang tidak beraturan, mulai membuat tubuh mungilku berguncang. Belum lagi aroma menyengat dari berbagai bunga yang tengah bermekaran. Semuanya seolah menyambut, dengan caranya yang khas. "Masih lama, Pak? Jauh sekali," keluhku yang merasakan aura negatif tinggi, ketika memasuki areal ini. "Sepuluh menit lagi masuk ke sana, Non." Tukang ojek tersebut sepertinya terbiasa ke areal ini. "Rumahnya di dalam." "Iya, Pak." "Cepat ya, Non! Soalnya kalau magrib, saya getar-getir untuk melewati areal pekarangan ini. Ngerti kan maksud saya?" "Iya, Pak. Iya." Setibanya di depan patok kayu yang terbuat dari bambu, aku melihat seorang kakek-kakek berpakaian adat Jawa kuno tengah berdiri dan memperhatikan ke arah kami. Tatapan matanya begitu tajam, tanpa senyum, dan hanya terus mengikuti, serta mengintai kehadiran kami. Bahkan hingga jarak kami sudah cukup jauh, arah kepalanya pun masih menuju kepada kami. Aku menunduk sesaat setelah pandangan mataku lepas darinya. Apalagi sepertinya, tukang ojek yang berada di depanku, tidak melihat sosok itu. Kami pun tiba di patok kedua. Di sisi kanan bambu yang sama dengan sebelumnya, aku kembali melihat sosok yang sama. Heran, aku melihat jauh ke belakang. 'Bagaimana bisa? Jaraknya cukup jauh.' Aku kembali bertanya tanpa suara. 'Jangan-jangan ... kakek itu bukan manusia.' "Non, kita hampir sampai," ujar tukang ojek yang berhasil memecah pikiranku. "Iya, Pak. Makasih dan jangan lupa untuk menungguku!" "Iya, Non. Tapi ingat juga, jangan lama-lama!" "Iya, Pak. Mengerti." Aku memutuskan untuk tidak lagi menatap ke sisi kiri dan kanan jalan. Lebih baik, aku berkonsentrasi untuk hal yang penting. Daripada harus bingung, sebelum waktunya. "Sampai. Silakan, Non!" "Iya, Pak." Aku turun dari motor dan langsung menatap sebuah pondok sederhana dengan model rumah Joglo. Ketika melihatnya, aura mistis terasa kental menyelimuti bangunan tersebut. Apalagi, suara alunan dari musik karawitan, terdengar tipis dan halus. Namun begitu tajam menusuk hingga ke dalam jiwa. "Non, Bapak tunggu di sini saja ya!?" ujarnya seraya memperhatikan sekitar, bahkan hingga ke atas langit. "Iya, Pak," jawabku bersama satu anggukan. Dengan perasaan yang bercampur aduk, aku menapaki anak tangga yang cukup tinggi. Suara gamelan pun kian memenuhi tinggal telingaku. Rasanya, semakin tinggi aku melangkah, jantungku semakin cepat berdetak. Dari bawah, jelas sekali pemandangannya begitu menyeramkan. Sepertinya, di atas sana hanya ada hal-lal yang menyeramkan saja. Namun, ketika sudah berada di tangga paling atas dan tubuhku setara dengan teras yang tampak luas. Aku melihat banyak sekali tawa dari orang-orang yang tidak dikenali. Belum lagi hiburan yang terlihat padat, dengan musik lamban dan gerakan tarian yang gemulai. Semua ini, berhasil menghempas rasa takutku dan bibir ini pun kembali tersenyum. "Selamat datang, Ndok!" ucap seseorang dari sisi lain pandanganku. Dengan cepat, aku mengalihkan pandangan dan mencari sumber suara. "Terima ka-sih," ucapku seperti mendapatkan kejutan yang benar-benar kejutan. Laki-laki tua renta, dengan pakaian adat Jawa yang sejak tadi aku lihat di sepanjang areal halaman luas, kini berada di hadapanku. Beliau menyapa layaknya seorang manusia dan tersenyum bersama wajahnya nan tampak tulus. Saat ini, aku sama sekali tidak merasakan ketakutan yang luar biasa seperti sebelumnya. Bahkan kakek itu terlihat begitu lucu dan bersahabat. Apalagi ketika beliau tersenyum, susunan gigi yang telah hilang itu malah menjadi daya tarik tersendiri. "Maaf, Kakek. Mungkin saya melakukan kesalahan dengan memikirkan hal yang ... ." Belum selesai ucapanku, beliau sudah menghentikannya dengan mengangkat tangan kanan dan kembali tersenyum. "Ndak apa-apa. Namanya juga bocah." 'Barsha.' Tiba-tiba suara tipis yang terbawa angin itu muncul di telingaku dan membuat tubuh ini bergidik. Aku membuka kedua mata lebar-lebar dan saat yang bersamaan, kakek itu pun melihat ke arah yang sama denganku. Yaitu asal suara Barsha. Aku berniat melangkah untuk mendekati kakek itu. Namun, kedua kakiku semakin berat dan sakit. Mungkin karena terlalu lama di perjalanan. Ditambah lagi dengan kaki ini yang memang terasa sakit serta panas sejak semalam. "Sakit?" tanyanya sambil menatap sendu. Aku mengangguk dengan wajah tertunduk, "Iya, Kek." "Kamu ke sana dulu!" tunjuknya pada sisi kanan ruangan teras pendopo utama. "Berendam lah sebentar saja!" sarannya sambil memasang senyum ceria. Tanpa ingin menyinggung perasaan beliau, aku pun mengikuti ucapannya. Ketika mendorong pintu dengan ukiran petruk berwarna kuning keemasan, aku mendapati bak mandi ukuran besar yang dikelilingi dengan patung antik dan mengeluarkan air dari tangan mereka. Seperti air mancur mini yang terus saja keluar tanpa henti, hingga mengisi bak yang juga sudah dihiasi kelopak bunga warna-warni di sekelilingnya. Di iringi lagu dengan musik lamban, aku melihat seseorang tiba-tiba muncul dari arah yang berbeda. Di hadapanku, perempuan cantik itu tampak cuek dan memutuskan untuk berendam di dalam bak tersebut. Awalnya, aku memang tidak tahu tentang apa yang harus dilakukan setibanya di sini. Tetapi, perempuan itu datang dan seakan memberi petunjuk. Dengan cepat, aku membuka sepasang sepatu dan merendam kedua kakiku. Lambat laun, rada sakitnya berkurang drastis, begitu juga dengan warna merah yang sebelumnya melingkari pergelangan kakiku. "Ini nyaman sekalian," puji ku karena merasakan bahwa kakiku menjadi ringan. Sama sekali tidak ada lagi rasa sakit yang membelenggu. Setelah merasa sehat, aku memutuskan untuk menemui kakek untuk mengatakan tujuan utama ku datang ke tempat ini. Aku semakin yakin, bawah beliau adalah orang sakti. Bahkan apa yang sudah ia berikan saat ini pun, terkesan luar biasa bagiku. Sebab, kedua kaki ini memang sangat sakit sejak semalam. Lalu setelah berendam, tiba-tiba saja rasa tidak nyaman itu, hilang. 'Aku harus cepat! Kakek pasti tahu solusinya.' Kataku sambil mengenakan kembali kaos kaki milikku dalam posisi setengah berdiri. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD