6. Tumpangan Pulang

2052 Words
“Bilang aja kalau kamu iri, Shen. Masmu enak-enak bulan madu ke Maldives, tapi adiknya jadi zombie di rumah sakit.” Rizda tertawa setan. Tawanya benar-benar sarat akan ledekan. “Sialan, lu!” kulempar Rizda dengan kacang yang sedang kubawa di pangkuan. “Ya dari tadi kamu lihatin mulu itu story Masmu. Bagus banget, tapi, ya, lautnya? Besok kalau aku nikah, aku pengen bulan madu ke sana. Syahdu banget kayaknya. Kamu pengen ke mana, Shen?” “Enggak tahu. Kaya aku mau nikah aja.” “Heh! Mulut!” Rizda menyikut lenganku agak keras. “Jangan suka asal ngomong! Ya harus nikahlah kalau bisa!” “Aku lagi enggak mood bahas nikah. Jujur, aja.” “Halah! Waktu itu aja kamu bilang enggak pengen jalin hubungan lagi, tahunya malah jalan sama pacar jadi-jadianmu itu.” “Itu mah beda, kelesss! Kan aku bilang, dia itu lagi sedih ditinggal adiknya meninggal. Aku iyain karena mau hibur dia aja. Dia ngajak aku pacaran juga bukan karena betul-betul ingin. Dia cuma lagi kangen sama adiknya dan kebetulan ada aku. Just it! Jangan bikin aku cerita dua kali. Aku pernah cerita ini sebelumnya.” “Iya, sih.” Rizda memang sudah tahu soal ini karena saat itu aku langsung cerita padanya. Selain Rizda butuh penjelasan kenapa aku pulang larut, aku juga memang ingin berbagi pengalaman dengannya. Saat itu Rizda malah mengomeliku karena katanya, aku terlalu berani dan tidak ada takut-takutnya dengan orang baru. Apalagi orang baru itu adalah laki-laki misterius yang tampak habis berkelahi. Dia sampai terheran-heran denganku. Tapi ya sudah, toh semua sudah berlalu lama dan aku baik-baik saja. “Tapi jujur, Da, aku masih menyayangkan satu hal. Sampai sekarang, aku masih suka kepikiran.” “Soal apa?” “Dia yang enggak mau buka topi sampai akhir. Udah pakai topi, posisinya malam, susah buat ngenalin wajahnya.” “Tapi katamu dia ganteng. Gimana ceritanya enggak ngenalin?” “Ya emang ganteng. Tapi kalau suruh gambarin wajahnya dengan detail, aku enggak bisa. Aku cuma ingat matanya bagus dan teduh, makanya aku yakin dia orang baik. Selama bareng, mana mungkin aku berani dan pede merhatiin wajahnya dari dekat? Yang ada kalau lagi ngomong jarak dekat, aku enggak berani natap matanya. Baru berani waktu udah mau pulang aja. Itu pun ketutup sama topinya. Jadi jangan heran kalau aku sampai salah orang berkali-kali.” “Tapi kamu beneran aneh, lho, Shen. Enggak bisa gambarin wajahnya, tapi bisa yakin bilang genteng.” “Ih! Gimana, ya, ngomongnya? Pokoknya waktu dia noleh, aku langsung nangkep kalau dia ganteng. Aku salah fokus sama matanya, makanya enggak mikirin yang lain. Hidungnya mancung atau enggak, bibirnya tebal atau tipis, aku enggak ingat. Yang jelas, first impression-ku dia ganteng. Udah, titik. Jangan protes kenapa bisa gitu. Aku pun enggak tahu.” “Susahlah kalau gitu.” “Ya emang. Makanya aku bilang agak mustahil kami ketemu. Soalnya, andai kami ketemu pun palingan aku enggak bisa ngenalin dia.” “Tapi kalau lihat matanya, masa enggak ngenalin? Kan katamu bagian mata paling berkesan.” “Ya emang. Tapi masa iya tiap ada laki-laki yang mirip dia, aku minta tatap-tatapan? Dikira orang gila, nanti!” Rizda tertawa keras. “Bener, sih. Ya udahlah, Shen. Kalau jodoh mah enggak kemana.” “Dih! Kenapa jadi tiba-tiba bahas jodoh?” “Katamu mau minta balikan kalau ketemu?” “Itu bercanda aja, kali. Biar dia senyum dan enggak kelihatan sedih lagi. Dan malam itu dia beneran senyum. Biarin, deh, misal aku dianggap gila.” “Tapi kalau misal kalian beneran ketemu lagi, gimana? Kamu tetap minta balikan atau enggak?” “Jangan ngomongin sesuatu yang enggak mungkin.” “Kan misal aja, Bu Shenna. Misal. Em i es a el.” “Kalau misal iya, aku enggak tahu. Lihat kondisi kami dulu gimana waktu ketemu. Udah nikah atau belum—“ “Anggep aja masih sama-sama single.” “Enggak yakin juga, aku. Kalau memungkinkan, aku bakal minta balikan. Kalau enggak, ya enggak. Tapi kayaknya enggak. Ngapain juga. Orang asalnya kan bercanda. Lagian aku juga enggak kenal dia itu aslinya gimana. Iya, kalau orangnya baik beneran seperti apa yang aku duga. Gimana kalau aslinya kebalikan?” “Tapi kemungkinan tetap ada, kan, Shen?” “Kalau bicara kemungkinan, jelas akan selalu ada. Ya intinya fleksibel! Udahlah, Da. Sekarang stop bahas dia. Udah lama juga. Dia juga mungkin udah lupa sama aku.” “Kayaknya sih enggak mungkin kalau lupa, orang kamunya juga enggak lupa sama dia.” “Ya beda, kali. Enggak jamin juga apa yang kami rasain itu sama.” Rizda manggut-manggut. “Iya juga, sih.” “Beneran udah, ya Da. Aku mau siap-siap.” Aku melirik arlojiku. “Habis ini aku mau ikut ke ruang operasi. Doain lancar semuanya!” “Okay! Goodluck!” *** “Dokter Koas lama-lama kek enggak ada harga dirinya, anjenggg!” Datang-datang, Yoga langsung mengumpat. Membuatku dan Wika berjengit kaget dan refleks menatapnya heran. Yoga duduk di sudut, lalu menutup wajahnya dengan sebelah tangan. Dari rautnya, dia tampak sekali sedang frustasi. “Kenapa, Yog?” tanya Wika dengan nada yang super lembut. Anak ini memang paling lembut di antara teman satu ruangan. “Konsulen gue kaya setan, tahu, enggak?” “Jangan keras-keras, Ga!” seruku memperingatkan. Aku tahu, dokter juga manusia. Jadi sangat wajar kalau sesekali emosi sampai meledak-ledak. Tak terkecuali dokter yang masih jadi-jadian seperti kami. Tapi, dokter tetaplah dokter di mata pasien awam. Mereka tahunya kalau dokter pasti rata-rata baik dan ramah. Belum lagi, tidak semua dari mereka paham tingkatannya. Aku hanya tidak ingin orang di luar salah paham kalau sampai mendengar u*****n Yoga. “Gue hampir dua hari enggak tidur sama sekali, b*****t! Masih dimarah-marahin juga. Apalagi di depan banyak orang. Capek banget, gue! Padahal kesalahan gue enggak fatal, anjeeeng!” Aku mendekat dan mengusap-usap pundak Yoga. Kini wajahnya merah padam. Sepertinya karena marah sekaligus malu. “Aku tahu kamu capek, tapi jangan ngumpat mulu. Enggak enak banget kalau di denger pasien. Kita harus bisa jaga martabat dokter di sini.” Yoga menunduk cukup lama, lalu mengusap wajahnya kasar. “Sorry, gue udah capek level maksimal, Shen. Gue udah nahan-nahan dari kemarin. Yang paling gue enggak terima, gue dimarahin di depan banyak orang. Padahal ada yang kesalahannya lebih fatal dari due, tapi dia cuma didiemin. Pilih kasihnya keterlaluan.” “Aku bisa paham apa yang kamu rasain, tapi please, lisannya agak dijaga. Aku sama Wika dengar enggak masalah. Tapi kalau pasien, jangan sampai.” Yoga menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. “Lo kalau mau pakai aku-kamu mulu, gue jadi deg-degan.” “Idihhh!” Aku bergidik. “Ini aku lagi belajar biar tetap halus. Kalau kebiasaan pakai lo gue dan kasar, takutnya kebawa ke pasien kalau mereka lagi ngeselin. Jadi, cari aman aja. Begitu, ya, Kakanda Yoga?” “Hm!” Yoga kini ambruk ke kasur lantai, lalu memejamkan matanya. Aku kembali duduk di samping Wika, dan anak itu langsung berbisik. “Biarin dia tenang dulu, Shen. Tapi konsulen dia emang ngeselin. Aku pernah interaksi dua kali, sumpah nyebelin abis. Belum-belum udah kerasa sengak-nya.” “Pantesan! Untung konsulen kita lumayan baiklah. Meski sibuknya melebihi presiden.” Wika terkekeh. “Bener!” “Ya udah, Wik, aku mau pulang sekarang. Selamat menjalankan sift malam!” “Yoi!” “Nanti tolong kasih tahu Rizda, aku udah balik.” “Oke.” Saat aku sedang berjalan menuju gerbang depan, tiba-tiba aku melihat seseorang. Aku langsung mendelik begitu mengenali orang itu. “Mas Rifqi!” panggilku refleks. Iya, orang itu adalah Mas Rifqi. Dia menoleh, lalu berhenti. “Kenapa kamu di sini?” “Saya koas di sini.” Aku tersenyum. “Oh.” “Mas Rifqi sakitkah?” “Enggak. Hanya periksa biasa.” “Ah ...” aku manggut-manggut. “Eh, iya. Bajunya belum saya kembaliin. Udah saya cuci bersih.” “Kapan-kapan saja.” “Oke.” Mas Rifqi kembali jalan, jadi aku mengekor di belakangnya. Sepertinya, dia benar-benar tidak menyukaiku. Terlihat dari responnya yang terlalu biasa, bahkan cederung cuek. Aku juga tidak tahu pasti apa alasannya, tetapi mungkin ini berhubungan dengan aku yang selalu terlihat ceroboh di depanya. Karena dia terus jalan dan tak menggubrisku, akhirnya kubiarkan dia pergi lebih dulu. Dia jalan menuju parkiran, sementara aku lekas keluar rumah sakit. Akhir-akhir ini aku semakin jarang naik mobil sendiri. Setelah kupikir-pikir, lebih aman naik taksi. Maksudku, aku hampir tidak pernah pulang dalam keadaan fit. Selalu saja aku pulang dalam keadaan lelah dan mengantuk. Itu artinya, potensi membahayakan orang di jalan jadi lebih besar. Aku baru saja meraih ponsel saat tiba-tiba ada mobil hitam berhenti di depanku. Aku agak kaget karena ternyata itu Mas Rifqi. “Kamu tidak bawa mobil sendiri?” tanyanya kemudian. Aku menggeleng. “Akhir-akhir ini lagi enggak. Saya lagi enggak berani nyetir sendiri.” “Karena takut ngantuk di jalan dan membahayakan orang?” Aku mengangguk. “Iya.” “Cepat masuk.” “H-hah? Eh, enggak perlu, Mas. Saya naik taksi aja. Ini mau pesan.” “Ya udah.” Wah! Dia benar-benar manusia tanpa basa-basi. Aturan dia menawariku sekali lagi. Mana ada sekali ditolak langsung menyerah? Mobil Mas Rifqi menyala, membuatku seketika mengalihkan pandangan. Tidak ada gunanya juga berharap dengan manusia ini. Dress-ku robek saja dia tidak peduli— padahal urgent, apalagi ini? “Cepat masuk.” “Lah? Orang enggak mau.” “Kamu belum jadi pesan taksi, kan?” Aku menggeleng. “Belum.” “Cepat masuk.” “Orang saya enggak mau. Nanti saya—“ “Kak, buruan masuk, woy! Ini saya mau lewat jadi enggak bisa!” tiba-tiba terdengar sebuah teriakan keras. Ternyata dari orang yang mengendarai mobil di belakang. Saat aku menatap mobil Mas Rifqi, pintu sebelah kiri sudah terbuka. Akhirnya, mau tak mau aku segera masuk dan mobil pun kembali jalan. “Dipakai seat belt-nya.” “Hm.” Aku tidak tahu situasi macam apa ini. Orang yang selalu terlihat tidak suka denganku tiba-tiba menawari tumpangan. Setengah memaksa pula. Agak tidak masuk akal. “Kenapa tiba-tiba kasih saya tumpangan?” tanyaku beberapa saat kemudian. “Atau mau turun sekarang?” Aku menatap tak percaya. “Sebenarnya niat nolong atau enggak, sih?” Mas Rifqi diam, tak menjawab. Dia fokus menatap jelanan di depan yang ramai. Serius, aku tidak tahu apa motifnya tiba-tiba memberiku tumpangan. Aku juga tidak bisa menebak jalan pikirannya yang menurutku agak aneh. "Saya lihat matamu tampak lelah, jadi saya menawari tumpangan pulang. Istirahat saja. Saya antar sampai depan rumah.” “Memangnya tahu rumah saya di mana?” “Selagi rumahmu sama dengan rumah Bu Ivi, saya tahu.” “Lho? Kok tahu Mama?” “Kenapa kaget kalau saya saja bekerja di perusahaan keluargamu?” Aku meringis. “Iya, sih. Jangan-jangan, Mas Rifqi punya niat terselubung, ya?” “Terserah kamu mau berasumsi bagaimana. Saya tidak peduli.” Aku mencibir pelan, lalu memalingkan wajah. Terlepas apa pun motifnya, aku terlalu lelah untuk terus menebak-nebak. Aku memejamkan mata karena rasa kantuk tiba-tiba datang menyerang. Rumahku masih jauh, dan posisi jalan juga sedang macet. Aku pasti akan terjebak lama di mobil ini. “Eh, enggak, enggak! Aku enggak boleh tidur di sini. Kalau aku diculik gimana?” aku menggumam pelan, lalu mengeleng. “Apa katamu?” “Hah?” Aku menoleh. Kini mataku sudah kembali terjaga. “Apa? Saya enggak ngomong apa-apa.” “Kamu takut saya culik?” “E-enggak! Salah denger, kali! Orang saya lagi mikirin hal lain.” Aku menoleh ke arah kiri dan menepuki bibirku yang asal bicara tanpa lihat-lihat sekitar. “Ya sudah.” Beberapa saat berlalu, rasa kantukku semakin kuat saja. Aku sampai bolak-balik menepuk pipi agar tetap terjaga. Sayangnya, segala usahaku sia-sia. Rasa kantuk itu tak kunjung hilang. Bagaimana ini? Tidak biasanya aku seperti ini! “Tidur saja kalau memang ngantuk. Tidak perlu ditahan. Laporkan Om-mu kalau saya sampai berani macam-macam.” “Sebelum saya lapor Om, Mas Rifqi udah babak belur duluan dihajar Mas Arfa,” sahutku pelan, tetapi penuh penekanan. “Itu kamu tahu. Jadi, kenapa takut?” Akhirnya, aku menyerah juga. Aku memperbaiki posisi dudukku dan kembali memejamkan mata. Aku benar-benar tidak kuat lagi. Saat aku berada di ambang kesadaranku, tiba-tiba aku mendengar gumaman yang sepertinya hanya halusinasiku saja. “Dulu memang udah cantik. Tapi sejak kapan jadi secatik ini?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD