7. Mr. Tiger

1952 Words
Aku terbangun ketika mendengar sayup-sayup bunyi kereta. Aku meregangkan otot-otot, berusaha mengurangi rasa pegal di beberapa bagian. Baru sekali, aku sudah refleks berhenti ketika tanganku mentok ke benda keras di sisi kiriku. “HAH!” Aku langsung membuka mata begitu ingat di mana aku sekarang. Benar, aku ada di mobil Mas Rifqi. Aku duduk tegak, lalu menoleh ke arah kanan. Aku langsung menepuk keningku berulang kali ketika melihat Mas Rifqi sedang sibuk dengan laptopnya. Dia diam saja, padahal sudah pasti dia sadar aku telah bangun. Aku celingukan, ternyata saat ini aku ada di pinggir jalan yang lokasinya masih agak jauh dari rumahku. Jalan ini memang dekat dengan salah satu stasiun. “Sudah bangun?” tanya Mas Rifqi akhirnya. Itu membuatku memejamkan mata malu. Sungguh, tadi aku tidur pulas sekali. Pasalnya, aku tidak ingat apa pun setelah kehilangan kesadaran. Aku bahkan tidak terganggu dengan kondisi jalan yang pastinya ramai. Biasanya, jam pulang kerja itu berisik. Suara klakson bersahutan di mana-mana. “K-kenapa berhenti di sini, Mas?” tanyaku agak terbata. “A-apa mobilnya m-mogok? “Saya ada keperluan di sekitar sini. Lima menit yang lalu baru saja selesai. Kebetulan, saya harus mengecek beberapa pekerjaan. Tadi kamu sempat bilang jangan turun di dekat rumahmu. Jadi, saya menunggu kamu bangun agar tahu harus di mana saya menurunkanmu.” “Emangnya jam berapa sekarang?” aku mengangkat tanganku dan melihat arloji di tangan kiri. Saat itu juga, mataku langsung mendelik lebar. “Oh, ya ampun! Udah jam tujuh? Berapa lama saya tidur?” “Satu jam harusnya lebih. Saya bahkan sudah keluar dan kembali lagi. Kamu tidur seperti orang mati.” Ingin rasanya saat ini aku menghilang dari muka bumi. Bisa-bisanya aku ketiduran sampai sepulas ini? Semacet-macetnya perjalanan dari rumah sakit ke rumahku tidak akan sampai memakan waktu satu jam. Sedangkan ini sudah dua jam. Itu artinya benar kata Mas Rifqi, aku sudah tidur satu jam lebih. “S-saya turun di sini saja, Mas. Saya akan pesan gocar dari sini. Terima kasih untuk tumpangannya—“ “Tunggu!” Mas Rifqi menahan jaketku. “Ada apa?” “Lihat tempat dudukmu. Setidaknya kamu harus bertanggung jawab atas itu.” “Hah? Maksudnya?” Aku lekas maju, lalu menoleh ke belakang. Mataku membelalak sempurna begitu melihat ada noda merah di sana. Oh, ya ampun! Benar-benar double kill malunya! Aku lekas membuka tasku, lalu mengeluarkan tisu basah. Setelah itu, aku membuka pintu agar bisa membersihkan noda itu dengan mudah. Kalau tetap di dalam mobil, jelas akan susah. Ruangnya tidak cukup. Gerakku juga sangat terbatas. “Jangan lihat ke sini, Mas!” seruku saat Mas Rifqi menoleh. “Saya akan bertanggung jawab sampai bener-bener bersih. Tenang aja, enggak akan ada sisa noda setitik pun.” “Ya.” Sudah jatuh, masih tertimpa tangga. Aku rasa istilah ini tidak berlebihan untukku saat ini. Sudah malu karena ketiduran lama sekali, masih harus tembus di mobil yang bahkan baru pertama kali kunaiki. Memang, hari ini aku haid hari kedua. Dan biasanya hari kedua justru sedang deras-derasnya. Aku memang belum sempat ganti pembalut karena tadi aku merasa masih aman. Toh aku juga akan pulang. Pikirku, sampai rumah bisa langsung mandi. Siapa sangka aku malah naik mobil Mas Rifqi dan ketiduran lama? “Sudah saya bersihkan dengan tisu basah dan air mineral. Ini sudah bersih. Sudah saya lap juga dengan tisu kering.” Aku melapor setelah memastikan noda di jok mobil benar-benar bersih. Untungnya, jok mobilnya terbuat dari bahan plastik yang tidak bisa tembus ke dalam. Jadi, bisa dipastikan nodanya hanya menempel di bagian luar saja. “Oke.” “Karena sudah bersih, saya pamit sekarang. Makasih banyak untuk tumpangannya—“ “Tunggu.” “Apa lagi, sih?” aku mulai kesal. Ya kesal dengan diri sendiri, juga kesal dengan keadaan. Belum lagi, aku juga baru bangun tidur, jadi emosiku belum stabil. “Lokasi ini sepi. Kamu yakin akan turun di sini?” Aku celingukan lagi, dan benar, aku baru sadar kalau lokasi sekitar memang sepi. Aku menatap Mas Rifqi, dia langsung mengisyaratkanku untuk kembali masuk. “Biar saya antar sampai depan sana.” “Y-ya udah, iya.” Aku melepas jaketku, lalu mengalungkannya di pinggang. Aku tidak ingin mengotori mobil Mas Rifqi untuk yang kedua kali. Aku tahu Mas Rifqi tersenyum setengah meledek, tetapi aku berusaha tak menggubrisnya. Akhirnya, mobil pun kembali jalan setelah sebelumnya Mas Rifqi menutup laptop dan menaruhnya ke dalam tas. Selama perjalanan, aku terus menatap ke luar jendela. Aku terlampau malu sampai tidak berani menatap Mas Rifqi, bahkan dari pantulan jendela sekalipun. Tiba-tiba saja, ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari Mama. Ah, beliau pasti khawatir karena aku tak kunjung sampai rumah. “Hallo, Ma?” sapaku pelan. “Kamu di mana, Shen? Tadi bilangnya pulang sore? Kok sampai sekarang belum sampai? Kamu enggak kenapa-napa, kan?” “Aku baik-baik aja, kok, Ma. Itu ...” aku melirik samping. “Aku ke apartemen Rizda dulu. Ini mau pulang.” “Ya udah. Buruan balik. Jangan malam-malam. Mending istirahat di rumah daripada main terus.” “Baru juga jam tujuh, Ma.” “Ya intinya buruan pulang.” “Iya. Ini udah di jalan, loh!” “Ya udah, teleponnya Mama tutup dulu. Hati-hati!” “Oke, Ma.” Setelah panggilan selesai, aku kembali menyandar pada jendela. Arah rumahku memang ada titik-titik macet. Satu kilo saja bisa jadi lama, apalagi lebih. Kisaran lima menit kemudian, akhirnya mobil kembali berhenti. Aku langsung menegakkan badan dan menunduk pada Mas Rifqi sesaat. “Sekali lagi terima kasih, Mas. Saya minta maaf untuk yang tadi.” “Ya.” “Kalau gitu, saya—” “Tunggu!” “Apa lagi, sih?!” tanpa sadar, suaraku langsung naik. Bahkan melebihi yang tadi. Mas Rifqi tiba-tiba mengetuk sudut bibirnya. “Hah?” aku melongo tak paham. “Ini.” Dia masih mengetuk sudut bibirnya. “Apaan, maksudnya?” Tidak mungkin dia minta cium, kan? Ey! Sudah gila kalau sampai iya. “Liurmu.” “Hah? Demi apa saya ngiler?” aku buru-buru mengambil kaca di dalam tas lalu mengecek wajahku. Tidak, tidak ada noda sama sekali di sudut bibirku. “Enggak ada! Mas Rifqi ngerjain saya, ya?” “Oh, sudah hilang.” “Jadi, saya beneran ngiler?” Bukannya menjawab, Mas Rifqi malah tersenyum. “Saya hanya bercanda. Sepertinya kamu sudah sadar seratus pesen. Kamu boleh turun sekarang. Saya enggak perlu khawatir kamu nabrak orang.” “Ish! Bisa-bisanya malah ngerjain! Saya mending nyebur sumur daripada lihat Mas Rifqi kalau sampai beneran ngiler di mobil.” “Enggak. Buruan, turun. Saya harus segera pulang.” Aku mengangguk. “Y-ya udah. Pokoknya Terima kasih.” “Ini bawa.” Mas Rifqi tiba-tiba mengulurkan sebuah paper bag warna coklat. “Apa itu, Mas?” “Tadi saya dikasih burger. Saya enggak begitu suka burger. Buat kamu saja. Anak koas harusnya banyak makan.” Mendengar itu, entah kenapa aku langsung tersenyum. “Beneran, apa?” “Iya. Buruan ambil.” Aku menerima paper bag itu dan kembali tersenyum. “Sekali lagi terima kasih, Mas Rifqi.” “Ya.” Akhirnya, aku lekas turun dan berlari kecil menuju halte taksi. Aku menyempatkan menatap Mas Rifqi sebelum dia pulang. Sayangnya, dia tidak menatapku lagi dan langsung pergi. Aku membuka paper bag dan melihat isinya. Tak bisa terbendung lagi, senyumku langsung mengembang semakin lebar. “Walaupun agak ngeselin, tapi dia baik juga.” *** “Yes! Akhirnya dapat juga nomornya!” Aku tersenyum senang setelah nendapat nomor Mas Rifqi. Nomornya kudapat dari Mas Fajar, hanya saja dengan cara tidak langsung. Aku pura-pura disuruh Mama dan sepertinya Mas Fajar tidak curiga. Tentu saja aku tidak hanya meminta nomor Mas Rifqi. Pura-puranya, aku minta seluruh kontak ketua divisi. Haha! Jujur, aku mendadak bangga dengan diriku sendiri yang tercetus ide ini. Hanya dalam hitungan menit, nomor Mas Rifqi sudah kudapat. Padahal tadinya aku sudah kena omel Mas Arfa perkara ini. Bicara Mas Arfa dan Mas Rifqi, sampai detik ini aku belum tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Bertanya dengan Mas Arfa pasti percuma karena dia tidak mungkin mau menjawab dengan jujur. Kalau bertanya dengan Mas Rifqi, jelas aneh. Apalagi kami juga masih jauh dari kata dekat. “Shenna!” tiba-tiba saja, terdengar suara Mama dari bawah. Aku langsung melompat turun dari ranjang dan keluar kamar sebentar. “Kenapa, Ma?” tanyaku sembari menunduk, menatap Mama yang kini ada di ruang tengah. “Itu burger siapa di pantri?” “Punyaku.” “Kok belum dimakan?” “Ini lagi. Tadi bawa dua.” “Oh. Kalau gitu, yang satu buat Mama, ya—” “Jangan! Enggak boleh!” balasku keras. “Pelit banget kamu sama Mama.” “Please, yang itu jangan. Mau aku makan nanti kalau lapar malam-malam. Mama aku pesenin burger baru aja, ya?” Mama menatapku heran. “Memangnya kenapa kok ini enggak boleh? Nanti kan malah udah dingin.” “Enggak papa, nanti mau aku panasin. Pokoknya jangan yang itu!” “Ya udah. Buruan pesenin Mama burger—eh, pizza aja, Shen!” “Oke! Aku pesenin sekarang. Tapi nanti Mama yang terima.” “Ya.” Aku segera pesan pizza saat itu juga. Begitu selesai, aku menunjukkan layar ponsel pada Mama sebagai bukti. “Udah, ya, Ma. Ditunggu!” “Ya.” Setelah urusan dengan Mama selesai, aku masuk kamar lagi dan berbaring di ranjang. Aku kembali menatap kontak Mas Rifqi dan tersenyum. “Aku chat atau telepon langsung aja, ya?” untuk sesaat, aku menimbang-nimbang. “Chat aja kali, ya? Kalau telepon, nanti dia terganggu. Oke, chat aja.” Aku bangun, lalu segera mengetik pesan untuk Mas Rifqi. ‘Selamat malam, Mas Rifqi. Ini saya, Shenna. Kira-kira, kapan kita bisa ketemu lagi? Saya mau ngembaliin baju.’ Tak kusangka, pesanku langsung centang biru. Ternyata Mas Rifqi sedang online. Aku tersenyum lebar saat melihat dia langsung mengetik balasan. 085xxxxxxxxx Terserah kamu, asal malam. Siang sampai sore saya di kantor Aku segera membalas. ‘Oke. Besok saya hubungi lagi, Mas.’ 085xxxxxxxxx Y. “Y? Huruf Y doang? Wah ....” aku geleng-geleng kepala. “Tapi enggak papa. Semakin cuek, semakin bikin penasaran.” Aku terkekeh pelan. Aku bangun, lalu pindah duduk di sofa. Aku mengambil burger yang belum habis. Ngomong-ngomong, persetan dengan peringatan dari Mas Arfa. Toh untuk saat ini masih terlalu jauh jika membahas ke arah yang serius. Setidaknya, aku ingin berteman dengan Mas Rifqi. “Kira-kira, berapa umur Mas Rifqi? Wajahnya kelihatan masih muda. Apa seumuran Mas Arfa? Atau lebih muda? Enggak mungkin lebih tua, kan?” aku menggumam sembari mengigit burger yang kini sudah hampir habis. “Duh, haus— yah! Stok minumku habis.” Akhirnya, aku turun ke bawah sembari membawa burger yang tinggal satu gigitan. Mama tidak ada lagi di ruang tengah, mungkin beliau sedang di kamar. Melihat burger kedua tergeletak di pantri, entah kenapa aku jadi lapar lagi. Aku duduk di kursi, lalu mengambil makanan bulat itu. “Makan sekarang sekalian ajalah!” “Jangan sering-sering makan junkfood, Shen!” Aku menoleh ketika mendengar suara Papa. Ternyata beliau sudah pulang dari rumah Eyang. “Terakhir aku makan burger udah bulan lalu, Pa. Enggak bisa dibilang sering, dong.” “Burgernya kayaknya enak sampai kamu kelihatan lahap gitu. Mana makannya sampai senyum-senyum.” “Emang enak, Pa. Enaaak banget.” Enak karena dikasih seseorang. Itulah kenapa aku tidak rela Mama memakan burger ini. “Meski enak, pokoknya jangan sering-sering!” “Iya, Pa.” “Ya udah, Papa ke kamar dulu.” “Oke.” Papa akhirnya masuk kamar, sementara aku masih duduk sendirian di dekat pantri dapur. Setelah menghabiskan burger kedua dan minum sampai puas, aku meraih ponsel di saku. Kutatap kembali kontak Mas Rifqi yang berfoto profil anak harimau. Aku tersenyum, lalu segera menyimpan kontaknya dengan nama yang tiba-tiba tercetus di otak. Mr. Tiger ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD