Bab 9

1106 Words
Alrich memencet bel pintu apartemen Amelia tapi tak kunjung terbuka juga. Pria itu bahkan meminta kartu cadangan kepada pengelola Apartemen, tapi tak di perbolehkan. Untung sekali petugas keamanan bilang kalau gadis itu memang berada di apartemennya. Pria tersebut masih terus memencet bel pintu sambil memanggil nama Amelia. Tdiak lama setelahnya, pintu tersebut terbuka lebar. Alrich terkejut melihat gadis itu sedang memakai kimono dengan rambut tergerai basah. “Masuk....!” titah Amelia dingin. Mandi nikmatnya harus terganggu karena kunjungan dari seseorang. Padahal setelah mandi ia berencana untuk membeli ponsel baru. “Aku senang kau baik-baik saja,” kata Alrich sambil menunduk. Dahi Amelia berkerut melihat tingkah pria itu yang lucu menurutnya. “Jika aku ingin pulang, kalian juga tak akan mengizinkannya.” Amelia berjalan menuju ke kamarnya. “Aku akan ganti baju dulu.” Setelah Amelia masuk, Alrich menutup wajahnya sambil memegang jantungnya yang terus berbunyi dag-dig-dug, terdengar keras sekali. Cuping telinganya bahkan sampai merah. “Aku bisa gila,” helanya kasar. Sungguh godaan terbesar melihat gadis yang disukainya memakai kimono sesudah mandi. Apalagi rambutnya basah, terlihat seksi dan menggairahkan. “Enyahlah otak kotor!” geram Alrich sambil menghempaskan dirinya di sofa cukup keras. Untuk menghilangkan otak kotornya, pria itu mencari kesibukan lain. Tiba-tiba ada notifikasi pesan dari Dave yang membuatnya kesal setengah mati. “Sial! Kenapa dia ingin bertemu denganku sekarang.” Alrich memasukkan ponsel itu ke sakunya, lalu tersentak melihat Amelia yang sudah duduk di sofa. “Ada apa?” tanya gadis itu dengan santai. “Aku tak mendengar langkah kakimu, Mel,” jawab Alrich masih dalam kagetnya. “Karena, kau terlalu fokus dengan ponselmu. Padahal aku sudah duduk cukup lama.” Amelia melirik ke arah papar bag berwana ungu milik Alrich. “Oh ini... ini untukmu.” Pria itu menyerahkan tas itu. “Apa itu? Kau menyuapku!” seru Amelia bercanda. “Dari mana pikiran jelek itu? Ini adalah ponsel untukmu. Sudah aku kasih nomor. Dan nomor ponselmu tetap.” Amelia langsung merebut paper bag tersebut secepat kilat untuk melihat ponsel barunya. “Terimakasih, kau memang terbaik.” Alrich terbengong mendengar pujian Amelia. Pasalnya, gadis itu selalu ketus. Ternyata hilang ingatan membuat kepribadiannya jauh lebih baik. “Aku akan pergi.” “Pergi ya pergi saja. Kenapa harus bilang padaku?” kata Amelia dengan ketus. Pujian tadi membuat Alrich merubahnya, ternyata gadis itu masih sama selalu saja bersikap cuek padanya. Wajah pria itu mendadak berubah jadi datar. Hal itu aneh di depan Amelia. Dasar si tak peka itu mendengus kesal ketika melihat perubahan wajah pria tersebut. Setelah Alrich benar-benar pergi, Amelia masih betah duduk di sofa. Emang aneh itu manusia satu. Baru saja beberapa menit lalu senang. Nah sudah lagi berubah mood, pikir gadis itu tak mengerti. “Sudahlah... buat apa memikirkan pria tak jelas itu. lebih baik memesan makanan lalu tidur di ranjang yang empuk,” kata Amelia dengan girang. Sementara itu, Dave masuk ke dalam Apartemennya sambil menghela nafas panjang. Seharian ini terasa setahun. Ada yang kurang dalam hidupnya, entah apa itu dia tak tahu. Belum sempat lelahnya terhapus kan, orang yang di hubungi beberapa menit lalu telah datang. “Cepat sekali,” ucap Dave dingin. Alrich diam saja, memilih duduk di sofa tak jauh darinya. Jelas lah cepat. Apartemen Amelia dan Dave itu satu gedung. Hanya saja keduanya tak tahu karena beda lantai. “Aku baru saja mengunjungi teman di apartemen itu,” kata Alrich singkat. “Kenapa kau menyuruhku untuk datang? Bukankah aku bilang kalau mau cuti dulu?” “Sudah seminggu kau cuti dan hilang kabar. Apa yang sebenarnya kau lakukan?” tanya Dave penasaran. Alrich diam lagi, tak mau bicara jujur. Jika Dave tahu kalau ia menunggu Amelia, pasti pria itu menyuruhnya untuk kembali bekerja. “Kau tak menjawab pertanyaan ku.” Dave bangkit dari sofa menuju ke lemari es tak jauh darinya. “Lupakan, aku hanya bertanya. Apakah kau tahu kalau Amelia kecelakaan?” Kenapa dia peduli dengan Amelia? Jika aku berbohong, dia tak akan percaya. “Seperti yang kau dengar. Berita itu benar adanya,” jawab Alrich cepat. Dave menghentikan aktivitasnya ketika hendak minum. Kenapa ia hilang selera seperti ini mendengar bahwa Amelia benar-benar mengalami kecelakaan? Tak mungkin dirinya peduli begitu besar dengan gadis pengganggu itu. “Jika sudah sembuh, suruh dia masuk,” kata Dave dingin. Alrich merasa ada yang aneh dengan sikap Dave saat ini. “Bukankah kau membencinya? Bagus kalau dia tak masuk. Kau bisa bebas,” pancing Alrich terus melihat perubahan wajah Dave. Dave tak menjawab, memilih menutup lemari es dengan kasar. “Pulanglah... aku malas berdebat denganmu.” Apa-apaan dia. Hanya karena aku bertanya hal wajar, dia malah mengusirku ‘Oke. Aku pulang. Kau sudah membuatku kehilangan hari bahagia. Seharusnya Alrich tak datang dan memilih bersama Amelia saat ini. Karena bersama dengan Dave membuatnya tercekik tak bisa bernafas. Dasar manusia es, pantas saja tak memiliki gairah hidup di masa muda, gerutu pria itu sambil menutup pintu Apartemen milik Dave. Lelah juga berdebat dnegan Dave mengenai Amelia. Entah kenapa Ada yang salah dengan pria itu? Seakan mulai peduli dengan gadis tesebut. “Aku tak akan membiarkan itu terjadi.” Amelia sudah mulai berubah tidak mengharapkan Dave sama sekali. Untuk itu kesempatan baginya mendekati gadis itu di masa depan. Setelah Alrich pergi meninggalkan dirinya, Dave masih termenung duduk di sofa. Selama beberapa tahun, Amelia selalu saja menempelnya. Tak jarang gadis itu bertengkar dengan Rosa hanya karena masalah sepele. Rosa yang pemarah dan Amelia yang keras kepala. Setiap hari membuat kepala Dave pusing. Tapi kenapa tidak adanya Amelia membuat hidupnya kosong? “Aku tak mungkin memiliki perasaan dengan gadis tengil itu.” Mungkin karena kebiasannya menempel membuat pria itu terbiasa dengan kehadiran Amelia. “Aku tak mau membuang waktuku hanya untuk sesuatu yang tidak penting.” Besok ada rapat dadakan untuk membahas penulis terkenal. Pria itu telah merekrut penulis tersebut dengan susah payah. Untuk projek kedepannya ia tak bisa gagal begitu saja. “Lee Sun adalah uangku di masa depan,” gumam Dave sambil mengetik pesan yang di tujukan oleh seseorang. Pesan itu terkirim pada seorang pria yang sedang berciuman dengan seorang gadis. Dia mendengus kesal ketika bosnya sedang memberikan tugas. “Siapa?” tanya gadis itu dengan manja. “Kita batalkan kencan hari ini. Aku ada kerjaan penting,” kata pria itu berlalu begitu saja membuat si gadis memaki kesal. “Berkoarlah seperti macan birahi, aku tak peduli.” Pria itu masuk ke dalam mobil, lalu melajukan dengan kecepatan tinggi. “Kalau bukan kerjaan dan gaji tinggi, aku tak sudi kerja lembur.” Dia terlihat kesal, tapi tetap melaksanakan tugas yang di berikan. Walau bagaimanapun, projek kali ini berpengaruh dengan perusahaan. Tentu saja dia tak akan melewatkan kesempatan emas mendapatkan bonus tinggi. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD