Bab 40

1117 Words
Suasana semakin tegang dan memanas saat Samuel terus saja menatap Amelia tanpa mengalihkan pandangannya. Sangat risih, jelas iya. Ibarat tembok di bor sampai berlubang. Gadis itu tersenyum, bersikap tenang dan natural. Memilih untuk tetap tenang adalah jalan terbaik. “Karena semua masalah sudah selesai, aku pergi dulu.” Drew bangkit menghadang Amelia, tapi gadis itu tetap tersenyum ramah meski hatinya cemas. “Tinggallah di sini untuk makan malam,” kata Samuel sambil menjentikkan jari. Zen bergegas bangkit pergi entah kemana Amelia juga tak ingin tahu. “Tapi aku masih ada urusan. Jadi aku harus pulang.” Amelia melewati Drew dengan tenang, tapi pria itu menghadangnya lagi. Sumpah aku ingin menonjok pria ini, tapi aku tak bisa gegabah. “Jika kau tak berkenan, aku akan mengantarmu pulang.” Samuel menyilang kan kakinya-terus menatap Amelia tanpa henti. “Hehehe... aku tak bisa merepotkan orang penting sepertimu.” Karena gadis itu keras kepala, Samuel tak ada pilihan lain untuk bertindak kasar. Dia langsung menggendong Amelia di pundaknya seperti karung beras. Gadis itu terpekik kaget, meronta sambil berteriak minta untuk di lepaskan. Namun dengan lancang, Samuel malam memukul pantatnya. Tentu saja dia malu. Suaranya yang nyaring bagaikan burung itu langsung berhenti seketika. Aku ingin pergi ke lubang yang besar. “Begini lebih baik. Kau menurut aku juga senang.” Samuel membawa Amelia keluar rumah menuju ke mobil miliknya. Di sana sudah ada Zen yang sedang duduk di jok bagian depan. Amelia hanya diam menurut, membuang muka ke arah lain. Sungguh dia sangat malu, sampai tak bisa menatap wajah Samuel. Bayangkan saja, pria yang baru di kenalnya malah memukul p****t dengan keras. Melihat Amelia yang marah, Samuel memberikan permen lollipop berbentuk boneka. Gadis itu tercengang karena merasa familiar, kelebatan kenangan terlintas di kepalanya hingga tak sadar meneteskan air mata. “Terimakasih,” kata Amelia mengusap air matanya dengan cepat. Entah kenapa dia merasakan adegan familiar ketika Samuel memberikan permen itu padanya. “Itu untuk permintaan maaf ku.” Amelia menatap Samuel dengan mata berkaca-kaca karena mengingat seseorang. Gadis itu ingat Ramon yang selalu memberikan permen padanya ketika marah. Hatinya melunak dan rasa waspada mulai memudar hanya dengan sebuah permen. Permen yang merupakan kenangan berharga bagi Amelia sebagai Lian. Kenangan yang tak bisa di beli oleh apapun, termasuk uang atau semua harta yang ada di dunia ini. Selama perjalanan, Amelia banyak diam terus menatap lollipop itu tanpa mengalihkan pandangan hingga tak sadar telah sampai di depan apartemennya. Mobil yang di kendarai mereka berhenti seketika. Samuel pun bersuara, “Sudah sampai.” Gadis itu menatap area lingkungan apartemen, benar sudah sampai. Sejak kapan dan bagiamana Samuel tahu rumahnya? Zen yang berada di jok depan langsung membuka pintu mobil untuk Amelia. “Apakah kau menyelidikiku?” tanya gadis itu meskipun ia sudah tahu tapi ingin memastikan. “Seperti yang kalau lihat.” Samuel mendorong tubuh Amelia agar segera keluar mobil, tapi gadis itu terlihat enggan. “Tunggu... jelaskan padaku!” pekiknya tak terima. Bayangkan ada orang aneh yang mematainya sepanjang hari dan juga sudah mengetahui tempat tinggalnya. “Aku sibuk.” Samuel menutup pintu mobil dengan kasar. Zen yang ada di luar menghalangi Amelia agar tidak masuk lagi. “Zen... aku harus bicara dengannya.” Amelia berusaha untuk masuk lagi, tapi di cegah. Alrich yang melihat mereka dari jauh langsung mendekat. “Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menengahi mereka. “Kami harus pergi, lebih baik kau membawa Amelia masuk ke rumahnya.” Zen bergegas masuk ke dalam mobil, segera menjauh dari tempat itu. Amelia terus berteriak memanggil nama Samuel sampai tenggorokannya kering. “Sudahlah... lebih baik kita masuk,” ucap Alrich sambil menyentuh kedua pundak Amelia. “Tak bisa... aku masih punya banyak pertanyaan untuknya. Aku harus kembali ke rumahnya.” Amelia hendak pergi lagi, tapi langsung di peluk erat oleh Alrich. “Tenangkan dirimu, hari sudah sore. Lebih baik istirahat. Besok kita ada pekerjaan.” “Tapi, Al....” “Mel, aku mohon... masuklah ke dalam rumah. Aku perlu bicara padamu.” Dengan berat hati, Amelia mengiyakan permintaan Alrich. Mereka berjalan menuju ke apartemen. Sampai di depan rumah Amelia, Alrich menyelipkan anak rambut gadis itu. “Di masa depan, jika ada sesuatu hal apapun itu, beri tahu aku.” Melihat Amelia bersama pria lain, tentu ia akan cemburu. Apalagi dengan pria yang ada di dalam mobil itu. Meskipun parasnya tak begitu terlihat, tapi siluetnya membuktikan kalau dia benar-benar sangat tampan. “Aku mengerti.” Amelia membuka pintu rumahnya dan langsung menerjang sofa. Gadis itu sangat lelah sehingga malas untuk membersihkan diri. “Apa yang ingin kau bicarakan padaku?” “Besok kita langsung ke rumah Tuan Wilson. Aku sudah minta ijin kepada Rosa. Dia mengiyakan.” Semudah itu? Tak biasanya Rosa mentolelir kegiatan di luar kantor dengan mudah. “Berapa waktu yang kita butuhkan?” “Sehari..., jadi besok kau tak usah masuk kantor.” Alrich duduk di sofa dengan santai. Ini aneh. Bukankah menurut aturan jika bekerja di luar kantor sampai jam makan siang? Kenapa dia memberi kelonggaran? Amelia sedikit curiga dengan projek kali ini. Jadi di masa depan ia harus lebih hati-hati lagi. “Apa yang sudah kau ketahui tentang Tuan Wilson, Al?” “Menurut sumber terpercaya, Tuan Wilson menutup diri selama satu tahun. Alasannya juga belum di ketahui.” Sialan Rosa. Dia sengaja memintaku untuk bekerja seperti babi. “Apakah Dave tahu tentang projek ini?” “Tentu saja... dia bahkan menyetujuinya. Tapi, sepertinya dia tak tahu kalau kau yang turun tangan.” Ingin sekali Amelia protes, tapi Dave masih berada di luar kota. sayang sekali, ia tak bisa melakukan hal itu. “Kapan dia kembali?” Alrich diam. Segala pemikirannya tentang Amelia yang begitu mencintai Dave kembali muncul. Baru di tinggal sehari sudah rindu? Apakah rasa bertahun-tahun benar-benar hilang? Melihat respon Alrich, Amelia tertegun sejenak. “Jangan bilang kalau kau mengira aku ada cinta dengannya?” Raut wajah Alrich mudah sekali dibaca oleh gadis itu. “Kau salah paham.... aku hanya ingin mengadu tentang tunangannya. Aku ingin agar Rosa tak menganggu hidupku. Bayangkan, dari masalah Lee Sun dan projek baru lagi dia benar-benar berniat mengusirku dari perusahaan,” jelasnya panjang lebar. “Jadi, kau tak menyukainya?” “Tentu saja... kenapa aku menyukai orang dingin seperti dia. Tapi aku akan tetap profesional karena pekerjaan sudah dilimpahkan padaku!” Wajah Alrich menunjukkan kelegaan karena jawaban Amelia. “Tenang saja... aku pasti membantumu, Mel.” “Terimakasih.” Alrich adalah pria baik, seperti malaikat. Dia tak pernah bertindak kasar. Di setiap langkah Amelia, dia selalu berada di sampingnya. Entah itu membantu atau hanya menemani saja. Kau pria baik... sangat baik sampai aku pun ikut terhanyut oleh kebaikanmu. Amelia mengira kalau Alrich sama seperti Ken dan Dave. Pada kenyataannya, perasaan pria itu benar-benar tulus. Apa yang harus aku lakukan padamu? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD