Amelia mengelilingi rumah Tuan Wilson untuk mencari tempat pintu lain. Karena rumah cukup luas, gadis itu berkali-kali berhenti sejenak untuk menyeka keringat. Mata cantiknya berbinar saat melihat ada pintu berwarna merah maron yang sedikit terbuka.
Ketika hendak mendekat, pintu itu di tutup oleh seseorang dari dalam. Amelia bergegas menghampiri, tapi sayang pintu itu terkunci. “Kenapa harus sial seperti ini?” Dia tak ingin menyerah hanya karena di usir sekali.
“Pasti ada cara lain.” Mata Amelia melotot karena ada lubang anjing yang lumayan cukup besar. “Harga diriku harus runtuh demi pekerjaan.” Gadis itu jongkok, melihat seberapa besar lubang anjing itu. Apakah muat untuk tubuhnya? Jika tak muat, dia pasti tersangkut. Lucu juga kalau tersangkut.
“Cukup lebar,” katanya sambil berusaha masuk ke lubang itu. Karena tubuh Amelia ramping, jadi lubang anjing berukuran lima puluh meter cukup menampung dirinya. Untung saja diameternya juga lumayan lebar.
“Akhirnya berhasil masuk.” Amelia berkacak pinggang, senang karena bisa masuk ke dalam kawasan rumah Tuan Wilson meski lewat tempat tidak seharusnya. Iya mau bagaimana lagi, jika karena tak di usir, dia akan duduk manis sambil berbincang.
Amelia yang merasa senang tak menyadari jika di awasi oleh seekor anjing yang sedang mengeram. Ia meraba-raba tengkuk lehernya karena merasa ada yang aneh. Dengan perlahan, gadis itu menoleh ke samping. Ada seekor anjing herder hitam yang sedang mengawasinya dirinya.
“Oh tidak... aku bukan pencuri. Kau salah paham.” Amelia mengangkat kedua tangannya, berjalan menyamping beberapa langkah. Lucunya anjing itu juga menghampirinya sejumlah langkah yang dilakukannya.
“Stop... jangan mendekat... aku bukan pencuri.”
Anjing itu menggonggong cukup keras hingga membuat Amelia jatuh di tanah karena kaget. Meskipun ia pecinta hewan, tapi tetap saja karena jenis herder membuatnya takut. “Aku b-baik... aku baik.”
Anjing itu berjalan pelan, berhenti tepat di depan Amelia sekitar satu meter. Duduk manis sambil menjulurkan lidahnya. Gadis itu terlihat sangat lega karena si anjing jinak. “Aku hidup....”
Gadis itu pun bangkit perlahan, “Kau tetap di sana... jangan kemari. Jadilah anjing manis...,” katanya sambil mundur ke belakang, tak lupa tersenyum manis karena melihat anjing itu patuh. Setelah beberapa meter, baru Amelia lari kencang agar anjing itu tak membuntutinya. Sesekali, ia menoleh ke belakang dan senang karena hewan itu tetap diam di tempat. “Huh... akhirnya bisa terlepas dari hewan menyeramkan itu.”
Amelia mengedarkan seluruh pandangannya, kebingungan karena rumah yang di tempati Tuan Wilson cukup besar. Tak ada penjaga satu pun sehingga ia bisa bergerak hebat. Ketika hendak melanjutkan langkahnya, ada seorang pria yang sedang memakai kursi roda otomatis menuju ke gazebo tak jauh darinya.
Amelia perlahan mengikuti pria itu. “Masih muda... apakah dia anak Tuan Wilson.” Gadis tersebut masih mengira kalau Tuan Wilson adalah pria tua pensiunan yang kuno. Karena tak ada orang lain lagi, ia memutuskan untuk bertanya.
“Pria muda...” panggil Amelia sambil berdesis takut kalau ketahuan. Dahi Tuan Wilson berkerut karena mendengar suara orang asing. Dia langsung menoleh dan melihat Amelia yang berlari menuju ke arahnya.
“Jangan berteriak... aku hanya ingin tanya,” katanya sambil celingak-celinguk, persisi seperti maling hendak mencuri.
Amelia mendekat, “Apakah kau tahu di mana Tuan Wilson?”
“Kenapa kau mencarinya?” kata pria itu dengan wajah dingin.
Tampan, tapi sayang seperti gunung es. Ibarat membeku selama ratusan tahun. Sungguh menyebalkan.
Gadis itu tersenyum profesional. “Tentu saja karena menganggumi ya. Kau hendak mewawancarai beliau.”
“Dia sibuk,” jawabnya lagi dengan dingin. Amelia membungkuk, lalu jongkok tepat di sampingnya membuat Tuan Wilson kaget.
“Apa yang kau lakukan?” pekiknya terkejut.
“Kau muda, tapi galak. Jangan galak-galak nanti cepat tua.” Lihatlah wajah polos Amelia Tuan Wilson sedikit goyah. “Siapa namamu? Kelak kalau aku bertemu lagi denganmu akan aku ajak jalan-jalan.”
Tak mungkin dia tak tahu diriku. Aku adalah atlit nasional dan pembawa medali emas. Dia pasti pura-pura.
Melihat sang pemuda yang enggan memberitahu namanya. Amelia berinisiatif menjulurkan tangan. “Amelia Caroline.”
Tuan Wilson diam, tak menanggapi. Tapi Amelia tak kecewa justru dengan lancang mengangkat tangan pria itu untuk menyalaminya. “Kau!” desisnya kesal.
“Kita bertukar nama untuk berteman.” Wajah Amelia tak bisa di sanggah karena terlihat benar-benar tak mengetahui identitasnya.
Sepertinya menarik jika bermain peran dengan gadis ini.
“Erik,” jawab Erik cepat.
“Nama yang bagus...,” ucapnya sambil bangkit. “Nah...Erik, karena kita sudah saling kenal. Bisakah kau memberitahuku kemana Tuan Wilson pergi?”
“Dorong kursi ku roda ke sana,” tunjuk Erik ke arah Gazebo. “Aku akan memberitahumu.”
“Benarkah!" pekik Amelia kegirangan. Gadis itu langsung mendorong kuris roda milik Erik menuju ke gazebo tak jauh dari mereka. Setelah sampai, ia menagih janji. “Jadi, kemana Tuan Wilson pergi dan kapan akan kembali?”
“Kenapa kau bersikeras untuk mencarinya?”
“Aku kan sudah bilang, kalau aku hendak mewawancarainya. Apakah Tuan Wilson itu tampan atau sebenarnya dia sudah tua?”
Erik hendak marah, tapi di tahan karena Amelia sepertinya tak tahu mengenai dirinya. “Kau mengira Tuan Wilson itu tua!” suara itu terdengar mengeram seperti anjing.
“Bukankah atlit yang pensiun itu sudah tua?” Amelia duduk di samping Erik. “Pasti kau anaknya?” tanyanya sambil terus mengamati.
Dasar gadis konyol? Dimana dia tinggal sampai tak tahu mengenai diriku?
“Lupakan tentang Tuang Wilson. Kau masuk dari mana?” tanya Erik curiga. Besar kemungkinan jika pelayannya telah memasukkan Amelia kembali ke dalam rumah.
“Lubang anjing,” jawab Amelia jujur. Erik hendak tertawa, tapi di tahan.
“Jangan tertawa, karena aku tak punya pilihan lain.”
“Apakah kau tak di kejar anjing?” Tidak mungkin Nick membiarkan orang asing masuk begitu saja.
“Awalnya aku mengira di kejar, tapi ternyata tidak. Dia patuh, hanya saja wajahnya yang galak.” Amelia merasa Tuhan selalu memberkati sampai anjing pun tak bisa menggigit dirinya. Erik hendak bertanya lagi, tapi seorang pelayan datang menghampirinya.
“Kenapa Anda bisa datang kemari?” tanya pelayan itu. Erik mengangkat tangan, untuk membiarkan kejadian itu berlalu. “Maaf, Tuan. Ada orang yang ingin bertemu dengan Anda. Katanya karyawannya sedang berada di sini.” Sang pelayan melirik sekilas ke arah Amelia.
Mungkinkah Alrich... Karena terlalu buru-buru, aku tak sempat membaca berita mengenai Tuan Wilson.
“Aku tak ingin bertemu dengannya,” kata Erik sambil membuang muka.
“Mungkin itu temanku... aku akan menemuinya.” Amelia bangkit, tapi tangannya di cekal oleh Erik. “Kau tak bisa pergi dari sini.”
“Ada berkas yang harus aku ambil,” kata Amelia berusaha melepas tangan Erik.
“Jika kau pergi, kau tak akan bertemu dengan Tuan Wilson,” ancam Erik sambil menyeringai. Amelia salah bertemu dengan orang. Gadis itu menghela nafas panjang lalu duduk kembali dengan malas.
“Sambutan dari Tuan Wilson sangat tidak sopan, seperti rumor yang beredar.” Suara pria yang familiar di telinga Amelia membuat gadis itu bertanya-tanya.
Tidak mungkin! Pasti bukan Dave. Dave tak mungkin kembali secepat ini.
Baru semalam pria itu pergi, eh sudah kembali. Bukankah itu tak mungkin. Kata orang kantor butuh seminggu jika Dave ada urusan mendadak.
“Tuan Erik Wilson!” panggil Dave cukup jelas sehingga membuat Amelia terkejut. Sepertinya, dia harus segera kabur dari tempat ini. Gadis itu hendak bangkit, tapi Erik tanpa melihat menarik tangannya lagi.
“Sial... aku terjebak!” geramnya tertahan.
Bersambung