Bab 2

1037 Words
Manusia yang sudah ditakdirkan tiada, maka tak akan bisa hidup kembali. Seberapa keras manusia yang hidup memohon, maka tak akan bisa membangkitkan orang yang telah kembali ke rumah Tuhan. July dan Lian duduk berdampingan di tepi ranjang sambil menatap ke arah gorden yang terus bergerak. Hal yang berada di benak mereka adalah sebuah keajaiban untuk merubah semuanya. Namun selama satu jam pandnagan mereka tak lepas, keajaiban yang diharapkan tidak muncul sama sekali. Rasa kecewa mulai hinggap di hati keduanya. Harapan yang tadinya melambung tinggi diangkasa, mendadak turun ke bawah sampai dasar lautan. July saja sampai menghela nafas berulang kali. “Mimpi itu hanya bunga tidur. Jangan kau pikirkan, Lian.” Sejujurnya, July sendiri juga bingung dengan mimpi yang baru saja terjadi, tapi ia berusaha untuk tenang di depan Lian. “Pasti itu Ramon.” Harapan Lian sangat besar mengenai mimpi itu, “Dia ada di sini1” seru gadis itu dengan senang karena yakin bahwa keajaiban itu benar-benar ada. July tak tahu lagi harus membawa Lian untuk kembali seperti dulu. Kematian Ramon telah merubah hidup gadis itu secara drastis. “Orang yang sudah tiada, tak akan bangkit lagi. Jika dia meninggal lebih dulu, berarti Tuhan sayang padanya.” July menatap wajah sendu Lian yang mulai menunduk lalu memegang bahunya dengan pelan, “Kau harus melanjutkan hidupmu, Lian. Jangan terpuruk dalam kegelapan.” Tidak ada lagi yang mampu mengobati penyakit hati kecuali orang itu sendiri. July memilih bangkit, lalu meninggalkan gadis itu sendirian dalam ketermenungan. Setelah July pergi, Lian kembali menatap ke arah jendela dengan wajah kosongnya. Terlihat kesedihan tiada akhir yang terus menghantui kehidupan yang di tapaki. Jiwa dan raganya berhenti sekitar dua bulan yang lalu saat Ramon menghembuskan nafas terakhir. Jika keadilan ada, hal yang ingin dilakukan Lian adalah membagi umurnya dengan Ramon agar mereka bisa hidup bersama. Gadis itu kemudian bangkit, berjalan dengan perlahan ke arah jendela kaca. Bulir kristal bening yang sudah kering itu menetes kembali. Air mata selama dua bulan terus membasahi pipi yang kian tirus itu. “Jika aku mengkahiri hidupku untuk bertemu denganmu, apakah kau akan marah?” Pikiran sempit Lian mulai menggerogoti akal sehatnya. Hembusan angit kuat pun menerpa tubuhnya sampai rambut gadis itu berantakan. Lukisan dirinya dan Ramon yang di pajang di dinding jatuh seakan memberi peringatan kepada gadis itu. Lian menoleh, “Kau disini ‘kan...!” Ia berjalan dengan tangan gemetar untuk mendekat ke arah lukisan yang jatuh. “Aku tahu kau di sini...!” teriaknya dengan sangat keras sehingga membuat July masuk kembali ke kamarnya. “Ada apa?” tanya July dengan khawatir. Belum sempat ia turun tangga, suara teriakan Lian membuatnya berbalik arah kembali ke kamar. “July...!” panggil Lian dengan nada sedikit senang, “Ramon di sini...! Lihat!” tunjuk gadis itu ke arah lantai, “Lukisan itu jatuh.” Mendengar perkataan Lian, July semakin merasa sedih akan kondisi mental gadis itu. ia kemudian mendekat untuk menepis jarak diantara mereka. “Lukisan ini,” ucapnya sambil mengambil lukisan itu. “Aku akan menyimpannya. Termasuk semua foto yang berhubungan dengan Ramon.” Lian terbengong karena tak percaya dengan ucapan July. Ia kemudian berlari ke arah foto yang berada di atas nakas. “Kau tak boleh mengambilnya... ini milikku. Kenanganku bersama Ramon,” isaknya tertahan. ‘Aku sudah tahu kalau dia sudah tiada. Kau jangan mengambil benda berharga milikku.” Lian memeluk erat foto itu sambil menggelengkan kepala. “Sadarlah, Lian! Jangan terjebak di masa lalu!” teriak July dengan histeris agar Lian sadar dengan kehidupannya. Lian menangis dengan histeris, kemudian merosotkan tubuhnya ke lantai. Mungkin foto dan mimpi itu adalah pertanda bahwa Ramon marah padanya karena menyia-nyiakan kehidupan selama dua bulan. “Bisakah aku bangkit setelah Ramon pergi!” kata Lian dengan nada lirih, tapi di dengar oleh July. Ia langsung meneteskan air mata mendengar tutur kata gadis itu barusan. “Bisa! Aku akan membantu.” Mungkin butuh waktu lama untuk memperbaiki semuanya. Akan tetapi, July yakin kalau Lian bisa bangkit seperti sedia kala. Gadis itu mengampiri dengan cepat, lalu membantu untuk berdiri. “Kita bereskan semua barang yang berhubungan dengan Ramon. Mulai sekarang, kau harus melupakannya. Jadikan Ramon sebagai kenangan, Lian.” Sangat mudah ketika July mengatakan hal itu, tapi sejujurnya sungguh berat bagi Lian menjalaninya. “Jika aku berhenti di tengah jalan, kau harus mendorongku, July.” July langsung menggauk cepat, kemudian mulai menyimpan segala barang yang berhubungan dengan Lian. Ia sendiri juga menangis, sebab terpaksa melakukan hal ini. Semoga kau tak marah dan mau menerimanya, Ramon. Kalau sudah hati Lian membaik, aku akan memintanya untuk memajang foto kalian kembali,” batin July sambil meneteskan air mata. Walau bagaimanapun, mereka sangat dekat satu sama lain seperti saudara kandung. Mungkin karena tumbuh bersama di lingkungan yang sama. Ramon adalah sosok yang periang, ceria, dan baik hati. July dan Ramon adalah teman yang tumbuh bersama di panti asuhan. Dengan kerja keras mereka, keduanya berhasil mendirikan sebuah perusahan ternama di bidang penerbitan. Usaha yang dirintis dari nol, tentu membuahkan hasil. Dan hasil tersebut telah di berikan kepada Lian untuk di kelola. Seandainya Lian tahu akan hal itu, pasti rasa bersalah terus bersalang di dalam hatinya. Dia akan merasa tak panta smendapatkan jerih payah yang di bangun oleh Ramon. “Kau duduk saja...! aku yang akan memasukan semuanya ke dalam kardus.” July mengambil kardus di atas lemari dan memasukkan barang-barang yang berkaitan dengan Ramon satu persatu. “Setelah ini, aku akan mempersiapkan makanan kesukaanmu,” kata July sambil tersenyum. Matamya melirik ke arah Lian yang terus memandanginya. “Lian...,” panggil gadis itu dengan lembut. “Aku ingin pergi ke makam Ramon.” Setelah Ramon di kebumikan, Lian sama sekali tak pernah datang untuk menjenguknya. Ia selalu mengira bahwa yang di lalui hanyalah mimpi buruk belaka. “Kau yakin akan hal itu.” Nada tak percaya jelas keluar dari mulut July. “Aku harus bangun dari tidurku yang panjang, July. Satu-satunya cara adalah menerima kenyataan yang ada.” Lian sudah mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya. Tidak ada salahnya jika bangkit untuk memulai hidup baru. “Bagus... aku setuju. Aku akan cepat-cepat memberekan semuanya.” July dengan semangat segera menyelesaikan pekerjaannya, setelah itu ia berlari membawa kardus itu keluar kamar. Lian yang awalnya sedikit tersenyum mendadak kembali suram. Sejauh ia mencoba untuk memperbaiki hidupnya, maka langkah yang ditempuh tak ada pergerakan sama sekali. Sebenarnya, Lian tak ingin terjebak dalam kondisi seperti ini, tapi keinginannya kalah dengan kesedihan yang tiada ujung. “Bantu aku, Ramon. Bantu aku agar bisa berjalan kembali tanpa dirimu. Maukah kau membantuku?” gumam Lian lirih sambil tersenyum di iringi dengan tetesan air mata yang terus mengalir. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD