12 - Tak Sesuai Harapan 2

1686 Words
“Ken, kamu nggak senang sama kehamilanku?” Kenan mengusap wajahnya kasar. Lelaki itu tampak lelah dan frustrasi. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Ivy. “Bukan gitu. Tapi ini terlalu dadakan, Vy.” “Apanya yang dadakan? Bukannya kita juga udah nikah selama tiga bulan? Dan selama itu semua ngalir begitu saja, kan? Kita bahkan nggak ada pembicaraan buat menunda soal anak. Jadi aku rasa-” “Vy, kamu sadar nggak, sih? Timing-nya tuh nggak tepat. Tisa baru saja kehilangan orangtuanya. Sekarang kita apa? Mau kasih tahu dunia kalau kita punya berita bahagia saat Tisa sedang berduka?” potong Kenan. Ivy terperanjat. Perkataan Kenan berhasil menusuk relung hatinya. Kenapa seolah kehamilannya dipandang sebagai sesuatu yang salah bagi Kenan? “Ken …” “Kita memang nggak pernah bahas buat nunda punya momongan. Tapi aku pikir juga nggak akan secepat ini,” lanjut Kenan. Bibir Ivy bergetar. Hatinya terluka bukan main. Jadi, ternyata hanya dia yang bahagia dengan berita itu? Cuma dia yang menyambut buah hatinya dengan suka cita? Dia menyentuh perutnya dengan tangan yang bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca seperti menahan tangis. “Dia anugerah yang Tuhan kirimkan buat kita loh, Ken. Pasangan mana sih yang nggak bahagia kalau mau dikasih momongan? Lagi pula, bukankah kita saling mencintai? Kita memang bersama buat jadi keluarga yang utuh, kan? Itu kan alasan kamu nikahin aku? Tapi kenapa sekarang kamu seperti ini?” Kenan yang tampak capek memilih berjalan melewati Ivy. Ia duduk di kasur sambil kembali mengusap wajahnya frustrasi. “Soal orang-orang, kita nggak harus kasih tahu mereka sekarang, kok. Kita bisa simpan berita ini dulu buat sementara waktu. Aku juga nggak mau bahagia di atas penderitaan Tisa. Tapi-” “Bagus kalau kamu sadar,” ujar Kenan sengit. Ia menoleh ke arah Ivy dengan tatapan tidak suka. “Buat sementara, lebih baik kamu simpan dulu berita kehamilanmu ini dari orang lain, termasuk keluargaku dan Tisa. Momennya nggak tepat, Vy.” “Iya. Terserah kamu,” balas Ivy. Ia pun juga merasa lelah. Ia tidak tahu apa yang harus ia jelaskan pada Kenan. Ini bahkan bukan kesalahannya, kan? Kenapa ia harus menjelaskan pada Kenan? “Harusnya kamu dulu bilang aja semisal belum siap dengan semua ini. Aku nggak keberatan buat minum pil KB kok, andai kamu mengatakannya lebih awal. Sekarang, anak ini sudah ada. Aku cuma berharap, kamu bisa berlaku sebagaimana layaknya ayah padanya ketika ia sudah lahir nanti,” pungkas Ivy, sebelum ia beranjak pergi dari kamar. Hatinya sungguh-sungguh sakit. Ia meluapkan tangisnya di toilet yang ada di lantai bawah. Ia menangis tersedu-sedu, membungkam mulutnya agar tak menimbulkan kecurigaan Kenan jika lelaki itu turun sewaktu-waktu. Sebagai seorang istri, Ivy merasa seolah dirinya tak diinginkan oleh sang suami. Ternyata, pernikahan yang ia pikir tiga bulan ini berjalan sebagaimana semestinya, tidak seindah yang ia pikir. *** “Hari ini aku nggak berangkat kerja. Aku masih mau menemani Tisa. Mungkin sore nanti dia akan kembali ke sini sama Oma. Kamu, gimana?” Ivy mendongak sebentar untuk membalas tatapan suaminya. Setelahnya, ia kembali menatap sepiring nasi dan sepotong ikan di atas piringnya. “Gimana apanya? Ya aku kerja seperti biasa. Terus besok baru siangnya libur, karena jadwal dinas malam dua kali.” Kenan menghela napas panjang, seolah kurang puas dengan jawaban sang istri. “Kamu tahu kamu hamil. Dan kamu juga tahu kalau kita akan keep berita ini dulu buat sementara waktu, yang artinya kita cuma punya satu sama lain buat jagain dia. Tapi kamu masih mau keras kepala bertahan dengan pekerjaan kamu itu? Terlebih, malah mau ambil shift malam?” “Serius kita mau bicarain hal ini? Ken, bukannya semua udah clear, ya? Kita sepakat, kan? Aku akan tetap bekerja sebagaimana mestinya. Dan soal shift malam, itu kan memang sudah ada jadwalnya. Kamu sendiri juga tahu, kan, tiap satu hingga dua kali dalam sebulan aku bakal kebagian shift malam?” bingung Ivy. “Tapi sekarang keadaannya beda, Vy. Kamu lagi hamil.” “Aku akan baik-baik aja, Ken. Udah biasa kok ada perawat yang hamil dan mereka tetap kerja. Lagi pula, kerjaanku nggak berat-berat amat. Kan ada perawat lain juga, aku nggak sendirian,” terang Ivy. Kenan mengangkat kedua bahunya, seolah malas berdebat lebih panjang dengan Ivy. Sementara Ivy, ia mulai merasa terganggu dengan Kenan yang dulunya tak pernah mengomentari soal pekerjaannya - bahkan meski Oma Ratu selalu mempermasalahkannya - kini justru berbalik mulai memberi tanda-tanda jika ia ingin Ivy berhenti bekerja. “Aku sudah selesai. Nanti tinggal aja piring-piring kotornya di situ. Aku udah bayar orang mahal-mahal buat bersihin, jadi jangan sampai uangku jadi gaji buta buat mereka,” ucap Kenan, sebelum beranjak pergi ke kamar. Lelaki itu harus mengganti pakaiannya sebelum mengantar Ivy bekerja dan langsung menuju ke rumah Tisa. Ivy pikir, hubungannya dan Kenan yang sempat merenggang akan kembali hangat setelah Kenan tahu kehamilannya. Namun, yang terjadi justru kebalikannya. Ia dan Kenan semakin menjauh. Kenan semakin menunjukkan rasa tidak nyamannya saat ada di dekat Ivy. Dan itu membuat Ivy merasa ingin kembali menangis, meski sayang harus ia tahan karena ia masih harus fokus bekerja. “Semangat, Vy! Kenan pasti begitu karena lagi berduka aja. Biar bagaimana pun, dia kan dekat sekali dengan keluarga Tisa. Jadi, dia pasti juga sangat sedih kehilangan mereka,” gumam Ivy, berusaha menyemangati dirinya sendiri. Shift Ivy selesai pada pukul dua siang. Ia baru mengecek ponselnya setelah semua pekerjaannya selesai. Dan ia baru tahu kalau Kenan telah membalas chat yang ia kirim saat istirahat makan siang tadi. “Aku masih di rumah Tisa. Mungkin sekitar jam empat nanti baru pulang, sekalian bawa Tisa dan Oma. Jam dua nanti aku pesankan taksi online aja, ya!” “Hati-hati di jalan.” Benar kan pikiran Ivy? Ia bukan lagi prioritas. Kenan yang sekarang sudah benar-benar berubah. Ia tak masalah dengan Kenan yang masih menemani Tisa di tengah duka yang merundung gadis itu. Sebab Ivy pun tahu sakitnya kehilangan orang yang sangat ia kasihi. Namun, kenapa Kenan seolah semakin memperjelas jika Ivy bukan lagi sesuatu yang penting untuknya? “Bengong mulu. Keluar sekarang aja, yuk! Suami kamu udah jemput belum, Vy?” tanya Rara. Mereka memang sering satu shift. “Kenan lagi ada urusan. Jadi aku naik taksi online habis ini. Dia yang pesenin,” jawab Ivy seadanya. “Pantes langsung cemberut gitu. Ya udah sih, Vy, lagian wajar. Suami kamu juga kan memang orang sibuk. Tapi kalau boleh saran, nih, mending kamu belajar nyetir aja deh biar enak kalau pulang-pergi kerja!” usul Rara. Jika Ivy pikir-pikir, sepertinya saran dari Rara bukanlah sesuatu yang buruk. Tabungan pribadi Ivy sudah lebih dari cukup untuk membeli mobil walau hanya second. Namun, daripada terus bergantung pada Kenan, sepertinya memang ada baiknya Ivy mempelajari hal yang memang sangat ia butuhkan tersebut. “Iya deh. Kalau ada waktu, nanti aku coba bicarain sama Kenan. Kayaknya tabunganku juga cukup kalau cuma buat beli mobil second.” “Nggak second juga bisa kali, Vy. Tinggal minta, kayaknya bagi Kenan juga harga mobil baru nggak ada apa-apanya,” kata Rara. “Nggak ah. Lagian ini kan kebutuhan pribadi aku. Dan harga mobil nggak semurah itu sampai aku bisa minta-minta seenaknya sama dia,” balas Ivy. “Lah, orang sama suami sendiri,” heran Rara. “Tetap big no, Ra. Kalau memang aku butuh banget dan aku belum mampu beli sih, sesekali nggak apa-apa, ya. Tapi aku pikir ini bukan hal yang urgent banget. Dan uangku sendiri juga masih cukup. Jadi bisa lah, sekalian buat cantelan aset pribadi.” “Itung-itung hadiah, Vy … nggak apa-apa kali. Mobil bukan sesuatu yang mahal buat Kenan. Dia pasti juga senang kan kamu hamil? Atau kamu malah udah dikasih hadiah, makanya kamu nggak enak mau minta mobil sama dia?” Mendadak, pikiran Ivy blank. Ia termenung menatap lurus ke depan dengan tatapan mata kosong. Ia kembali kepikiran dengan reaksi Kenan kemarin yang sungguh membuatnya sangat kecewa. Jangankan hadiah. Bahkan, tersenyum dan mengucap terima kasih saja Kenan tak melakukannya. “Ssshh … Vy? Kok malah bengong? Kenapa, sih? Kalian lagi ada masalah? Dari tadi kayak nggak mood gitu tiap aku bahas Kenan,” heran Rara. Rara adalah salah satu saksi kisah cinta Ivy dengan Kenan sejak awal. Persahabatan Ivy dengan Rara sudah berlangsung jauh sebelum Ivy bertemu dengan Kenan. Dan Rara adalah orang pertama yang selalu Ivy beri tahu setiap kali ada progres pada hubungannya dengan Kenan. “Kenan kayaknya nggak senang sama kehamilanku deh, Ra,” ucap Ivy. Tawa Rara pecah seketika. “Emang deh. Orang hamil muda sensi amat. Kenan habis ngapain, sih sampai kamu bisa mikir gitu? Nggak mau bikinin s**u ibu hamil? Atau nggak mau ngusap perut kamu pas malam?” goda Rara. Ucapan Ivy barusan terdengar bak lelucon bagi Rara. Sebab dia adalah salah satu orang yang paling tahu betapa besar cinta Kenan untuk Ivy. Jadi, ia pikir tidak mungkin ucapan Ivy barusan merupakan sebuah fakta. Namun, wajah sendu Ivy membuat ia ragu dengan pemikirannya tersebut. Ia menarik Ivy menjauh dari sana, mencari tempat yang lebih sepi untuk bicara. “Vy, kamu serius? Emang reaksi Kenan gimana, kok kamu bisa sampai nyimpulin begitu?” tanyanya mulai serius. “Dia setuju waktu aku bilang nggak ada niatan buat nunda. Tapi dia juga bilang, nggak berekspektasi semua bakal terjadi secepat ini. Dari ucapannya, seakan dia belum siap dan bagi dia timing-nya nggak pas,” terang Ivy. “Kamu serius Kenan ngomong gitu?” “Oke, gini, Ra. Sebenarnya, saat ini kami sedang berduka. Kerabat Kenan ada yang habis menjadi korban kecelakaan pesawat. Mereka orangtua dari sahabatnya Kenan. Jadi, sekarang perempuan itu sedang sangat terguncang dan Kenan merasa nggak etis kalau kami membagikan berita kehamilanku ini sekarang. Dan-” “Tunggu! Perempuan?” potong Rara cepat. “Iya. Sahabat Kenan sejak kecil dan beberapa waktu ini dia tinggal sama kami. Orangtuanya mengalami kecelakaan pesawat, jadi korban. Dan saat ini Kenan sepertinya masih ingin fokus memulihkan mental perempuan itu,” jelas Ivy. “Vy, kamu nggak apa-apa sama semua itu? Serius kamu nggak pengen jambak suami kamu kalau benar alasan Kenan nggak senang sama kehamilan kamu karena masalah cewek lain?” Pertanyaan itu berputar di kepala Ivy. Jadi, sebenarnya dia berhak untuk marah? Ia memiliki hak untuk keberatan dengan semua alasan yang Kenan lontarkan kemarin?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD