Begitu sampai di kediaman keluarga Tisa, Ivy menyalami kedua mertuanya yang sudah lebih dulu tiba di sana, serta Oma Ratu yang tak pernah meninggalkan Tisa walau hanya sebentar saja.
“Vy, kata Kenan kamu sakit?” tanya Papa Fadel - ayah Kenan.
Ivy tersenyum, “enggak kok, Pa. Kemarin cuma sempat kecapekan aja jadi kelihatan kurang bugar.”
“Padahal nggak apa-apa kamu nggak usah ke sini. Tisa juga pasti ngerti. Kalau lagi sakit, lain kali nggak usah dipaksain. Istirahat aja di rumah, ya!” imbuh Papa Fadel.
“Papa kayak nggak tahu Ivy aja. Dia kalau udah ada kemauan ya begini, Pa. Padahal kemarin sampai drop dan nggak Kenan bolehin kerja,” sambung Kenan yang masih berada di antara mereka.
“Namanya wanita karir kalau disuruh di rumah aja ya pasti bosan, Ken. Nggak betah. Walau sakit juga pasti akan maksain buat kerja. Iya, kan, Vy?” timpal seorang perempuan yang baru saja bergabung dengan mereka.
Ivy baru sadar jika selepas kedatangan mereka, beberapa mobil juga turut masuk ke pekarangan rumah duka. Dan salah satunya adalah mobil milik om suaminya - Om Arsen dan istrinya yang bernama Nana.
“Kamu kuat-kuatin Tisa gih, Ken! Kasihan dia kelihatan terpukul banget. Mama dengar, kemarin baru aja orangtuanya ngabarin kalau mau balik ke ini dan Tisa udah antusias banget. Mama ngerti gimana hancurnya dia sekarang,” sambung Mama Alya.
Kenan menatap Ivy sebentar, seolah merasa harus memastikan sekali lagi bahwa wanita itu sedang baik-baik saja apabila akan ia tinggal.
“Ivy biar sama Tante. Vy, duduk di sana, yuk!” ajak Tante Nana.
Ivy mengangguk. Ia membalas tatapan Kenan sebentar sebelum akhirnya mengikuti Tante Nana yang mengajaknya duduk di dua kursi yang bersebelahan. Setelah duduk, tatapan Ivy langsung mencari keberadaan suaminya. Dan seperti yang ia duga, Tisa pasti akan langsung menempel pada Kenan sesaat setelah gadis itu menyadari atensi Kenan.
‘Nggak. Kamu nggak boleh cemburu, Vy. Biar bagaimana pun Tisa sedang sangat berduka. Wajar kalau dia butuh seseorang yang sangat ia percaya seperti Kenan,’ batin Ivy.
“Vy, ini minum dulu!” ucap Tante Nana, membuyarkan lamunan Ivy.
Ivy pun menerima segelas air yang disodorkan oleh Tante Nana kemudian meneguknya setengah, sebelum meletakkannya di atas meja.
“Kamu apa kabar? Lama nggak ketemu, ya? Padahal kita sama-sama tinggal di Jakarta. Sesekali main lah, Vy, ke tempat Tante! Ajak Kenan juga! Tante ini kan nggak punya anak cowok, jadi Kenan udah Tante anggap seperti anak sendiri. Kadang Tante kangen juga sama kalian,” ucap Tante Nana.
Sejenak, Ivy bisa mengalihkan perhatiannya dari sang suami yang kini sedang sibuk menenangkan Tisa.
“Iya, Tante. Akhir-akhir ini memang lagi banyak kerjaan aja Ivy sama Kenan. Jadi, jangankan buat berkunjung ke saudara. Makan berdua di luar aja susah cari waktunya karena jadwal kami yang benturan terus,” balas Ivy. Tak bermaksud mengadu, Ivy hanya butuh alasan yang meyakinkan untuk membalas undangan Tante Nana.
“Kalian ini kan itungannya masih pengantin baru. Ambilah jeda sebentar dari kerjaan buat fokus ke satu sama lain. Memang, kalian juga belum ada program yang mengarah ke keturunan?” tanya Tante Nana. “Maaf ya, Vy, bukan maksud Tante mau ikut campur. Cuma sebagai wanita, Tante ngerti kok, namanya masih pengantin baru tuh pasti lagi pengen disayang-sayang terus sama suami. Apalagi kalian belum ada anak. Jadi pikiran kamu pasti sepenuhnya tertuju ke Kenan terus juga, kan?”
Ivy tersenyum, tak bisa menutupi rasa malunya. Dibanding dengan mertuanya, Ivy memang lebih dekat dengan Tante Nana yang merupakan istri dari Om Arsen. Sebab, mertua Ivy lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja. Mereka sering bepergian ke luar negeri dan jarang berada di rumah mereka yang sebenarnya masih satu kawasan dengan kediamannya. Sedangkan Tante Nana yang menggeluti pekerjaan di dunia fashion itu memiliki kantor utama di Jakarta, dan Om Arsen sendiri merupakan seorang dokter spesialis di sebuah rumah sakit sehingga keduanya termasuk jarang bepergian keluar kota untuk urusan bisnis.
“Nggak apa-apa, kok, Tan. Iya, sih, kadang Ivy juga ngerasa pengen ada waktu lebih sama Kenan. Tapi kayaknya memang susah atur waktunya,” balas Ivy.
“Oma … gimana?”
Ivy mengernyitkan alisnya saat tiba-tiba Tante Nana menyebut Oma Ratu dalam pembicaraan mereka.
“Kamu nyaman dengan Oma yang tinggal bareng kalian? Maaf ya, Vy, harusnya kami sebagai keluarga bisa kasih ruang lebih buat kalian menikmati kebersamaan kalian. Tapi, kamu tahu sendiri, kan? Oma sendiri yang kekeuh mau tinggal sama Kenan. Soalnya memang dari dulu, bisa dibilang yang ngurus Kenan tuh Oma. Jadi Oma memang sesayang itu sama Kenan,” terang Tante Nana.
Ivy menggeleng. “Nggak apa-apa kok, Tan. Ivy nggak keberatan soal Oma yang tinggal bareng kami.”
Padahal Tante Nana tahu bagaimana sikap Oma Ratu pada Ivy. Ibu mertuanya itu memang sangat sayang dan baik padanya. Namun, tidak pada Ivy yang berasal dari keluarga sederhana. Terlebih, sudah sejak lama Oma Ratu mengharapkan Tisa menjadi cucu menantunya. Sehingga saat awal Kenan memperkenalkan ivy, Oma Ratu langsung terang-terangan melontarkan penolakannya.
Tante Nana menghela napas panjang. Ia tahu, istri dari keponakannya itu sedang berbohong. Wanita muda yang duduk di hadapannya itu tampak lelah dan stres - tak seperti pengantin baru pada umumnya. Kalau bukan Oma Ratu penyebabnya, lantas apa lagi? Mengingat Tante Nana juga tahu sendiri bagaimana cintanya Kenan pada sang istri - tak mungkin bila Ivy tampak menderita seperti ini karena sosok Kenan.
Menyadari tatapan Ivy sering kali mengarah ke arah lain, Tante Nana pun mencari tahu apa yang sebenarnya mengganggu wanita di sampingnya itu. Dan, dugaannya benar. “Oma masih belum bisa move on, ya?”
“Maksud Tante?”
“Soal Tisa. Tante baru tahu Tisa kembali ke Jakarta tadi pagi pas mendengar soal berita duka ini. Dan yang Tante khawatirkan hanya satu. Oma kembali mendekatkan Kenan sama Tisa,” ucap Tante Nana.
Ivy menghela napas panjang, seolah ada sesuatu yang sangat berat dari dalam dirinya nyaris keluar.
“Ada apa?” tanya Tante Nana penuh selidik. “Apa Oma Ratu sudah berbuat sesuatu yang ada kaitannya dengan hubungan kamu dan Kenan?”
Ivy tersenyum miris. Ia menggeleng, masih berusaha untuk menutupi soal keresahannya. Ia merasa tidak layak mempermasalahkan tentang keberadaan Tisa di antara dirinya dan Kenan. Memang ia siapa? Ivy merasa, dirinya hanyalah orang baru yang tidak tahu apa-apa soal masa lalu Kenan dan Tisa.
“Tante tahu kamu lagi nyembunyiin sesuatu. Ada apa, Vy? Pasti ada yang lagi mengganjal di pikiran kamu saat ini, kan?” selidik Tante Nana.
Ivy berbalik menghadap Tante Nana dengan tatapan sendu. “Tan, salah nggak sih semisal Ivy keberatan kalau Tisa tinggal bersama kami?”
“Maksud kamu? Oma bermaksud ngajak Tisa tinggal bareng kalian juga setelah ini?”
Ivy menggeleng. “Dia sudah tinggal bersama kami sejak beberapa hari yang lalu. Oma yang minta. Aku-”
“Apa?!”
***
Malam kian larut. Ivy sedang termenung di sudut tempat tidurnya sambil memperhatikan sebuah surat dari rumah sakit yang menyatakan bahwa dirinya sedang mengandung. Ia sangat bahagia setiap kali membaca surat itu. Bahkan kini, sebelah tangannya mengusap lembut perut datarnya.
“Mama senang kamu ada di sini, Sayang. Makasih sudah memilih Mama buat jadi ibu kamu. Tapi kenapa rasanya sangat sulit untuk berbagi kebahagiaan ini ke papa kamu ya, Nak? Mama sudah sangat tidak sabar pengen Papa tahu soal kamu. Tapi Mama seakan nggak pernah punya kesempatan untuk ngasih tahu Papa soal kamu,” ucap Ivy.
Lalu, pupil matanya membesar saat mendengar suara pintu dibuka. Sejak tadi, ia terlalu sibuk melamun sampai tidak sadar bahwa ada seseorang yang masuk ke rumahnya. Dan kini, orang itu sudah tepat berdiri di hadapan Ivy - hanya berjarak sekitar dua meter dari tempat Ivy berada.
Ivy gugup seketika. Ia sampai meremat surat di tangannya dan berupaya menyembunyikannya secepatnya. Namun …
“Apa itu?”
Ivy menelan salivanya kasar. Ia seolah lupa caranya bernapas hingga tubuhnya terasa kaku. Perlahan, surat itu berpindah tangan darinya. Ia membiarkan lelaki yang baru saja masuk ke kamarnya itu untuk melihat apa yang tertulis di surat itu.
Selang beberapa detik, pria itu kembali menatap Ivy. Dan Ivy blank, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Namun, ia memaksakan senyumnya. Sepertinya memang ia harus mengalah, mengikhlaskan keinginannya untuk memberi tahu Kenan tentang kehamilannya dengan cara yang spesial. Kini, ia sudah tak bisa mengelak lagi.
“Vy?”
“Selamat, sebentar lagi kamu akan jadi seorang ayah,” ucap Ivy malu-malu, sampai pipinya memerah akibat merona.
Kenan masih berdiri kaku di hadapan Ivy. Lelaki itu tampak begitu terkejut dan belum menyiapkan diri untuk berita besar yang baru saja Ivy sampaikan itu.
Senyum Ivy masih tak luntur dari bibirnya. Bahkan memikirkannya sendiri saja, ia selalu merasa bahagia. Apalagi saat kini ia akhirnya bisa menyampaikan berita itu pada Kenan.
“Ken, kamu pasti senang, kan?” tanya Ivy antusias.
“Kenapa mendadak seperti ini?”
Akhirnya, secara perlahan senyum manis itu memudar kala Ivy merasa adanya yang janggal dari respons Kenan. Lelaki itu bukannya tampak bahagia, justru seperti orang terganggu mendengar berita yang Ivy sampaikan.
“Ken, kamu nggak senang sama kehamilanku?” tanyanya dengan hati menahan kekecewaan yang lebih besar dari kekecewaan-kekecewaan yang sebelumnya selama ia menjadi istri Kenan.
Apa Ivy berharap terlalu jauh? Apakah salah jika ia menduga Kenan akan bahagia dengan kabar kehamilannya itu?
Kenapa respons Kenan justru seperti ini? Bukankah Kenan juga mencintainya dan pernikahan mereka berjalan baik-baik saja selama ini?