Satu-satunya orang yang bisa Ivy andalkan untuk lepas dari permasalahan rumah tangganya hanyalah Tante Nana. Hanya Tante Nana yang bisa membantunya memikirkan cara untuk membatasi pengaruh Oma Ratu di kehidupan rumah tangga Ivy dengan Kenan.
Pasca dua hari dinas malam, Ivy mendapat jatah libur selama satu hari. Tidak mungkin ia akan nyaman berada di rumah bersama Oma Ratu dan Tisa. Jadi, ia berusaha mencari alasan untuk keluar.
“Ken, aku mau ke rumah Tante Nana, ya! Nanti bareng kamu. Sampai depan aja nggak apa-apa. Sisanya biar aku naik taksi,” pinta Ivy, setelah ia membantu Kenan menyiapkan barang-barang Kenan yang tertinggal. Laki-laki itu baru saja pulang untuk mengambil beberapa barang kantornya yang ketinggalan. Bertepatan dengan itu, Ivy baru saja selesai mandi, setelah ia pulang dari dinas malamnya.
“Sendiri? Mau ngapain?” tanya Kenan.
“Main aja. Pas di rumah Tisa kemarin aku ngobrol sama Tante Nana. Dan Tante Nana minta buat kita serang-sering mampir. Jadi, mumpung aku turun dinas, mau ke sana,” terang Ivy.
Kenan menghela napas panjang. “Terus kenapa harus bareng aku dan nanti di depan mau pakai taksi?”
“Ya nggak apa-apa. Kan searah makanya-”
“Bukannya karena kamu nggak mau dilarang sama Oma?” tebak Kenan. “Lagian mau ngapain kamu ke rumah Tante Nana sendirian? Kamu nggak berencana buat memberi tahu dia tentang kehamilanmu, kan?” Kenan seolah sudah hafal dengan bagaimana dekatnya Ivy dengan istri omnya tersebut,
“Kamu tenang aja. Soal kehamilanku, aku masih sanggup kok buat merahasiakannya. Aku akan tetap menjaga janjiku,” tegas Ivy.
“Oke, boleh,” jawab Kenan pada akhirnya.
Ivy dan Kenan berpapasan dengan Tisa saat mereka baru saja sampai di anak tangga paling bawah.
“Mbak mau ke mana hari ini? Aku pikir Mbak libur,” tanya Tisa.
“Dia mau ikut ke kantor. Aku mau tunjukin sesuatu ke dia,” kata Kenan menyela.
Tisa akhirnya hanya bisa mengangguk jika sudah Kenan yang ambil alih menjawab. Setelah itu, Ivy dan Kenan pun berpamitan untuk pergi.
Ivy merasa asing dengan suasana hening di mobil seperti ini. Memang, sejak kejadian beberapa hari lalu di mana Kenan membuatnya kecewa, Ivy jadi lebih membatasi interaksinya dengan Kenan. Ia berusaha untuk bersikap biasa saja. Namun, hatinya yang tidak sanggup karena ia akan kembali teringat ucapan Kenan waktu itu ketika mendengar suaranya.
“Ken, berhenti di dekat halte itu aja, ya! Soalnya ini mendung. Biar kalau sewaktu-waktu hujan dan taksinya belum datang, aku bisa berteduh,” pinta Ivy.
Kenan tak menyahuti. Namun, pria itu tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti saat mereka sudah akan tiba di halte yang Ivy maksud.
“Ken?” bingung Ivy.
Dan benar saja. Mereka melewati halte tersebut tanpa berhenti. Ivy memutar tubuhnya menghadap ke arah Kenan. “Ken, kamu dengar aku, kan? Aku minta kamu buat turunin aku di halte tadi aja.”
“Kamu tahu ini mendung, kan? Kalau sewaktu-waktu hujan gimana?” Kenan balik bertanya.
“Ya kan aku bisa berteduh di halte itu,” jawab Ivy seadanya. Karena memang seperti itulah kira-kira rencananya.
“Tetap saja kamu bakal kedinginan.”
“Tapi aku mau ke rumah Tante Nana. Kamu tadi juga sudah setuju, kan?” ujar Ivy.
“Iya. Tapi biar aku antar saja, daripada kamu kenapa-kenapa di jalan,” kata Kenan.
Ivy kembali menoleh, kali ini hanya sekilas sebelum ia kembali fokus ke jalanan di hadapan mereka.
Peduli.
Ivy mengartikan niat baik Kenan tersebut sebagai bentu kepedulian. Namun, tetap saja hatinya tidak merasa puas. Kenan masih belum meminta maaf atas ucapannya kemarin. Itu artinya, Kenan belum tentu sadar kalau dirinya salah mengatakan hal-hal menyakitkan seperti kemarin.
Ivy menghela napas gusar. Perasaannya menjadi tidak nyaman. Belum lagi, perutnya yang tiba-tiba bergejolak.
“Kamu keberatan aku mengantarmu ke rumah Tante Nana sama Om Arsen?” tanya Kenan.
Ivy menggeleng. “Nggak, bukan itu. Aku cuma tiba-tiba ngerasa nggak nyaman aja,” jawab Ivy seadanya.
Kenan langsung mencari tempat untuk meminggirkan mobilnya. Setelah itu, Kenan fokus pada Ivy yang tampak berkeringat. “Ada yang sakit?”
“Enggak, Ken. Serius aku nggak apa-apa,” jawab Ivy.
“Kalau sakit, bilang, Vy! Jangan ditahan sendirian. Apa kita ke rumah sakit dulu aja? Aku akan temani kamu. Nanti kalau kamu udah mendingan dan masih mau ke rumah Tante Nana, biar aku yang bilangin. Giamana?” tawar Kenan pada Ivy.
“Aku nggak apa-apa dan aku nggak lagi butuh ke rumah sakit. Bosan juga tahu, Ken, tiap hari di rumah sakit. Masa waktunya libur gini juga malah mau kamu ajak ke sana?” tegas Ivy.
Kenan tampak lelah menghadapi Ivy yang menurutnya terlalu keras kepala. Akhirnya, ia pun mengalah dan segera membawa Ivy ke kediaman omdan tantenya tersebut.
***
“Kayaknya Tante memang harus sering-sering nemuin kamu juga,” kata Tante Nana. Ivy mengangguk. Ia sangat tidak keberatan dengan ide tersebut. Dan kini, ia berterima kasih pada Tante Nana yang ternyata sudi mengantarnya pulang setelah hampir sehari penuh mereka mengobrol bersama di rumah wanita yang merupakan istri om Kenan tersebut.
“Nana? Kamu kok nggak bilang bakalan dateng? Tahu gitu tadi Mama siapin makanan dulu buat kamu. Kangen tahu, lama kamu nggak kunjungin Mama di sini,” kaget Oma Ratu, menyambut kedatangan menantu perempuannya tersebut.
“Mama bisa aja. Lagiankan rumah aku juga nggak sejauh itu, Ma. Kalau Mama kangen, Mama dong yang datang ke rumah Nana!” balas Tante Nana.
Oma Ratu langsung mengapit lengan Nana dan mengajaknya duduk di sofa. “Gimana gimana? Apa kabar? Arsen nggak ikut? Dia masih sok sibuk gitu terus sama pekerjaannya?”
Tante Nana terkekeh. “Baik, kabar Nana juga lagi baik-baik aja, Ma. Mama gimana?”
“Mama baik. Apalagi setelah Tisa tinggal di sini. Mama jadi ada temannya. Rasanya udah lama Mama nggak punya teman di rumah. Biasanya Mama selalu merasa kesepian. Eh … sekarang ada Tisa,” jawab Oma Ratu sambil membanggakan Tisa.
“Oh … Tisa tinggal di sini juga?”
“Iya. Kan kasihan dia kalau tinggal sendiri. Apalagi kerjaannya juga nggak yang harus pergi-pergi setiap hari. Jadi, pasti bosan juga kalau cuma tinggal sendiri. Makanya Mama ajakin aja tinggal di sini,” terang Oma Ratu.
Tante Nana mengangguk-anggukkan kepalanya. Tak lama, Tisa datang membawa tiga gelas jus yang kemudian ia letakkan di meja.
“Apa kabar, Tante? Maaf ya, waktu kemarin Tante ke rumah, Tisa nggak sempat nyapa Tante secara langsung. Tapi makasih banget Tante udah datang,” ungkap Tisa, merujuk pada saat ia berduka atas kecelakaan orangtuanya.
“Tante ngerti, kok. Kamu yang kuat ya, Tisa! Biar bagaimana pun kamu juga harus cepat bangkit. Tante tahu kamu gadis yang hebat. Kamu pasti bisa melewati semua ini dengan baik,” ucap Tante Nana menyemangati.
“Iya. Kamu juga harus selalu ingat kalau kamu punya kita, Tisa. Ada Kenan, Oma, dan keluarga kami - kami semua sayang dan peduli sama kamu. Kamu jangan pernah merasa sendiri, ya! Karena kami akan selalu ada buat kamu,” sambung Oma Ratu.
“Makasih banyak, Oma. Tisa sampai nggak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Oma dan keluarga ini. Tisa nggak tahu apa jadinya Tisa tanpa kalian semua,” balas Tisa.
Mereka mengobrol cukup lama. Meski Oma dan Tisa seolah sengaja tak mengikut sertakan Ivy dalam percakapan mereka, tetapi tentu saja Tante Nana tidak tinggal diam. Ia sengaja terus memancing Ivy untuk menimpali.
“Oh iya, Tisa, kalau kamu tinggal di sini, berarti rumah kamu kosong, ya?” tanya Tante Nana.
“Iya, Tan,” jawab Tisa.
“Apa nggak sayang? Rumah kalau dibiarkan kosong terlalu lama juga nggak bagus, kan? Nanti cepat rusak. Sedangkan rumah itu kan penuh dengan kenangan kamu dan orangtua kamu. Jadi, Tante rasa sayang aja, gitu,” kata Tante Nana.
“Iya juga sih, Tan. Mungkin besok coba aku minta pertimbangan Kenan, bagaimana kalau aku sewain rumah itu. Siapa tahu Kenan punya-”
“Yah … sayang juga dong kalau disewain. Gimana kalau yang nyewa nggak bisa jaga baik-baik rumah itu? Terus, nanti pasti tatanannya juga bakal mereka ubah-ubah, kan?” potong Tante Nana. “Apa nggak sebaiknya kamu tetap tinggalin aja, Tisa? Kalau memang kamu nggak bisa sendiri, siapa tahu Oma mau nemenin. Lagian Oma juga sering ngerasa kesepian kalau di sini, karena Ivy dan Kenan kerja, kan?”
“Maksud kamu?” sambung Oma.
“Daripada tinggal di sini, Nana rasa akan lebih baik kalau Mama nemenin Tisa buat tinggal di rumahnya deh, Ma. Lagian Ivy sama Kenan kan pengantin baru. Butuh ruang buat berdua juga,” usul Tante Nana.
Padahal sejak tadi Ivy hanya mendengarkan. Namun, bisa-bisanya justru ia yang merasa sangat takut sekarang. Ia khawatir, Oma akan marah dan ikut memusuhi Tante Nana. Ivy tidak akan memaafkan dirinya sendiri kalau hal itu sampai terjadi. Ia tidak ingin orang sebaik Tante Nana juga dibenci oleh Oma. Ivy tidak mau Tante Nana terlibat masalah dengan Oma.
“Tapi kan nggak enak, Na. Orang Mama masih punya rumah, punya kalian. Masa Mama malah harus tinggal di rumah Tisa?” balas Oma Ratu.
“Nah, sama saja, Ma. Tisa juga pasti ada rasa nggak nyaman numpang di sini. Apalagi numpangnya di tempat teman laki-lakinya yan sudah beristri. Itu kan sebenarnya nggak etis banget, Ma. Mungkin Tisa juga merasa begitu, cuma nggak enak aja ngomongnya sama Mama. Iya, kan, Tisa?” Tante Nana beralih menatap Tisa dengan tatapan prihatin.
Tisa tampak terkejut mendapat pertanyaan secara tiba-tiba seperti itu. Alih-alih pertanyaan, ia justru merasa seolah sedang dipojokkan oleh lawan bicaranya. Ia ingin menjawab sesuai isi hatinya. Namun, jika itu terjadi, ia akan tampak seperti orang jahat dan tidak tahu diri.
“I- iya, Tante,” jawab Tisa pada akhirnya.
“Tisa, Oma kan udah bilang. Kamu nggak perlu ngerasa nggak enak. Kita ini keluarga,” tegas Oma Ratu.
Ya beda lah, Ma. Mungkin dulu iya. Saat Kenan dan Tisa masih kecil, oran-orang akan memaklumi kedekatan mereka. Tapi sekarang kan mereka sudah besar. Apalagi Kenan juga sudah beristri. Dalam hatinya yang terdalam, Tisa pasti juga ngerasa nggak enak sama Ivy. Belum lagi, dia juga pasti kepikiran bagaimana anggapan tetangga-tetangga terhadapnya yang tinggal di rumah teman masa kecilnya, padahal teman masa kecilnya itu sudah menikah.” Tante Nana seolah sengaja tak memberi kesempatan bagi Tisa untuk menjawab.
“Keluarga kita mungkin bisa memaklumi. Tapi gimana sama orang-orang yang nggak tahu siapa Tisa bagi kita? Nana cuma khawatir hal itu akan berpengaruh buruk buat Tisa. Karena pasti yang akan tampak jelek, utamanya adalah Tisa, lalu Kenan,” imbuh Tante Nana.
Mata Ivy berkaca-kaca. Meski terkesan sangat halus dan tak membawa serta dirinya dalam pembicaraan itu, Ivy merasa seperti sedang dibela dari orang-orang yang menindasnya selama ini.
Tante Nana benar-benar mengemas pesan dari ucapannya dengan apik, sehingga bahkan Oma pun tak punya alasan untuk balas menyalahkan Ivy.