Gio tersenyum meraih kotak makanku dan menyendok isinya menggunakan sendok yang kupakai kemudian memasukkan ke dalam mulutnya.
“Aku merindukan masakan bunda, apakah masakanmu seenak masakan bunda?” katanya sambil mengunyah makanan yang masuk ke mulutnya
Aku menatapnya, speechless.
“Enak,I masakan mirip seperti bunda kamu,” Gio tersenyum manis ke arahku.
“Fan, kamu gak jijik. Itu kan bekas aku,” kataku sambil berusaha merebut boks berisi bekalku.
“Kenapa mesti jijik, bukankah dulu kita biasa melakukannya?” Gio berusaha mempertahankan kotak makanan yang dipegangnya sambil tertawa. Dia lalu menyendok lagi makanannya dan mengulurkan tangannya ke mulutku.
Dulu karena aku malas makan bekal yang kubawa, aku memberikannya pada Gio untuk dimakannya dari pada di buang, suatu hari Gio memaksaku untuk memakan bekalku dengan menyuapiku sembari menyuapi dirinya. Sejak hari itu Gio akan menyuapiku makan sementara aku mengerjakan tugasku yang belum selesai atau bermain dengan ponselku.
“Aaa.. “ Gio memyuruhku untuk membuka mulut tapi aku bergeming, Gio menatapku, “Kamu masih laparkan?”
Aku tersenyum dan membuka mulutku meski ragu karena aku masih belum percaya kalau laki-laki di depanku saat ini adalah Fani meski kalau melihat senyumnya adalah memang senyum dia.
“Jangan menatapku seperti itu nanti kamu jatuh cinta lho,” Gio tertawa sambil menyuapiku.
“Ih, siapa juga yang akan jatuh cinta sama kamu,” gerutuku.
Gio tertawa, “Banyak,”
“Nggak usah GR, deh,” kataku sambil mengunyah makananku.
“Gak GR tapi itu ke nya ta an,“ Gio sengaja mengeja kata kenyataan dengan gayanya yang lucu. Aku tertawa, dari dulu dia memang selalu bisa membuatku tertawa bahkan di saat aku merasa sedih sekalipun.
Meski masih merasa ragu kalau cowok di depanku adalah Fani, sahabat kecilkuk tapi sikapnya membuatku yakin bahwa dia adalah Fani. Kami makan sambil terus bercanda hingga makanan yang tak seberapa di kotak makananku habis.
“Kamu tambah cantik sekarang,” pujinya sambil meletakkan kotak makanku.
“Emang dari dulu tdiak?” aku melotot.
“Cantik, tapi dulu masih kecil, masih ingusan,” katanya sambil terkekeh.
“Aku lihat kamu juga makin tampan, kamu bahkan jadi idola ibu-ibu yang ada di sini,” aku terkekeh.
“Kamu tidak?”
Aku hanya tertawa.
“Kamu sudah punya pacar, Lia?” tanyanya sambil tersenyum.
“Beberapa bulan ini, aku menerima pinangan atau apa namanya dari salah satu adik pegawai di sini,” kataku sambil tersenyum.
“Oh ya? Bagaimana orangnya?”
“Aku tak begitu mengenal dia,”
“Bagaimana kamu mau menerima orang yang kamu gak tahu sama sekali?”
“Aku mengenal Mbak Minah dengan baik, dia gak pernah berbohong, Dia bilang adiknya baik, pekerja keras, dan sangat menyayangi dia jadi kupikir gak ada salahnya aku menerimanya. Kalau dia bisa menyayangi kakaknya pasti dia akan menyayangi istri pilihan kakaknya,” aku tersenyum.
“Naif sekali pemiliran kamu Lia,” Gio terkekeh.
“Kamu sendiri sudah menikah?” tanyaku padanya. “Berapa anak kamu?”
“Aku masih jomblo, siapa yang mau denganku? Dulu aja cuma kamu yang mau main denganku,” Gio tertawa.
“Tapi sekarang kamu lain, Fan. Kamu tampan, kamu juga seorang CEO dan aku sudah melihat para pegawai wanita di sini sudah antri berderet untuk mendapatkan cinta kamu, belum lagi yang diluar kantor. Aku yakin saat ini kamu tinggal menjentikkan jari saja para gadis sudah berlari padamu.”
“Sayang aku tak tertarik pada mereka,” Gio maenatap jam tangannya. “Aku kembali ke ruanganku, besok aku akan kembali ke sini untuk makan siang bersamamu.”
Gio berdiri dan tersenyum lalu pergi setelah mengucap salam, aku masih terpana menatap Gio yang berlalu dari hadapanku. Aku bertanya-tanya apa yang kualami hanya mimpi karena aku seringkali merindukan cowok itu. Pasti aku hanya berangan-angan atau mungkin bermimpi dimana Fani berubah menjadi laki-laki gagah, tampan dan menawan, dia bahkan menjadi CEO di perusahaan tempatku bekerja.
“Kok bengong, Lia?” tanya Tina saat melihatku menatap ke satu arah dengan tatapan kosong.
“Eh?” aku buru-buru tersenyum, kedua temanku malah tampak bengong melihat sikapku yang menurut mereka aneh.
“Kamu lihat ada cowok yang keluar dari sini tidak? tanyaku pada Tina dan Ersa yang baru datang dari kantin.
“Siapa? Gak aku gak lihat,” jawab Ersa.
“Aku juga,” Tina duduk dengan cuek.
“Kenapa? Tumben nanya ada cowok dari sini? Jangan-jangan kamu memang gak bisa move on dari Tedy ya? Atau kamu ngarep adiknya mbak Minah itu datang ke sini?” tanya Tina lagi dengan nada prihatin.
Aku tertawa, “ Tadia aku ngerasa melihat Fani di sini,”
“Siapa Fani?” tanya keduanya serentak.
“Mantan kamu?” tanya Ersa sambil menatapku. “Uh, kayaknya ada bau-bau CLBK, nih.”
“Bukan, temanku waktu masih di desa dulu, teman waktu kecil,” jawabku sambil membenahi bekas makanku dan Gio tadi. Aku menghela nafas Panjang, mungkin aku terlalu merindukannya sehingga tertawa ke dalam anganku.
Aku mencoba untuk tidak memikirkan kejadian saat istirahat tadi dan berkonsentrasi pada pekerjaanku. sesekali aku juga nimbrung pada pembicaraan teman-temanku tentang Gio yang katanya sangat tampan. Riska bahkan menjadi ketua fansclub Gio lovers dan sudah ada grup chat untuk para penggemar Gio.
“Kamu aku masukkan grup ya, Lia,” kata Riska dengan bangga.
“Tidak tertarik,” jawabku yang langsung mengundang protes dari teman-temanku.
“Kamu itu memang aneh, Lia. Sudah jelas Pak Gio sangat tampan malah kamu sama sekali tak tertarik, kamu justru lebih tertarik pada adiknya mbak Minah yang belum ketahuan kayak apa,” Ersa tertawa.
“Karena kemungkinan untuk dapat Pak Gio itu sangat sulit, belum tentu satu banding sepuluh ribu juga ,” aku tertawa.
“Ya, kita kan perlu berusaha Lia, siapa tahu Pak Gio bisa kecantol sama kita,” aku hanya tersenyum mendengar komentar Riska.
Saat berjalan menuju halte untuk menunggu angkutan umum yang akan membawaku ke kontrakan aku melihat sebuah mobil melintas, mobil dengan kaca yang masih terbuka itu menampilakan fitur wajah laki-laki yang tadi berbincang denganku bahkan makan bersama dengan sendok yang sama denganku tadi. Mungkinkah dia Gio, sang CEO baru di perusahaan? Mungkinkah Gio adalah Fani?
Bugh!
“Ah,” keluhku karena menubruk sesuatu yang keras.
“Hati-hati kalau jalan, mbak Lia,” laki-laki berumur yang bekerja sebagai supir perusahaan itu tersenyum menatapku.
“Iya, Pak, Maaf,” aku tersenyum malu dan segera berlalu dari hadapan laki-laki itu.
Aku melihat mobil hitam milik Gio tiba-tiba berhenti dan sesosok perempuan bertubuh tambun segera naik ke mobil itu dengan cepat dan mobil itu segera melesat meninggalkan tempat ini..
Aku melanjutkan langkahku ke halte dan menunggu angkutan umum.
Ting! sebuah notifikasi masuk ke ponselku.
(Ivan) : Kamu cantik.
(Me) : Terima kasih. Darimana kamu tahu?
Ivan: Aku tahu saja, aku ada di sekitar kamu, kok.
Aku melongok ke seklilingku tapi tak menemukan orang yang bisa kutebak sebagai Ivan.
(Me) : Kamu di mana, aku tidak melihat keberadaanku.
(Ivan) : Pulang. Hati-hati di jalan, Lia.
Aku tersenyum membaca kalimat itu, entahlah meski aku belum pernah melihat wajahnya tapi aku merasa suka padanya. Itulah alasanku kenapa aku mau menerima perjodohan yang disodorkan Mbak Minah. Aku tak membalas pesan dari Ivan lagi dan memasukkan ponselku ke dalam saku. Aku tersenyum dan berharap aku bisa bertemu dengan Ivan tak lama lagi.
Bis yang kami tunggu akhirnya datang, aku segera naik dan dan duduk di bangku yang kosong. Hari yang makin gelap mengiringi kepulanganku.
***
AlanyLove