THCAI 4
Pagi ini aku memasak dengan semangat, aku memasak tumis kangkung kesukaan Gio dan ayam goreng dan tempe goreng. Dulu Gio sangat suka kalau ibu membawakanku masakan itu padahal aku paling tak suka sama kangkung. Selesai memasak, aku mengambil dua buah wadah dan mengisinya nasi dan masakanku kemudian memasukkannya ke dalam tas bekal. Sebenarnya aku tak yakin nanti Gio akan menemuiku saat istirahat siang, soalnya kemarin dia hilang begitu saja setelah mengatakan kalau besok dia akan ke sini lagi. Aku pikir kalau nanti dia gak datang, aku bisa memberikan bekalku untuk mbak Minah atau yang lain.
Setelah mandi dan berdandan kemudian aku memastikan tidak ada barangku yang tertinggal aku segera bergegas untuk berangkat kerja. Aku menutup pintu kontrakanku kemudian menuju halte yang tak jauh dari kontrakanku. Tak lama kemudian bis yang aku tunggu tiba kan membawaku ke perusahaan tempatku bekerja, aku turun di halte depan kantorku kemudian aku melenggang masuk dengan riang. Aku berharap hari ini bisa bertemu dengan Gio lagi.
Ada yang berbeda dengan suasana kantor pagi ini, tak biasanya para karyawati banyak sudah hadir pada jam segini. Kupikir akan ada acara yang aku gak tahu karena aku melihat para karyawati tampak berjajar di sepanjang jalan menuju pintu masuk ke Gedung perkantoran perusah aan. Dari salah satu karyawati aku mendapat kabar kalau mereka sedang menunggu kehadiran Gio ke kantor. Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar hal itu dan melihat mereka mengelu-elukan Gio seperti yang mereka lakukan pada artis idola mereka. Rasanya seperti dalam cerita saja. Beberapa petugas keamanan perusahaan sampai menghalau mereka dan menyuruh mereka untuk segera masuk ke ruangan masing-masing agar mobil Gio bisa berjalan sementara segera beranjak dari tempat itu dan menuju lift ke ruanganku. Aku tak percaya bagaimana para penggemar Gio memperlakukannya laksana seorang artis saja.
Beberapa menit kemudian teman-temanku telah kembali ke ruangan dengan wajah kecewa karena mereka sama sekali tak bisa melihat Gio karena Gio sama sekali tak membuka kaca mobilnya saat melewati mereka dan para penjaga keamanan segera menyuruh mereka untuk kembali ruangan masing-masing. Aku hanya tertawa melihat wajah-wajah kecewa teman-temanku tapi mereka justru mencibirku karena tak ikut dalam antrian yang memperebutkan Gio.
Kami bekerja seperti biasanya, kadang sambil mengobrol. Seperti kemarin aku hanya mendengarkan saja saat mereka mengobrol tentang Gio, Aku mendengar bagaimana mereka mngelu-elukan Gio dan berharap dengan sangat bisa bertemu dengan Gio.
“Kamu sepertinya tak tertarik pada Pak Gio, Lia?” tanya Riska saat melihatku masih sibuk merekap survei yang kami lakukan. “Padahal dia kan sangat tampan, tajir lagi,”
“Biasa saja, dia kan temanku waktu SD sama SMP,” jawabku kalem yang langsung disusul tawa rekan-rekanku.
“Kalau ngibul gak usah ketinggaian deh, Lia. Mana mungkin Pak Gio adalah temanku,” Ersa tertawa.
“Iya, tumben si Lia ngehalu. Jangan-jangan karena gak bisa move on dari Tedy atau malah sudah kecantol sama adiknya Mbak Minah yang jadi TKI di di luar negeri,” ejek Tina yang di sambut tawa semua karyawan yang ada di ruangan ini.
“Ah, sudahlah gak penting,” sahutku malas, membuat mereka makin tergelak. Tak penting juga mereka tahu aku berteman dengan Gio yang penting bagiku bisa melihatnya lagi sudah suatu kebahagiaan bagiku apalagi melihat kesuksesannya. Aku yakin ayah dan ibuku akan ikut merasa bangga melihat kesuksesannya,
Jam istirahat siang akhirnya tiba, biasanya aku tak pernah peduli dengan jam istirahat siang ketika teman-temanku meninggalkanku sendirian di ruangan ini untuk makan siang tapi hari ini terasa berbeda aku menunggu Gio. Sudah hampir 10 menit mataku berkali-kali menatap pintu masuk ke ruangan ini menanti kehadiran Gio memasuki ruangan ini. Karena Gio tak juga datang, aku memutuskan untuk segera membuka kotak makanku, harusnya aku tak terlalu berharap Gio akan datang ke tempat ini dan makan bersamaku. Aku berpikir mungkin sebenarnya Fani tak pernah ada, mungkin kemarin adalah halusinasiku karena aku terlalu merindukannya sehingga menganggapnya ada secara nyata.
Aku mengeluarkan bekalku dari dalam tas dan mulai menyantapnya sambil menonton sebuah film animasi di YouTube. Aku tersenyum melihat adegan-adegan kocak yang ada di monitor di depanku sambil menyuap nasi beserta lauknya ke mulutku.
“Wah asyik sekali,” sapa seseorang mengejutkanku.
Suara seorang laki-laki membuatku terkejut, aku segera menoleh ke arah pintu dan bibirku segera saja membentuk sebuah senyum manis saat menyadari seseorang yang berjalan ke arahku. Gio mengenakan kemeja warna marun yang digulung hingga siku dengan celana hitam, aku yakin dia meninggalkan jasnya di ruangannya. Ah, dia memang sangat tampan sekarang,pantas saja para wanita di sini terpesona olehnya.
Setelah berada di dekatku, Gio segera menyeret kursi yang biasa diduduki Riska membuatnya mengarah kepadaku. Gio memintaku merubah arah kursiku sehingga kami saling berhadapan.
“Maaf telat tadi ada pelajaran penting yang yang harus aku temui,” katanya sambil tersenyum manis.
“Nggak papa apa, aku pikir kamu nggak datang jadi aku makan lebih dulu,” aku segera mengalihkan tatapanku ke
“Sepertinya enak, Lia,” kata Gio sambil menatap ke isi kotak makananku.
“Ya, jelas enak, dong! Siapa dulu yang masak?’ aku tertawa kecil sambil mengambil kotak makan yang telah kusiapkan untuk Gio.
“Siapa bunda? Kan masakannya yang enak masak bunda,” jawabnya dengan sengaja.
“Bunda kan kan tinggal di sini,” aku cemberut.
“Emang kamu bisa masak?” Ledek Gio, aku mengangguk, “Wah kamu memang benar-benar calon istri idaman, Lia,”
Entah kenapa saat mendengar dua kata terakhir itu hatiku terasa berdenyut nyeri mendengarnya. Gio tertawa sambil menerima kotak makan yang kuserahkan padanya. Entah hanya perasaanku mengatakan Gio seperti tak suka saat menerimanya tapi dia tetap menerima kotak makan itu kemudian membukanya,
“Terimaksih,” Gio tersenyum.
Saat melihat isinya, Gio segera meletakkan kotak nasinya dan beranjak keluar dari ruanganku membuatku kecewa karena dia tak mengatakan apapun tentang makanan yang kubuat untuknya.
Aku merasa sedih dan hampir saja meneteskan air mataku kalau saja tak kuseka dengan punggung tanganku. Harusnya aku sadar, Gio bukan lagi sahabatku yang miskin dan selalu kekurangan makan seperti saat kecil dulu. Sekarang dia adalah seorang milyarder apalagi dia lama tinggal di Jerman bisa jadi selera telah berubah. Aku merasa sangat bodoh dan juga kecewa.
Aku menoleh saat mendengar suara Langkah kaki mendekatiku dan kulihat Gio yang tengah berjalan sambil tersenyum. Dia segera segera duduk di kursi Riska lagi dan mengambil kotak makan yang tadi diletakannya. Bau aroma apel dari tanganku membuatku sadar kalau dia baru saja mencuci tangannya, membuat kekecewaanku lenyap begitu saja.
Aku melihat Gio mengambil nasi, lauk dan sayurnya menggunakan tangan dan bukan sendok yang kuberikan padanya. Aku menatapnya tak percaya.
“Kenapa?” Gio balik menatapku.
“Kenapa kamu pakai tangan?”
“Memangnya gak boleh?” Gio tersenyum miring.
“Gak masalah sih cuma aneh saja, lihat kamu makan pakai tangan,” kataku sambil meletakkan kotak makanku dan mengambil botol minumku kemudian meminumnya.
Aku tersenyum menatap Gio yang tampak lahap memakan makanan yang aku masak. Tiba-tiba Gio menyodorkan makanan yang ada di tangannya ke mulutku dan memberi isyarat agar aku membuka mulutku. aku yakin pasti pipiku memerah karena perlakukannya.
***
AlanyLove