Kamu Lupa Bagaimana Aku Dulu

1044 Words
The Handsome CEO and I 9 Tedy masih terus menatap kami dengan tatapannya yang mengerikan hingga kami keluar dari mini market hingga membuat Gio tak melepaskan pelukannya di pinggangku.  hingga kami sampai di depan mini market. “Terima kasih, Fan,” kataku sambil melepas tangan Gio dari pinggangku, sudut mataku menatap ke dalam mini market di mana Tedy masih berada di dalam sana. Gio hanya tersenyum dan ikut melihat ke dalam mini market. Tatapan kesal Tedy membuat Gio tak melepas pelukannya di pinggangku dia bahkan membuatku makin menempel padanya membuatku merasa sangat malu karena menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar kami. Gio membawaku mendekat ke mobil sport miliknya yang terparkir tak jauh dari mini market. Tak tahukah Gio kalau perlakukannya membuat dadaku berdbar-debar dan jantungku mau meledak? Mungkin saat inipun wajahku memerah karena aku merasa wajahku panas. “Terima kasih, Fan,” kataku setelah Gio melepas pelukannya di pinggangku. “Kamu mau kemana?” Gio membuka pintu mobilnya dengan dahi berkerut melihatku melangkah menjauh darinya. “Aku mau naik angkutan umum,”  aku tersenyum, lokasi mini market ini cukup dekat dengan kantor, aku tak mau di bully oleh para pemujanya yang cukup bar-bar kalau ketahuan jalan dengannya di luar area kantor. “Kamu takut?” tanyanya menggodaku seakan dia  mengejekku karena aku dan dia selalu menghabiskan waktu istirahat bersama. Aku hanya tertawa garing, “Kalau begitu masuklah, aku akan mengantarmu sebelum teman-temanmu melihat kalau yang berada di sampingku adalah kamu dan jangan lupa mantan tunangan sialanmu itu juga sudah keluar dan dia masih memperhatikan ke sini,” Gio menunjuk ke arah pintu mini market di mana Tedy tampak menatap ke arah kami dengan tatapannya yang seperti hendak membunuh. Sudut mataku juga menangkap bayangan Ersa dan Tina yang sedang mengobrol dan berjalan ke arah kami. Sial! Aku segera memasuki mobil Gio sebelum mereka menyadari keberradaanku di tempat ini. Gio  melindungi kepalaku agar tak terantuk bagian atas bagian mobilnya. Gio segera menutup pintunya dan berjalan memutar menuju tempat kemudi. Aku segera saja merasa takjub dengan interior mobil mewah ini, semua terlihat elegant dan mewah. Aku menahan nafasku saat tiba-tiba saja Gio mendekat ke arahku, aku juga merasa jantungku seperti hendak meledak saat tangannya tanpa sengaja menyentuh lenganku dan nafasnya terasa berhembus di wajahku. Bunyi klik membuatku sadar apa yang Gio lakukan, ternyata dia memasang sabuk pengaman ke tubuhku karena aku lupa untuk memasangnya. Alih-alih menyuruhku memasangnya, dia malah memasang sendiri sabuk pengamanku. Aku tersenyum canggung menatapnya.  Pasti wajahku sudah semerah kepiting rebus saat ini untungnya Gio tak terlalu memperhatikannya karena dia mulai menghidupkan mesin mobilnya dan memakai sabuk pengamannya. “Bagaimana kamu bisa ada di tempat ini?”  tanyaku setelah Gio mulai menjalankan mobilnya. “Ini tempat umum, Lia, dan  aku hendak membeli air mineral,” jawabnya ringan meski dia tahu aku meragukan jawabannya karena di keranjang belanjaanku tadi tak ada air mineral satu botolpun. “Aku lupa mengambilnya karena keburu emosi melihat mantan tunanganmu mengganggumu,” Gio terkekeh. “Kamu tahu maksudku, Fan. Tidak mungkin orang sekaya kamu akan mampir ke tempat sekecil ini,” “Kamu lupa aku dulu siapa, Lia? Bahkan mini market kecil yang ada di kota dulu adalah tempat mewah yang tak bisa kudatangi. Kalau bukan karena kamu, aku tak akan pernah menginjakkan kakiku di sana,” katanya dengan nada yang terdengar menahan kesedihan. Aku menghela nfas panjang, kejadian itu melintas begitu saja di benakku. Waktu itu aku dan Gio sudah duduk di bangku SMP, kami sering melewati tempat itu saat kami berangkat dan pulang dari sekolah kami.   Mini market yang cukup terkenal itu baru saja berdiri di kota kami dan menjadi suatu kebanggaan tersendiri berbelanja di sana meski harganya lebih mahal dari warung ataupun pasar. Meski begitu orang-orang berdesakan untuk bebelanja di sana. Tak terkecuali keluargaku,  aku dan ibu telah berkali-kali berbelanja di tempat itu. Suatu hari, aku meminta Gio menghentikan sepedanya di depan mini market itu. Gio segera memarkir sepeda milikku dan kami bergandengan memasuki mini market. Aku dan Gio memang selalu berangkat bersama menggunakan sepeda milikku. Gio yang mengemudikannya sementara aku akan membonceng di belakangnya. Kami segera memasuki mini market ini dan mulai memilih apa yang akan kami beli, tadi pagi aku sudah meminta uang lebih pada ibu untuk membelikan sesuatu di tempat ini. Ibuku sangat menyukai Fani karena dia sering membantuku. Gio mengambil dua buah mie instan yang juga merupakan sebuah  kemewahan baginya. Dia sengaja mengambil dua buah  karena itu untuknya dan untuk ibunya. Aku hampir menangis merasakan kemiskinannya waktu.  Aku segera mengambil lima buah mi instan dan dua buah es krim berbentuk kerucut dengan merek terkenal yang sudah lama diimpikan nya meski dia tak pernah mengatakannya. Selain uang dari ibu, aku juga mengambil sebagian tabunganku untuk berbelanja hari ini. Setelah membayar di kasir kami segera dari tempat itu karena tak mau esnya segera mencair. Gio mengayuh sepedanya dengan cepat agar segera sampai di rumahnya. Gio segera mengambil dua mi instan dan menyerah tas plastik berisi sisanya kepadaku. Aku mengambil tas plastik kecil berisi es krim yang ada di dalam tas plastik itu dan mengembalikan tas plastik dengan logo mini market kepadanya. “Buat kamu,”  aku tersenyum. “Tapi Lia…,” protesnya. “Itu memang buat kamu, kok. Ini juga,” aku mengulurkan es krim Kon ke arahnya. Gio hanya menatapnya untuk waktu yang lama hingga aku berusaha meyakinkannya hingga Gio mau menerimanya. Aku segera duduk di kursi usang yang ada di ruang tamu yang cukup sempit itu. Aku segera membuka bungkus es krim  dan mulai menjilati permukaan  eskrim yang dipenuhi dengan  krim, coklat dan sedikit selai stroberi yang lezat. Gio masih menatapku, dia tampak ragu untuk membuka eskrim miliknya. “Makan, Fan, nanti keburu meleleh,” perintahku melihatnya yang masih bengong. Karena Fani masih diam saja aku segera mengambil eskrim yang sudah ditangannya dan membukanya dan menyodorkan eskrim itu ke mulutnya. Aku juga menyeret Gio untuk di sebelahku menikmati eskrim bersama-sama. Ingatan tentang hal itu membuatku ingin menangis, aku mengerjabkan mata agar air mata yang mulai mengambang di permukaan mataku  tak berubah menjadi air mata. Aku tak mau Gio tahu aku menangisi kemalangannya apalagi saat ini dia sangat kaya, melampaui kekayaan orang tuaku dulu. “Tapi kini kamu seorang konglomerat,” aku terkekeh menutupi kesdihanku. “Belum seperti itu tapi kamu bisa mendoakan aku agar harapanmu tadi terkabul,” Gio terkekeh menatapku.    ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD