BAB 5 ~ Masa Lalu

1774 Words
Dasar anak nggak tau di untung! Pergi kamu dari sini! Dindaaa jangan pergi kumohon, bertahanlah, Dinda ... Pembunuh! Kamu pembunuh anak saya! Pergi kamu! Aditya seketika terbangun dari tidur malamnya. Keringat bercucuran, tangan gemetar dan dengan cepat ia mencari sesuatu dalam laci meja nakas. Sebotol obat antidepresan yang selalu tersimpan di sana menjadi hal lumrah yang selalu melekat untuknya. Seketika ia menenggak dengan cepat. Ia tahu obat itu tidak bisa terus menerus ditenggak, apalagi dalam jangka panjang. Namun hanya obat itu lah yang mampu menenangkan di saat rasa menyesakkan itu melanda lagi. Ia bermimpi lagi, mimpi yang selalu saja menghantui dan seakan menjadi beban sampai detik ini. Aditya menghela napas, dan mengaturnya sedemikian rupa. Kemudian ia mencoba menenangkan diri sendiri. Seketika pria itu mengingat kembali memori empat dan tujuh tahun silam. Memori yang selalu membuatnya takut dan menyesal. Sebuah kenangan yang selalu membuat kesal dan marah. Ia mengepalkan tangan, menahan untuk tidak kembali bertindak tidak terkontrol menuruti emosi. Dinda Syafitri Nugraha. Nama itu selalu terngiang dalam ingatannya. Gadis yang lugu dan murah senyum itu kini sudah berada jauh dari Aditya untuk selamanya. ********** Di sebuah SMA swasta di Jakarta yaitu SMA Garuda, Aditya tengah menempuh pendidikan di sana. Namanya lambat laun menjadi terkenal dan populer di lingkungan SMA itu. Selain memilik paras yang membuat kaum hawa selalu mengagumi, keberanian terhadap siapa pun yang berani menentang membuat namanya menjadi sangat populer sejak kelas satu SMA. Saat ini, ia berada di tingkatan kelas dua belas SMA. Banyak teman sebayanya yang berusaha menjadi teman dekat. Namun tidak ada satu pun yang mampu mengusik kehidupan pribadinya. Ia juga memiliki sahabat karib di sekolah, sosok yang mengenal sejak pertama kali mereka masuk ke sekolah tersebut. Sosok itu bernama Kevin Nugraha. Ia anak seorang DPR di Ibukota Jakarta. Namun, sampai detik ini Aditya belum pernah berkunjung ke rumah Kevin sekali pun, begitu juga Kevin. Mereka sangat enjoy berteman di luar rumah. Kedua orang ini benar-benar sangat mencuri perhatian ketika berjalan bersama, sudah bukan rahasia umum lagi jika mereka menjadi idola bagi kaum hawa. Wajah teduh dan tampan Kevin juga mampu menyihir banyak wanita. Keduanya merupakan sosok yang pandai bergaul dan siapa pun ingin bergaul dengan mereka, tak ayal pula banyak wanita yang bermimpi menjadi pacar Aditya atau pun Kevin di sekolah. Keduanya juga sangat populer karena kekayaan orang tua mereka, hal itu terbukti karena fasilitas yang dimiliki kedua pemuda tersebut memang menunjukkan derajat mereka. Sampai suatu saat, hubungan mereka merenggang. Semua penduduk sekolah menyadari akan hal itu. Kevin yang dulunya teduh menjadi sangat temparamental. Begitu pun Aditya yang semula memang sangat tempramental menjadi semakin tidak acuh dengan siapa pun sejak Kevin memusuhinya. Hawa permusuhan dirasakan oleh banyak pihak. ***** Malam itu .... Hari beranjak malam, sedari tadi Aditya hanya memainkan game di layar komputernya. Tiba-tiba suara bunyi ponsel membuat fokusnya teralih. Lelaki itu lantas menyabet ponsel yang berada di atas meja dan menghentikan sejenak kegiatannya. Ia membuka benda pipih itu, ada satu pesan media yang dikirimkan nomor tak dikenal. Ia membuka file foto itu, detik pertama ia mengamati lekat-lekat dan detik kedua ia menyangkal bahwa apa yang dilihat bukanlah apa yang ia khawatirkan dan detik terakhir ka menggebrak meja di depannya. Ia pun langsung beranjak dari kursi, menyabet jaket dan kunci mobilnya. Ia berlari menyusuri anak tangga di dalam rumah. Dengan perasan kacau ia segera berlari menuju ke arah mobil yang terparkir. "Aditya kamu mau ke mana lagi?" Aditya hanya melirik untuk menanggapi panggilan sang ayah. Namun, tak dihiraukan dan tetap berlalu begitu saja. Ia segera membuka pintu rumah dan melesat ke arah mobilnya. Kemudian melajukan kendaraan itu ke tempat yang ia kenal dan persis seperti yang ada di foto yang ia terima. Beberapa menit kemudian, mobil itu telah sampai di sebuah kafe dan mata nyalang Aditya menyapu seluruh bagian kafe dari dalam mobilnya seraya mencari tempat untuk berhenti. Ketemu! sosok kekasihnya dengan seorang laki-laki, yang sama persis ada di foto yang dikirim oleh seseorang ke ponselnya. Seketika hati Aditya meradang, api cemburu membakar benak kali ini. Ia merasa dibohongi oleh Dinda. Lelaki itu lantas menepikan mobil di pinggir trotoar dan langsung turun dari mobil itu tanpa mencabut kunci mobil itu dari tempatnya. Persetan mau mobil itu hilang karena dibawa orang, Aditya tidak peduli. Ia lantas melangkahkan kaki cepat ke arah sang kekasih, hingga gebrakan di meja kafe itu mengagetkan Dinda beserta lelaki yang bersamanya. Gadis itu sangat terkejut dengan kedatangan Aditya di kafe itu, begitu pun sosok lelaki remaja yang ada di sampingnya. "Kamu bohong sama aku, Din?" tanya Aditya dengan suara meninggi. "Maksud Kakak apa? Ini temenku ... Rio. Satu kelompok sama aku ...," jelas Dinda. "Temen kelompok? Mana temanmu yang lain? Enggak ada! Jadi kamu nolak ajakanku, ternyata pergi sama dia?" "Kak, Kak Aditya salah paham. Ini enggak seperti yang Kakak pikirin." "Sorry, Kak. Ini salah paham." Lelaki di sisi Dinda mulai bersuara mencoba menengahi salah paham yang terjadi antara Aditya dan Dinda. Aditya lantas menatap pria itu tajam dan satu pukulan tepat menghantam wajah lelaki itu dengan keras. Tampak, lelaki itu mengaduh kesakitan dengan suasana kafe yang tidak lagi kondusif. Seluruh mata kini menyorot ke arahnya, tetapi Aditya tidak peduli. "Kak Adit!" pekik Dinda. "Apa?" "Kak Adit jangan keterlaluan. Dia itu temen Dinda." Gadis itu mencoba menjelaskan kembali perihal Rio. "Terus ke mana temanmu yang lain?" Dinda tak mampu menjawabnya, pasalnya teman-temannya baru saja pulang dan memang dirinya masih menunggu sang kakak menjemput di dalam kafe. Entah, kebetulan atau tidak, Rio yang memang tak ada kegiatan lain tetap tinggal di sana, alih-alih ikut menemani Dinda sampai kakak gadis itu menjemput. Sedangkan, Dinda tidak ingin merepotkan Aditya hanya untuk menjemputnya malam-malam seperti itu. Jujur saja, sorot mata dari semua pengunjung membuat ia gugup dan bibirnya kelu untuk menjelaskan semuanya pada Aditya. Keegoisan Aditya mulai membuatnya sangat over posesif pada Dinda. Ia tidak ingin gadis itu bersama lelaki lain selain dirinya. Di dalam benak Aditya, Dinda adalah miliknya dan siapa pun sudah tidak berhak lagi untuk memiliki gadis itu. "Kamu enggak bisa jawab, 'kan? Mana temenmu yang lain?" "Mereka udah pulang, Kak. Aku nunggu kakakku yang jemput. Kak, percaya sama aku ya ...." Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Dinda. "Kenapa enggak hubungi aku? Aku 'kan udah bilang, kalo pulang bilang. Sekarang kamu bilang dijemput kakak. Kakak siapa lagi? Kenapa kamu enggak pernah cerita? Kamu bohong lagi?" tanya Aditya yang benar-benar tak mengetahui siapa yang dimaksud Dinda. Aditya lantas pergi dari kafe itu, meninggalkan Dinda dengan kesalah pahaman yang masih terjadi. Dinda lantas mengejar Aditya yang melangkahkan kaki panjangnya ke arah luar kafe itu, hingga ia berhasil meraih lengan Aditya. "Kak, aku mohon ... dengerin aku dulu. Ini enggak kayak yang kakak pikirin." Aditya lantas menatap ke arah Dinda. Menatap dengan rasa kecewa terhadap Dinda tanpa mau tau alasan yang akan diberikan Dinda. Entah, rasanya banyak yag belum ia ketahui dari Dinda padahal selama ini sepertinya dirinya yang paling mengerti gadis itu. Tapi nyatanya ia tak tau apa-apa tentang Dinda. "Rio temenku, Kak. Kakak jangan salah paham. Dia hanya temen sekelasku, dan soal Kakak yang aku maksud itu, dia itu—" "Cukup! Kamu berusaha membela dirimu sekarang? Hah!" "Enggak, Kak. Aku—" "Kita selesai!" Satu kata yang mampu membuat Dinda syok seketika. Hatinya remuk, mata cokelat itu mulai membendung air yang bisa saja tumpah kapan saja. Ia tidak ingin kata-kata itu keluar dari mulut Aditya. Ia menyanyangi Aditya dan sudah menjatuhkan hatinya pada sosok pria itu. Air matanya mulai menetes, tak sanggup bertahan lama-lama. Sedangkan Aditya, entah apakah ia berpikir mengatakan hal itu, akal sehatnya sudah diselimuti oleh amarah dan keegoisan semata. "Enggak mau ... dengerin penjelasanku,Kak," pinta Dinda yang masih memegang lengan Aditya. "Enggak ada lagi yang perlu dijelasin, semuanya udah jelas!" Aditya menghempaskan tangan itu dari lengannya membuat Dinda tersentak akan sikap kasar Aditya. Lelaki itu lantas melangkahkan kaki menuju ke arah mobil di sebrang jalan. Sedangkan Dinda langsung mengejar sang pujaan hati, tersadar bahwa tidak bisa melepaskan Aditya begitu saja. Namun, naas, sebuah mobil menabrak tubuh Dinda yang tengah mengejar Aditya. Ia tak sadar bahwa ada mobil yang tengah melintas dengan kencang di jalanan itu. Sontak saja Aditya menoleh ke belakang dan di lihatnya tubuh Dinda yang terseret beberapa meter di jalanan. Badannya terhempas begitu saja dan mobil yang menabraknya langsung melarikan diri. "Dindaaaaa!" teriak Aditya. Ia berlari sekuat tenaga menuju ke arah Dinda. Pikiran yang kacau semakin tak karuan melihat sang kekasih menjadi korban tabrak lari kali ini. Ia langsung terduduk di sisi tubuh Dinda begitu sampai di posisi gadis itu. Ia memangku kepala Dinda dan mencoba untuk menyadarkannya. Darah sudah cukup puas rasanya mengalir dari hidung, telinga bahkan kepala gadis itu. "Dinda, kita ke rumah sakit. Ayo. Aku akan bawa kamu," ucap Aditya yang sudah berniat untuk berdiri. Akan tetapi, rasanya badan Dinda tak berniat mengikuti skenario Aditya kali ini. Ia justru menahan diri Aditya yang langsung menatapnya. Tampak tubuh Aditya sudah bergetar hingga gadis yang masih sadar itu berusaha memegang tangannya. "Eng—enggak, Kak," ucap Dinda menahan rasa sakit karena benturan hebat barusan. "Enggak. Ayo ... kita ke rumah sakit. Bertahanlah aku mohon." Tubuh Aditya semakin tak karuan melihat kondisi di depannya. Namun, ketika ia akan membawa bangkit Dinda, tangan wanita itu seolah menahan lagi laju pergerakan Aditya. Jemari yang penuh darah itu mengusap pipi Aditya. "Aku ... sayang sama Kakak," ungkap Dinda. Dan, tangan yang sedari tadi memegang pipi Aditya jatuh lemas tak berdaya. Mata yang tertutup itu membuat Aditya syok hingga jantungnya seolah ikut berhenti beberapa detik. Sekujur tubuhnya mulai meremang, napas itu terlihat tak berfungsi beberapa detik, menatap tubuh gadis yang ia cintai sudah lemas. Aditya tak berani memeriksa apakah napas Dinda turut terhenti atau tidak. "Dinda, Din ... bangun, Din, Dinda bangun!" Aditya mengguncangkan badan Dinda yang sudah tak mampu bertahan. Memeluknya seerat mungkin dan berharap Tuhan memberinya kesempatan. Kesempatan untuk kembali membuat gadis itu membuka mata dan meminta maaf. "Aku mohon ... jangan begini, Din, aku mohonnnn." Air mata itu mengalir tanpa mampu dihentikan. Ia menyalahkan dirinya atas keegoisan yang membuat Dinda celaka malam itu. Di sisi lain, ada Kevin yang tengah menjemput sang adik, harus menerima kenyataan di depannya. Ingin ia berlari ke arah Dinda, tetapi langkah itu terhenti oleh bungkamnya ia selama ini tentang apa hubungannya dengan Dinda. Ia syok dan tak tahu harus bagaimana. Saat tekadnya membuat ia melangkahkan kakinya , Aditya bangkit dan membawa tubuh sang adik ke arah mobilnya. "Kenapa harus lo, Dit. Kenapa harus lo yang justru nyelekain adik gue!" gerutu Kevin. Kini di hatinya terbesit sebuah amarah tertahan untuk Aditya. Ia yang tak tahu duduk permasalahannya dari awal, menganggap Aditya yang mencelakai sang adik hingga kondisinya mengenaskan seperti yang terlihat. Ia segera kembali ke arah motornya, menembus padatnya kota Jakarta mengikuti mobil Aditya membawa sang adik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD