Di kediaman Dinda, sudah banyak para tamu berdatangan untuk menunjukkan belasungkawa atas meninggalkannya gadis itu. Aditya menatap dengan nanar, masih tidak percaya dengan apa yang tengah terjadi di depan mata.
Ia memberanikan diri untuk menuju ke kediaman Dinda, hanya sekadar melihat wajah gadis yang sudah merebut hatinya untuk terakhir kalinya.
"Tante, saya minta maaf ... karena saya Dinda--" ucap Adit terpotong karena tak sanggup rasanya ia meneruskan kata-kata penutup kalimatnya.
Tampak wanita berambut pendek sebahu itu langsung berdiri menatap Aditya dengan tatapan bencinya.
"Pergi kamu! Pembunuh! Kamu pembunuh anak saya! Pergiii!" usir Ibunda Dinda yang langsung mendorong kasar tubuh Aditya sehingga ia terjatuh di lantai rumah itu.
Ibunda Dinda histeris melihat anak perempuannya telah meninggal. Sang suami pun berusaha menenangkan. Tanpa Aditya sadar bahwa di balik itu semua, sepasang mata melihat semua kejadian di rumahnya dari jauh.
Sepasang mata yang menaruh dendam terhadap Aditya. Dendam yang entah sampai kapan akan berakhir. Ia hanya mampu berpikir pendek bahwa nyawa harus di balas dengan nyawa.
Dengan gontai dan masih memendam perasaan bersalah pun Aditya melangkahkan kakinya keluar dari rumah Dinda. Semua teman- teman Dinda yang kebetulan berada di sana melihat kekacauan di wajah lelaki itu. Tatapan dingin dan murung jelas tercetak kembali di dalam diri Aditya.
****
Danau yang terletak cukup jauh dari pusat kota Jakarta menjadi tempat mengeluh kali ini. Setelah berhasil melihay wajah terkahir dari snag pujaan hati, Aditya menancapkan gas keluar dari wilayah Jakarta.
Di tempat ini banyak hal dilakukanya bersama Dinda. Segala canda tawa, curhan hati hingga duka semua masih tertancap manis di ingatan
"Dindaaaa! aku minta maaf, aku minta maaf ...," ungkapnya penuh dengan luka di batin.
Ia bersimpuh di depan danau tersebut. Kepalanya menunduk menahan rasa sakit kehilangan Dinda. Air mata itu jatuh tidak tertahankan sejak semalam.
Pertahannya selama ini telah terpatahkan oleh meninggalnya sosok gadis bernama Dinda. Gadis itu yang membuat dirinya mengenal tawa, sosok yang membuat dirinya merasa nyaman.
Gadis itu pula yang membuat dirinya percaya, tapi sekarang karenanya Dinda telah tiada. Karena keegoisannya Dinda kehilangan nyawa. Ia memukul diri sendiri tanpa henti, menangis kencang bak anak kecil kehilangan sesuatu. Aditya menyesali perbuatannya.
"Maaf, Din ... maaf."
Di tempat ini, tidak ada seorang pun yang tahu, tidak ada seorang pun yang mampu melihat kepedihan seorang Aditya.
Kini Dinda telah pergi, tidak ada lagi canda tawa yang biasa mereka lakukan. Tidak ada perhatian dan omelan yang selalu di lontarkan gadis itu padanya. Kini semua hilang. Pergi bersama raga Dinda ke singgasana terakhirnya.
Sejak saat itu Aditya mengalami depresi akan kehilangan Dinda. Ia lebih cenderung menyendiri bahkan hampir bunuh diri sebab masih merasa bersalah.
Semua telah dilakukan orang tua Aditya demi kesembuhan sang anak. Luka batin yang terlalu dalam membuat lelaki itu harus absen dari sekolah selama satu bulan lebih.
Tidak ada gairah hidup membuat sang Ibu khawatir hingga ia melakukan segala cara demi membuat Aditya sadar kembali. Beberapa psikolog hingga psikiater didatangkan, tetapi Aditya selalu menolak dan marah ketika diusik.
Hingga, keajaiban datang dari seseorang. Wanita yang ternyata teman semasa kuliah Ferlandio, di mana saat ini menjadi dokter spesialis kejiwaan itu hadir membuahkan hasil. Ketlatenan dan perlakuan berbeda membuat Aditya percaya.
Beberapa minggu penanganan membuahkan hasil yang diharapkan. Aditya mampu kembali berpikir jernih walau trauma itu masih sering hadir, tetapi ia sudah mampu mengontrol diri.
Hampir dua bulan berlalu, kepergian Dinda merupakan tamparan keras untuk Aditya. Ia mulai sedikit demi sedikit mengikhlaskan Dinda berkat dukungan Andini--sang Ibu.
Lelaki itu kini mulai kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Segala bentuk obat penenang hingga psiakter telah berusaha menyembuhkannya. Kini Adit ingin hidup normal kembali. Meskipun sulit, tetapi ia berusaha seperti biasa.
Sudah enam minggu sejak kematian Dinda dan dirinya yang depresi, ia meliburkan diri tidak bersekolah. Para guru memaklumi karena memang kondisi Aditya saat itu tidak bisa disalahkan.
Ia menjadi sosok yang pendiam, tidak banyak bicara, tetapi tidak suka jika kepribadiannya terusik atau ia akan benar-benar marah.
Hal pertama yang ingin ditemui Aditya saat menginjakkan kaki di sekolah adalah menemui Kevin. Sudah lama ia tidak menghabiskan waktu bersama sang sahabat. Hingga, netranya menangkap sosok Kevin di antara teman-teman lain di ujung balkon lantai tiga.
"Hei, Vin," panggil Adit.
Kevin pun menoleh ke sumber suara. Suara yang sudah lama menghilang hampir dua bulan ini kembali ia dengar. Ia melihat kembali Aditya berada di sekolah.
Tatapan penuh kebencian menyelimutikembali. Kevin pun bangkit dari tempatnya dan berjalan melewati Aditya. Sedangkan Aditya yang bingung akan sikap sahabatnya lantas mengejar Kevin.
Ia pegang bahu Kevin mencoba meminta penjelasan. Namun Kevin sudah gelap mata, ia menepiskan tubuh Aditya hingga hampir terjatuh jika tidak ada pertahanan kuat.
"Vin lo kenapa, sih? Gue salah apa ke lo?" tanya Adit.
"Salah lo ... gue nggak pernah punya temen pembunuh kayak lo! Mulai sekarang jangan pernah anggap gue sahabat lo lagi! Gue nggak kenal sama pembunuh kayak lo!"
Deg!
Seperti sebuah tamparan bertubi- tubi yang menerpa, tubuh Aditya terpaku. Dadanya kembali sesak, kepala terasa pusing kala mendegar ucapan pemicu kecemasan.
Kenapa semua menyalahkan dia dan tidak mempertanyakam duduk persoalannya? Kenapa semua seolah-olah menyudutkan?
Semua pasang mata melihat kejadian itu, semua orang menjadi saksi perpecahan dua sahabat sejak pertama kali masuk sekolah ini. Kini ada benteng kokoh di antara Kevin dan Aditya yang entah apa penyebab utamanya.
Kini Aditya dan Kevin tidak lagi berjalan bersama dan bercanda seperti dulu. Tidak saling sapa saat berpapasan sudah menjadi kebiasaan mereka saat ini. Perdebatan dan perkelahian di antara mereka sudah sering terjadi. Sampai mereka lulus pun tidak pernah ada satu patah pun kata- kata perpisahan atau apapun. Dendam Kevin akan terus bergulir seiring masih bisa di lihatnya Aditya.
****
Aditya lagi-lagi bangun dari tidurnya yang tidak nyenyak karena mimpi buruk itu hadir kembali. Ia sudah mencoba untuk tidur, tetapi tidak pernah bisa. Hingga pagi hari pun ia tidak bisa tidur nyenyak.
Akhirnya ia bangkit dari tempat tidur, bergegas untuk mandi dan menuju ke suatu tempat.
Dua puluh menit berlalu sampai lah Aditya di tempat yang ia rindukan. Pemakaman umum.
Ya di tempat ini lah ia sekarang, pria itu ingin mengunjungi makam Dinda. Ia memakirkan mobil tepat di pinggir makam. Aditya turun dari mobil dan membawa karangan bunga kesukaan Dinda yaitu mawar putih.
Ia berjalan menuju makam Dinda dan menatap lagi nisan bertuliskan nama gadis itu. Tanpa terasa air mata jatuh mengingat semua. Ia lantas menyeka secepat mungkin dan duduk di samping makam Dinda.
"Din, sudah tujuh tahun kamu meninggalkanku. Apa kabarmu? Oh iya aku bawakan mawar putih kesukaanmu kan? Kamu pasti senang kan?"
Adit tersenyum getir, ia mengusap lembut nisan Dinda dan merapikan sekitar makam gadis itu. Ia ingin makam itu terlihat bersih sampai kapan pun.
"Din, aku nggak tau kenapa semua masih susah buat aku ikhlasin. Kamu tau hidupku justru makin berantakan sekarang. Ya mungkin karena salahku juga. Tapi jujur sulit buatku bisa ngelupain kamu."
Aditya mengenggam tanah makam Dinda. Ia menahan segala rasa sakit yang tidak pernah bisa terhapuskan meskipun sudah tujuh tahun berlalu. Rasanya sungguh menyesakkan tanpa ia mampu melakukan apapun selain menyesali saat ini.
Selang beberapa menit menghabiskan waktu di tempat itu, ia bangkit dari makam Dinda. Pria itu pergi dari sana sebab tidak ingin kembali terlarut dalam kesedihan yang mungkin tak akan pernah ada habisnya.
Di kejauhan makam, ada sepasang mata melihat Aditya berada di makam Dinda. Sepasang mata penuh kebencian. Ia berjalan menuju makam Dinda saat Aditya sudah pergi dari sana. Diambilnya bunga dari Aditya. Dibantingnya ke tanah dan diinjaknya sampai bunga itu rusak tak berbentuk.
"Aditya tunggu pembalasanku!" ucapnya.
****
Aditya melajukan mobilnya ke restoran yang ia bangun. Ia ingin mengecek sekaligus menghabiskan waktu di sana. Hari Sabtu merupakan weeken yang mana otomatis perusahaan yang ia dirikan pun tengah libur. Sesampainya di restoran, ia segera masuk ke dalamnya dan meminta laporan keuangan restoran.
"Pak Aditya. Apakah ada yang bisa saya bantu?" tanya manager resto.
"Enggak. Saya cuman mampir. Kalian bekerja lah seperti biasa. Saya hanya ingin santai saja di sini."
"Baik, Pak, kalau begitu saya siapkan minum untuk Pak Aditya."
Aditya pun hanya mengangguk kecil. Ia melangkahkan kakinya ke sudut restoran yang menghadap ke pelataran luas pemandangan pegunungan. Ia duduk di saung tersebut. Menikmati udara segar di sana.
"Permisi, Pak. Ini minumannya."
Adit hanya menganggukan kepalanya. Ia bersandar pada tiang saung. Penyesalan menghinggapi lagi. Rasa sakit kembali merasuki dirinya. Namun sekarang Adit sudah bisa mengontrol diri sendiri. Tidak seperti pertama kali di tinggalkan oleh Dinda.
Drrtt! drrttt!
Ponsel Adit bergetar, ada pesan masuk di sana.
Reno
Bang, lo di mana? Gue mohon lo pulang Bang. Mama sama Papa mau cerai. Gue mohon pulang kasian Mama, Bang.
Deg!
Seperti tersambar petir, hati Aditya berkecamuk. Memang sudah empat tahun ia tidak pernah tahu kabar keluarganya. Lebih tepatnya tidak mau tahu karena ia merasa terbuang oleh papanya sendiri.
Hari ini pikirannya kalut, ia tidak bisa berpikir jernih. Segera ia bangkit dari tempat duduknya, tanpa meminum minuman yang sudah di siapkan, pria itu bergegas menuju rumahnya. Dengan tergesa-gesa ia pergi dan hanya meninggalkan pesan singkat pada siapa pun karyawan yang di temuinya untuk melanjutkan pekerjaan.
Ia segera melajukan mobilnya menuju kediaman keluarga. Ia memasuki jalanan menuju salah satu perumahan elit di Jakarta. Setelah sekian lama, sampailah ia di depan rumah besar itu. Aditya memarkirkan mobilnya sembarangan dan bergegas masuk dan mencari sang Ibu.
"Ma, Mama ... di mana, Ma?" panggil Adit.
"Bang di sini!" teriak Reno, adiknya.
"Mama. Kenapa? astaga apa ini? Kenapa berdarah? ini lebam ... siapa yang buat Mama begini? Dia?" tuduh Aditya.
"Sudah Nak, kamu jangan marah sama Papamu ya. Mama nggak kenapa-kenapa, Mama seneng liat kamu di sini Nak," ucap Andini yang mengusap lembut pipi Aditya.
"Enggak bisa! Dia udah nyakitin mama!"
Adit bangkit dari tempatnya, berniat memberi pelajaran pada Papanya sendiri. Namun, semua niat itu dicegah oleh Reno. Sang Ibu juga mencegahnya dengan lisan jika tidak perlu lagi ada perpecahan keluarga. Mamanya tidak ingin Aditya gelap mata dan mencelakai Papa kandungnya.
"Ma, sudah ... Mama cerai saja dengan dia. Dia memang orang yang nggak baik buat Mama!" tandas Adit menghakimi sang ayah.
Andini hanya bisa menangis. Dipeluknya wanita itu agar bisa tenang. Kekacauan ini, kekacauan yang Adit lihat menambah dendam di hatinya. Sudah lama ia tidak menyukai sikap sang ayah, hari ini semakin ia membenci pria paruh baya itu.
Sejak saat itu Ferlandio tidak pernah kembali lagi. Bahkan surat layangan perceraian justru hadir di rumah tanpa kehadirannya. Andini sudah pasrah dan sampai tiba saatnya sidang keputusan perceraian antara dirinya dan Ferlandio terjadi, dengan segala pertimbangan maka di putuskan bahwa mereka resmi bercerai.
Kali ini yang membuat geram Adit adalah ada wanita lain di samping papanya. Adit benar-benar menahan amarah sejak tadi. Begitu Ferlandio keluar dari ruang sidang ia segera mengikutinya. Pria itu memegang pundak papanya, ketika Ferlandio menoleh dan satu pukulan mendarat hingga Papanya tersungkur.
"Apa-apaan sih kamu! Ini Papa kamu sendiri," ucap wanita itu seolah membela Ferlandio.
"Diem lo jalang! Gara-gara lo semuanya jadi ancur anjing! Dasar w************n!" tukas Adit.
Sudah geram Aditya dari tadi melihat tingkah laku papanya. Ia ingin memukulnya sekali lagi, tetapi di halau oleh Reno adiknya. Andini pun nampak mencegah Adit dengan menyadarkannya bahwa orang yang dia pukul adalah tetap papa kandungnya.
Hingga, tanpa merasa perlu meminta maaf Ferlandio berlalu, Adit hanya bisa mengepalkan tangannya melihat kepergian sang ayah dengan wanita lain.
"Kenapa sih lo? Salah gue mukul bokap lo! Hah!" seru Adit sambil mendorong Reno -- adiknya.
"Bang bukan gitu caranya, yang terpenting sekarang bukan Papa, tapi Mama. Pikirin Mama dulu, Bang, lagian ini di tempat umum."
Adit pun tersadar akan hal itu, ia tahu bahwa mamanya lebih sakit melihat semua tingkah laku papanya daripada dirinya. Di dekati mamanya dan ia berada di depan beliau. Tiba-tiba Andini memegang tangan ketiga anak anaknya.
"Nak, mama minta maaf, mama belum bisa jadi ibu yang baik buat kalian, mama belum bisa mempertahankan papa kalian, maaf sekali lagi, Nak. Kalian tetap anak mama. Mama cuman pesen tolong kalian jangan pernah bertengkar ya, Mama sayang kalian semua...."
Seketika suasana menjadi haru, Adit hanya bisa memeluk mamanya. Hati Adit memang keras, seperti batu orang-orang mengatakannya.
Hidupnya sangat bebas namun satu hal yang selalu melekat di benak Adit ia tidak akan pernah mengijinkan mamanya di sakiti. Ia akan tantang semua orang yang menyakiti sang Ibu sekalipun itu keluarganya sendiri.
Ia sadar banyak menyusahkan mamanya dengan tingkah lakunya. Namun, yang perlu di ingat bahwa ia tetap ingin berbakti ke sang Ibu, sekalipun Adit tidak dapat mengungkapkannya secara terang- terangan.