Setelah pesanan sampai, Zein, Arumi, dan Juan makan dalam diam. Tak ada yang berniat membuka percakapan bahkan sampai selesai makan. Arumi yang biasanya banyak omong, kini jadi salah tingkah melihat sikap dingin yang Zein dan Juan perlihatkan. Dimata Arumi, Juan dan Zein jadi berkelahi gara-gara dirinya. Padahal Arumi tidak tau kalau keduanya memang tidak pernah akur sejak dulu.
"Akhir-akhir ini kau tampak sangat sibuk. Apa terjadi masalah di perusahaanmu Juan?" tanya Rumi
"Perusahaan itu masih milik papa Rumi, Juan hanya mengelolanya." ralat Zein.
Zein membenarkan ucapan Rumi karena tidak suka Rumi mengatakan kalau perusahaan ayahnya adalah milik Juan.
"Apa bedanya. Toh nanti perusahaan itu akan diwariskan pada Juan. Kenapa? Apa kau mulai tertarik pada perusahaan papamu? Kau bilang kau tidak ingin terjun ke dunia bisnis." bela Rumi.
Juan hanya tersenyum. Dimata Zein, senyum Juan terlihat seperti sebuah ejekan.
"Tidak terjadi apapun Rum. Dari pada membahas masalah perusahaan, bagaimana kalau kita membahas tentang Zein? Ku dengar malam itu kau membawa pacarmu, kenapa kami tidak dikenalkan padanya?" tanya Juan.
Zein mengumpat dalam hati. Awalnya Zein masih ingin merahasiakan hal tersebut dari Arumi karena sudah berencana menyatakan cinta pada gadis itu. Dengan satu pertanyaan, Juan langsung merusak segalanya.
Melihat senyum Juan yang penuh sindiran, Zein menatap Juan dengan tatapan tajam. Juan bersikap santai, seolah tatapan Zein tidak ada artinya bagi laki-laki itu.
"Kau sepertinya tidak suka, kenapa? Apa aku dan Rumi tidak boleh mengenal perempuan itu? Apa dia sangat jelek sampai-sampai kau ingin merahasiakannya? Tapi yang ku dengar justru sebaliknya. Papa dan mama bilang, dia sangat cantik." sambung Juan.
"Kau sudah punya pacar? Siapa? Apa aku mengenalnya? Kenapa kau tidak mengatakan apapun padaku? Kau sudah membawa gadis itu ke rumah? Kapan?" tanya Rumi penasaran.
Rumi tampak terlihat marah setelah beberapa saat nyaris syok mendengar Zein sudah punya pacar. Tapi sayangnya, Zein tidak melihat kilatan cemburu dari mata Arumi yang justru berbinar ceria.
"Dia bukan siapa-siapa. Lain kali akan ku kenalkan secara langsung padamu Rumi. Kami hanya berteman." kilah Zein.
"Kata mama dia sangat cantik dan ramah, aku jadi penasaran siapa wanita itu. Kalau dia sangat cantik, jangan lupa kenalkan padaku. Aku juga sangat menyukai wanita cantik." canda Juan.
Juan sengaja memprovokasi Zein dengan candaan yang sangat Zein benci.
"Apa kali ini dia akan mengubah sasarannya? Bukankah dia suka merebut apa yang ku punya? Bagaimana kalau Amora ku jadikan umpan?" batin Zein.
"Zein pokoknya kau harus mengenalkan wanita itu pada kami. Bagaimana kalau kau bawa dia di hari ulang tahunmu? Bukankah beberapa hari lagi kau ulang tahun? Kita berempat bisa merayakannya bersama-sama. Bagaimana Juan Apa kau setuju?" usul Rumi.
Zein mendengus pelan. Melihat Rumi yang begitu bersemangat, hati Zein justru merasa sakit.
"Aku ikut jika wanita itu ikut. Jika tidak kalian bisa merayakan pestanya berdua saja." ujar Juan.
"Kenapa?" tanya Rumi.
Rumi tampak kecewa dengan jawaban Juan. Gadis itu berharap mereka berempat bisa akur dan membuat acara bersama.
"Dia tidak akan suka jika aku datang dan mengganggu waktu kalian." jawab Juan sambil menunjuk ke arah Zein.
"Baguslah jika kau sadar. Bahkan saat ini pun kau sudah sangat mengganggu."
Akhirnya Zein terpancing emosi. Juan selalu sukses membuatnya kehilangan kontrol diri.
"Kalau begitu aku pergi. Sampai jumpa Rumi." ujar Juan cuek.
"Kalian kenapa sih?" tanya Rumi bingung.
Juan langsung berdiri dan tersenyum pada Rumi. Juan benar-benar bisa merusak suasana hati Zein.
"Juan tunggu. Apa aku boleh pulang bersamamu? Lagipula rumah kita berdekatan jadi Zein tidak perlu repot-repot mengantarku pulang. Iya kan Zein?" tanya Rumi.
"Kalau kau melakukan itu, seseorang pasti tidak akan suka. Pulanglah bersama Zein." balas Juan.
"Pergi saja." ujar Zein.
Zein terpaksa mengizinkan tanpa menoleh ke arah Rumi. Tangan laki-laki itu sudah terkepal menahan marah. Sekali lagi Zein gagal. Sialnya, Arumi selalu berlari ke pelukan Juan tanpa diminta.
"Apa sedikit saja kau tidak melihat perasaanku padamu, Rumi." geram Zein setelah Juan dan Arumi menjauh.
Karena kesal dan frustasi, Zein membawa mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Zein bahkan menabrak mobil orang karena tidak sempat menginjak rem saat lampu merah. Alhasil sang empunya mobil marah dan memukul Zein.
Zein yang memang sedang emosi, balas memukul orang itu dengan membabi buta. Beruntung banyak yang melerai perkelahian mereka. Jika tidak, mereka pasti berakhir di rumah sakit atau di kantor polisi.
Setelah sedikit lebih tenang. Zein memberikan kartu namanya pada orang tersebut dan minta dihubungi jika mobilnya sudah selesai diperbaiki. Berhubung orang itu juga merasa bersalah karena memukul zein lebih dulu, jadi orang tersebut memilih jalan damai dan hanya menuntut ganti rugi perbaikan mobilnya.
Zein pulang dengan muka lebam dan hidung yang masih mengeluarkan darah. Rasa sakit yang Zein derita, tidak lebih sakit jika dibandingkan sakit hati yang selama ini Zein pendam untuk Rumi. Entah kapan wanita itu akan menyadarinya.
***
"Zein ada apa? Kau berdarah." ujar Mora kaget setelah membuat pintu.
Zein mengabaikan Mora dan memilih masuk ke kamarnya. Mora yang khawatir langsung mengambil kain dan air dingin untuk membersihkan darah yang sudah mengering di wajah Zein.
Zein sedang merebahkan diri di atas tempat tidur saat Mora masuk. Kali ini Mora tidak peduli jika Zein marah dan bersikap kasar padanya. Mora tau Zein tidak suka jika Mora ikut campur dalam masalah pribadi laki-laki itu.
Dengan perlahan Mora duduk di samping Zein dan mulai membersihkan wajahnya. Zein diam saja. Zein hanya meringis jika sesekali usapan Mora terasa sedikit lebih kuat dan menyakitinya. Tak lupa Mora mengoleskan obat pada luka Zein.
Setelah selesai, Mora bermaksud ingin keluar dan meninggalkan Zein sendiri. Tapi Zein menahan gadis itu. Zein membenahi posisi dan duduk di samping Mora.
Perlahan Zein meraih sesuatu dari dalam saku celananya. Tanpa meminta persetujuan Mora, Zein langsung memasangkan sebuah kalung di leher Mora. Mora ingin menolak dan menahan tangan Zein, tapi Zein sama sekali tak memberi gadis itu pilihan.
"Kau sangat cantik Mora." puji Zein setelah kalung berinisial huruf A terpasang di leher Mora.
Zein menatap Mora lekat dan tersenyum sangat manis. Tak bisa di bayangkan seperti apa perasaan Mora saat ini. Gugup, bahagia, sekaligus takut. Jantung gadis itu berdebar kencang, seolah-olah akan keluar dari tempatnya.
"Ada apa ini? Kenapa aku begitu gugup? Mengapa rasanya berbeda saat bersama Reihan dulu?" batin Mora.
Mora yang masih kebingungan bahkan tidak menyadari kalau saat ini wajah Zein sudah begitu dekat dengan wajahnya. Tangan Mora langsung berpegang pada bahu Zein saat menyadari Zein semakin mendekat dan tidak menyisakan jarak diantara mereka. Dengan perlahan Zein mencium bibir Mora. Mora kaget setengah mati. Karena terlalu kaget, Mora tidak menghindar ataupun mendorong Zein menjauh.
Mulanya Zein hanya menempelkan bibir Mereka. Lama-lama ciuman itu berubah menjadi hisapan halus. Zein memperlakukan Mora dengan sangat hati-hati. Mora diam saja. Meski ingin, Mora tidak membalas ciuman Zein. Mora merasa Zein sedang terluka, bisa jadi besok Zein akan menyesali perlakuannya.
Mora mempererat pegangan tangan pada bahu Zein saat Zein semakin memperdalam ciumanya. Bahkan kini lidah Zein sudah menerobos masuk ke mulut gadis itu. Zein bermain dengan ahli. Seolah-olah bibir Mora adalah permen manis yang sangat enak untuk dinikmati.
Melihat betapa mahirnya Zein berciuman, Mora jadi bertanya-tanya sudah berapa banyak wanita yang Zein cium. Zein baru melepaskan ciuman saat mereka sudah sama-sama butuh pasokan oksigen. Mora langsung memalingkan wajah karena begitu malu.
"Maafkan aku Mora." ujar Zein pelan.
Zein berlalu dan masuk ke kamar mandi tanpa menatap Mora.
"Apa yang baru saja terjadi? Zein memberiku kalung, lalu dia menciumku, lalu dia meminta maaf. Apa maksudnya? Apa ciuman itu adalah sebuah kesalahan? Baru saja Zein menciumku, tidak perlu menunggu pagi untuk mengetahui kalau dia menyesal sudah melakukanya." gumam Mora tak kalah pelan.
Menyadari itu, Mora langsung membereskan kotak P3K milik Zein dan buru-buru meninggalkan kamarnya.
"Jadi bagi Zein ciuman itu hanya sebuah kesalahan? Lalu mengapa aku begitu senang? Apa aku sudah tidak waras?" umpat Mora setelah sampai di kamarnya.
"Pasti sesuatu telah terjadi. Kenapa Zein pulang dalam keadaan terluka? Apa Zein berkelahi dengan Juan? Tapi bagaimana mungkin mereka bertemu Juan? Jelas-jelas tadi yang kulihat Zein pergi bersama Arumi." gumam Mora.
Perlahan Mora menyentuh kalung yang beberapa saat lalu diberikan oleh Zein. Kalung berinisial huruf A bertabur mutiara itu, terlihat sangat cantik. Mora yakin harganya pasti sangat mahal.
"Apa jangan-jangan kalung ini untuk Arumi? Tapi namaku juga berinisial A."
Mora mulai berspekulasi untuk menyenangkan dirinya sendiri. Lagipula Mora berpikir dirinya akan segera pergi, jadi tidak ada salahnya jika Mora sedikit egois dan berharap kalau Zein mungkin saja punya perasaan lebih untuknya.
Mora terbuai dengan sisi lain yang Zein tunjukan. Mora pura-pura tidak tau kalau laki-laki itu sebenarnya tergila-gila pada wanita lain. Mora ingin menikmatinya. Menikmati kebersamaan bersama Zein yang akan segera berakhir.
"Jadi bolehkan kalau aku menganggap semua perlakuan Zein itu benar-benar tulus?" gumam Mora sebelum akhirnya terlelap.
Bersambung