Episode 9 : Kalung

1371 Words
Setelah bertemu Juan, Mora merasa ada yang tidak beres. Sejak hari itu, orang tua Mora tidak memberi kabar. Biasanya mereka berkomunikasi melalui status sss atau postingan sosial media lain. Mora bisa melihatnya melalui sosial media Siti pembantu di rumah Zein. Mora dan orang tuanya menemukan cara itu setelah tidak bisa berkomunikasi secara langsung. Parades, ayah Mora, takut nomor ponselnya disadap. Jadi beliau memikirkan cara itu untuk tetap terhubung dengan putrinya. Sesekali Mora juga membuat status melalui sosial media siti untuk mengabarkan kalau dia baik-baik saja. Beberapa hari ini pikiran Mora masih tidak tenang. Gadis itu mulai menebak-nebak apa yang sebenarnya sudah terjadi. Seketika Mora ingat ponsel yang diberikan Juan. Dengan cepat, Mora menghubungi satu-satunya nomor yang ada di ponsel tersebut. "Mora ada apa? Kenapa kau terlihat begitu gelisah? Ngomong-ngomong, kau beli ponsel baru?" tanya Zein. Mora langsung terlonjak kaget karena tidak mengetahui kedatangan Zein. Gadis itu buru-buru menyembunyikan ponsel ke belakang tubuhnya. Sejak Juan memberikan ponsel itu, ini kali pertama Mora menggunakannya. "Maaf aku tidak sadar dengan kedatanganmu." ujar Mora tidak berniat menjawab pertanyaan Zein. Mora langsung mengambil alih tas kerja Zein. Sudah beberapa hari ini Mora melayani kebutuhan Zein layaknya seorang istri. Setiap pagi sebelum Zein berangkat kerja, Mora akan menyiapkan pakaian dan membuatkan sarapan khusus untuk Zein. Setelah Zein pulang, Mora langsung membawakan tas Zein dan mengisi bathub dengan air panas agar Zein bisa berendam. Setidaknya hal-hal kecil seperti itulah yang bisa Mora lakukan sebelum Mora pindah dari rumah Zein. Saat Mora hendak keluar dari kamar Zein, dengan cepat laki-laki itu mencegahnya. "Mora tunggu sebentar. Ada yang ingin kutanyakan." ujar Zein. Mora menghampiri Zein yang sudah duduk di sofa dan memintanya ikut duduk. "Ada apa? Apa ini tentang Arumi?" tanya Mora. Sebenarnya hati Mora tidak nyaman saat mendengar nama Arumi keluar dari mulutnya sendiri. Tapi setiap kali Zein mengajaknya bicara, hal tersebut pastilah tentang Arumi. "Tidak Mora. Kali ini aku ingin tau tentangmu bukan tentang Arumi. Akhir-akhir ini kau berubah, ada apa? Kau memperlakukanku seolah aku ini majikanmu. Kau tamu di rumah ini Mora. Kau tidak harus melakukan tugas yang seharusnya dilakukan oleh Bi Siti. Aku sedikit tidak nyaman." tegas Zein. "Bukan, bukan begitu maksudku Zein. Aku senang melakukannya. Lagipula mana ada tamu yang menginap dan menumpang makan pada orang lain lebih dari setahun." balas Mora. "Jadi kenapa kau tiba-tiba berubah?" Mora menghela napas panjang. "Itu, sebenarnya aku akan pindah. Kurang lebih sebulan lagi." Zein tidak langsung menimpali. Laki-laki itu menatap Mora lekat. Gadis yang selama ini tinggal di rumahnya tanpa keluar selangkah pun, tiba-tiba berkata akan segera pindah. Zein tampak curiga. "Sejak kapan kau merencanakan akan pindah? Bahkan seingatku kau tidak pernah keluar dari rumah ini. Beberapa hari yang lalu kau sangat ketakutan dan tidak mau diajak keluar. Tapi kenapa tiba-tiba mengatakan ingin pindah?" selidik Zein. Zein bertanya tanpa sedikitpun melepaskan pandangan dari Mora. Seakan-akan Zein sedang menyelidiki sesuatu yang memang sengaja Mora sembunyikan darinya. "Itu, sebenarnya temanku yang waktu itu yang menyiapkan kepindahanku." jawab Mora. "Lalu apa kau tidak akan mengatakan padaku siapa temanmu itu? Jika dia datang ke pesta papa, artinya dia ada hubunganya dengan keluarga kami. Katakan Mora, siapa tau aku juga mengenalnya." kejar Zein. Lagi Zein bicara tanpa mengalihkan pandangan dari Mora. Mora mulai merasa risih, lebih tepatnya Mora takut jika Zein bisa membaca kebohongan dari matanya. Baru saja ingin menjawab, bel rumah berbunyi. Mora ingin membukanya, tapi Zein melarang Mora dan meminta Mora untuk segera ke kamar. "Siapa yang datang? Apa laki-laki gila itu? Atau Arumi? Kenapa Zein menginginkanku sembunyi? Ah sudahlah. Aku tidak berhak ikut campur urusan mereka." gumam Mora. Meskipun sangat penasaran Mora akhirnya memilih menuruti keinginan Zein. Sejak bertemu Juan, Mora selalu diselimuti ketakutan. Gadis itu takut Juan tiba-tiba datang dan menyeretnya pergi. *** Zein dan Rumi berencana untuk makan malam diluar. Zein sengaja meminta Mora sembunyi agar Arumi tidak salah paham saat melihatnya. Walaupun hari itu di pesta Arumi tidak sempat bertemu Mora, tapi Zein tidak bisa menggunakan Mora sebagai pacarnya lagi jika Rumi tau mereka tinggal di rumah yang sama. Katakanlah Zein jahat pada Mora, tapi mau bagaimana lagi. Zein tidak mungkin mengenalkan salah satu pegawai rumah sakit di depan Arumi karena jelas Rumi mengenal semuanya. Arumi juga tau siapa saja orang yang dekat dengan Zein. Mora satu-satunya pilihan yang tersisa. Apalagi Mora sangat cantik, jadi Arumi pasti percaya jika Mora dikenalkan sebagai pacar. Tapi rencana Zein gagal saat melihat Rumi menangis dan Zein malah berkelahi dengan Juan. "Zein kau masih belum mandi? Ini sudah jam 7 malam. Jadi pulang dari rumah sakit, kau keluyuran kemana dulu?" omel Arumi begitu melihat Zein. Arumi duduk di ruang tamu tanpa di minta. Sebenarnya tadi Zein mampir ke toko perhiasan terlebih dulu dan membeli sebuah kalung berinisial huruf A. Malam ini Zein berencana ingin mengungkapkan perasaan pada Rumi. "Kau makin cerewet Rumi apalagi saat kau sedang lapar. Tunggulah sebentar, aku akan mandi secepat mungkin." ujar Zein. "Cepatlah aku sudah lapar Zein." Rengek Rumi. "Cari saja makanan di dapur jika kau benar-benar sudah lapar. Tadi Bi Siti sudah masak." teriak Zein dari atas tangga. Biasanya Siti dan Mora memang sudah menyiapkan makan malam untuk Zein. Zein juga tidak khawatir Mora dan Rumi akan bertemu karena sudah mewanti-wanti Mora untuk sembunyi. Zein mandi dengan cepat dan bergegas memakai baju. Zein memandangi kalung berlian yang beberapa saat lalu dia beli. "Semoga semua berjalan lancar. Masalah Rumi akan menolak atau menerimanya tidak jadi masalah untukku. Yang terpenting sekarang adalah Arumi tau seperti apa perasaanku padanya." gumam Zein. Laki-laki itu menyemprotkan parfum kesukaan Rumi sebelum menemui Rumi yang sedang duduk santai di ruang tamu sambil memainkan ponselnya. Rumi sangat cantik. Rambut panjangnya yang selalu disanggul asal-asalan tidak mengurangi kecantikan yang dimiliki wanita pujaan Zein itu. Zein dan Rumi berangkat menuju restoran yang sebelumnya sudah Zein pesan. Zein memesan ruangan khusus agar tidak terganggu dengan pengunjung lainnya. Laki-laki itu tidak berniat membuat pengakuan dengan menyewa seluruh restoran. Bukan tidak mampu, tapi jika Zein melakukannya, maka Arumi pasti akan curiga. Sesampainya di restoran, perasaan Zein langsung tidak enak. Zein melihat mobil Juan terparkir tak jauh dari mobilnya. Kali ini Zein tidak hanya menebak-nebak. Zein ingat dengan pasti plat mobil Juan. "Apa kau mengajak Juan?" tanya Zein pelan. "Iya. Kupikir kita bisa makan bersama-sama. Lagipula tadi Juan bilang kalau dia belum makan. Makanya ku ajak sekalian." jawab Rumi. Mendengar jawaban Rumi, kepala Zein seakan mendidih. Zein marah tapi berusaha keras untuk menyembunyikannya. "Sial. Kenapa Arumi harus mengajak Juan? Apa dia tidak nyaman jika hanya makan berdua denganku?" umpat Zein pelan nyaris tidak terdengar "Kenapa? Apa kau tidak suka?" Rumi bertanya setelah melihat raut tidak suka dari wajah Zein. "Apa kau lupa kalau beberapa hari lalu kami baru saja berkelahi?" ujar Zein kesal. "Aku tau Zein. Lagipula Juan datang kesini atas permintaanku. Dia juga ingin meminta maaf secara langsung. Jadi kupikir tidak ada salahnya jika dia bergabung bersama kita." balas Rumi tenang. Berbeda dengan ketenangan yang diperlihatkan Arumi, Zein justru bersikap sebaliknya. "Terserah kau saja." ujar Zein pada akhirnya. Zein tidak ingin berdebat. Bagi Rumi segala sesuatu yang berhubungan dengan Juan pastilah benar. Juan tidak pernah salah dimata gadis itu. Zein hanya menebak-nebak sandiwara apa lagi yang akan dimainkan oleh Juan. Sandiwara yang sudah pasti akan membuat Zein muak. Sesampainya didalam Juan sudah menunggu. Arumi sudah memberi tau tempat yang akan mereka kunjungi pada Juan. Juan terlihat biasa saja, tidak nampak kalau beberapa hari lalu mereka sempat berkelahi. Bagi Zein, Juan memang hebat, hebat dalam berakting. "Maafkan kalau kau tidak suka dengan kemunculanku yang tiba-tiba Zein. Kupikir Rumi hanya mengajakku. Jika tau kau juga datang bersamanya, tentu saja aku menolak untuk ikut." ujar Juan. Zein berusaha untuk terlihat biasa dihadapan Juan dan Rumi. Menghadapi Juan, Zein harus menjaga ucapan. Jika tidak, Rumi pasti marah dan mulai menjauh dari Zein. "Sudahlah lupakan saja. Aku juga pasti membatalkan rencana jika tau kau akan datang." balas Zein. "Maafkan aku. Aku yang merencanakan ini. Aku tidak ingin kalian berdua bertengkar gara-gara aku. Makanya diam-diam aku mengajak Juan." ujar Rumi menengahi. "Sudahlah Rumi. Lagipula kita semua sudah disini, ayo kita masuk." ajak Zein Zein langsung menggandeng tangan Rumi dan mengajaknya masuk keruangan yang sudah Zein pesan. Juan mengekor dibelakang seolah tidak tau kalau dia sedang membuat seseorang kesal setengah mati. Terhadap Zein, Juan tidak pernah membuat masalah jika bukan Zein yang memulai terlebih dulu. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD