"Hei apa yang kau lamunkan pagi-pagi seperti ini? Kau sedang memikirkan wanita ya?" goda Arumi.
Suara Arumi membawa kesadaran Zein kembali. Zein tersenyum kaku menyambut kedatangan gadis cantik itu.
"Sejak kapan kau ada di ruang kerjaku? Apa pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Zein.
"Sejak tadi. Kau terlalu fokus memikirkan sesuatu sampai-sampai mengabaikan gadis secantik ini." canda Arumi.
"Aku sedang memikirkan hadiah apa yang akan kuberikan pada papa dan mama, Rum. Sebentar lagi acara ulang tahun perayaan hari jadi pernikahan mereka." jelas Zein.
"Astaga aku juga harus membelikan mereka hadiah. Kapan kau punya waktu luang? Bagaimana kalau kita mencarinya bersama-sama? Aku tidak sabar memilih hadiah yang manis untuk Om dan Tante." pekik Arumi.
"Ide bagus. Bagaimana kalau siang ini? Setelah pekerjaanku selesai, aku langsung menemuimu." usul Zein.
Arumi langsung mengangguk setuju. Sejak awal Zein memang ingin mengajak Arumi jalan. Hanya saja, Zein sedang mencari alasan yang tepat. Diam-diam Zein berharap semoga hari ini dia bisa mengungkapkan perasaannya pada Arumi. Jika terus menunggu tanpa keberanian, maka cepat atau lambat Zein pasti kehilangan gadis itu. Wanita secantik dan sepintar Arumi, tentu saja menjadi incaran setiap laki-laki normal.
***
Sudah lebih dari satu jam Arumi dan Zein berkeliling mencari hadiah. Mereka bahkan lupa makan siang karena terlalu bersemangat. Arumi dan Zein sepertinya sama sekali tidak merasa lapar dan lelah. Sesekali Zein mencuri pandang saat Arumi tengah memilih gaun.
"Zein apa gaun ini cocok untukku? Aku ingin memakainya saat datang ke pesta orang tuamu nanti." tanya Arumi.
Arumi berputar-putar dengan gaun navy panjang yang kini sedang dicobanya. Sangat kontras dan serasi dengan warna kulit Arumi yang putih bersih. Zein langsung mengacungkan jempol tanda setuju dengan gaun tersebut.
"Pakai gaun apapun kau tetap terlihat cantik, Rumi." puji Zein.
Arumi tersenyum senang dan segera mengganti bajunya. Pukul 2 siang saat mereka memutuskan untuk mengisi perut. Arumi tanpa malu-malu langsung menyantap mie ayam yang beberapa saat lalu mereka pesan. Sepertinya Arumi baru sadar kalau perutnya sudah kelaparan sejak tadi. Tingkah Arumi yang seperti itu, sudah sangat biasa bagi Zein. Tidak ada sikap canggung atau malu-malu saat mereka sedang bersama.
"Pelan-pelan Rumi. Kau makan seperti sedang di kejar anjing gila." ujar Zein.
"Namanya juga lapar. Ngomong-ngomong, apa akhir-akhir ini kau tau apa yang sedang dikerjakan Juan? Sepertinya dia semakin sibuk. Pesanku sama sekali tidak dibaca." tanya Arumi.
Tiba-tiba kepala Zein berdenyut nyeri. Zein tidak suka saat Arumi menanyakan keberadaan Juan saat sedang bersamanya. Arumi yang tidak peka, justru menganggap hal itu sebagai hal yang biasa.
"Kenapa kau harus menyebutkan nama laki-laki itu saat sedang bersamaku?" tanya Zein.
"Aku hanya bertanya karena berpikir kau mungkin tau sesuatu. Apa susahnya jika dijawab saja." ujar Arumi cemberut.
"Kau mengharapkan jawaban seperti apa? Kau tau kan kami tidak tinggal satu rumah. Jadi secara otomatis aku tidak tau kesibukan apa yang sedang dijalani Juan." ujar Zein.
"Kupikir kalian saling berbagi cerita meskipun tidak tinggal satu rumah. Akhir-akhir ini Juan jadi mudah emosi dan sulit di dekati, makanya aku ingin tau ada apa dengannya. Apa kau mau membantuku mencari tau Zein?" tanya Arumi penuh harap.
Arumi lagi-lagi tidak peka. Arumi tidak tau kalau selama ini Zein dan Juan tidak akur. Sepertinya Arumi juga tidak mengerti alasan apa yang membuat Zein pergi dari rumah. Padahal Zein pikir mereka sudah sangat dekat dan tau segalanya.
"Akan kucoba. Nanti aku akan mampir ke rumah untuk mencari tau. Apa kau mau ikut?" tanya Zein.
Dalam kondisi seperti itu, Zein selalu mengalah. Asal Arumi bahagia, Zein pasti melakukan yang terbaik. Arumi langsung berdiri dan memeluk Zein sambil mengucapkan terima kasih. Andai Arumi tau seperti apa perasaan Zein saat itu. Zein kehilangan kesempatan untuk mengungkapkan isi hatinya pada Arumi. Hanya dengan menyebut nama Juan, Arumi langsung bersemangat. Sementara Zein, sejak nama Juan disebut, Zein langsung kehilangan semangat.
***
Prang. Amora yang hampir memejamkan mata langsung terbangun begitu mendengar suara gelas pecah yang berasal dari dapur. Amora bergegas keluar, mengambil sapu dan sekop untuk membersihkan pecahan gelas seperti biasanya. Siti yang sama terkejutnya dengan Amora, ikut keluar dari kamar.
"Biar Mora yang membereskannya , Bi. Bi Siti tidur lagi saja ini sudah jam 10 malam." ujar Mora.
Siti hanya mengangguk dan masuk kembali ke kamarnya. Wanita paruh baya itu tampak menguap sambil geleng-geleng kepala. Meskipun sudah biasa, baik Amora maupun Siti, masih sering terkejut dengan kelakuan Zein.
Dengan pelan Mora bersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai. Zein menatap Mora yang juga tengah mencuri tatap ke arahnya.
"Tunggu apa Zein menangis? Apa yang terjadi? Jangan-jangan kali ini bukan tentang Arumi?" batin Mora.
Mora jadi khawatir dan mendekat ke arah Zein. Jika saja Mora boleh melakukannya, tentu saja Mora sudah memeluk laki-laki itu.
"Zein ada apa?" tanya Mora cemas.
"Jangan ikut campur Mora. Apa kau sudah lupa dengan perjanjianya? Atau kau mau keluar dari rumah ini malam ini juga?" bentak Zein.
Mora langsung diam mendengar bentakan Zein yang dingin dan kejam. Seketika Mora merasa bersalah. Harusnya Mora tidak menanyakan apa-apa. Mora segera menyelesaikan tugas dan bergegas pergi dari hadapan Zein sebelum Zein semakin marah dan mengusirnya malam itu juga.
Baru saja masuk ke kamar, Mora kembali keluar. Mora khawatir. Mora takut Zein akan melakukan hal yang berbahaya. Saat marah, Zein sangat mengerikan dan bisa melakukan apa saja. Bisa dibilang emosinya tidak terkontrol dengan baik.
Mora memperhatikan Zein dari jauh. Zein masih duduk di sana dengan tangisnya yang kini pecah. Mora yakin kali ini bukan tentang Arumi. Ini pertama kalinya Mora melihat Zein yang begitu rapuh. Rasanya Mora ingin memeluk Zein dan mengatakan padanya bahwa semua akan baik-baik saja.
"Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya orang yang kebetulan di tolong oleh Zein. Apa yang kupikirkan? Aku tidak berhak menghawatirkan laki-laki itu." gumam Mora sembari kembali ke kamar.
***
Sejak kejadian malam itu Zein jadi semakin dingin. Zein tidak pernah tersenyum lagi, bahkan Zein tidak akan bicara jika bukan kalimat perintah atau sedang ingin bertanya. Zein berubah. Persis seperti Zein saat pertama kali Mora bertemu dengannya dulu.
Kerap kali Mora mendapati Zein pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Mora ingin bertanya tapi takut hanya akan membuat Zein marah. Diam-diam Mora terus menghawatirkan laki-laki itu. Zein tidak sedang baik-baik saja tapi Mora justru tidak bisa melakukan apa-apa.
Hari itu Zein memanggil Mora. Setelah sekian lama, Zein akhirnya mau bicara. Mora sedikit tenang dan lega.
"Mora aku butuh bantuan." ujar Zein
"Bantuan? Bantuan apa Zein?" tanya Mora bingung.
Ini kali pertama secara resmi Zein meminta bantuan Mora. Biasanya hanya bantuan sederhana atau permintaan tolong yang mudah.
"Apa kau bisa menemaniku datang ke acara ulang tahun pernikahan papa dan mama?" tanya Zein.
Mora diam. Zein menatap Mora penuh harap. Dalam kondisi seperti itu Mora jadi tidak tega untuk menolak. Hanya saja, setahun ini Mora tidak pernah meninggalkan rumah karena takut tertangkap oleh orang itu, orang yang sampai sekarang mungkin saja masih mencarinya.
"Tenang saja Mora. Kita tidak kemana-mana kecuali ke rumah orang tuaku. Lagipula tamu yang diundang cuma keluarga dekat dan kolega papa." bujuk Zein.
Mora masih diam. Mora mulai mempertimbangkan perkataan Zein. Ketakutan yang beberapa saat lalu menyelimuti wajah Mora, perlahan mulai pergi.
"Baiklah. Tapi Zein apa aku cocok datang ke acara seperti itu? Lagipula orang-orang akan salah paham jika kau membawaku." ujar Mora.
"Aku memang mengharapkan itu Mora. Biarkan mereka salah paham. Setidaknya dengan mengajakmu, aku tidak terlalu kesepian di rumah besar itu." balas Zein.
Mora bingung mendengar ucapan Zein. Mora mulai memikirkan hubungan Zein dengan keluarga besarnya. Walaupun ingin bertanya, tak sepatah kata keluar dari mulut gadis itu. Mora takut Zein akan marah lagi seperti terakhir kali.
"Aku akan menemanimu Zein. Tapi kau tau sendirikan aku tidak punya gaun atau apapun untuk dibawa ke pesta orang tuamu." ujar Mora pada akhirnya.
"Soal itu kau tenang saja. Akan kusiapkan semuanya untukmu. Tapi kau harus berjanji satu hal padaku Mora, bersikaplah seolah-olah kita ini memang pasangan di hadapan semua orang. Terutama dihadapan Arumi dan Juan." perintah Zein.
"Akan ku lakukan yang terbaik untukmu Zein." balas Mora.
Zein langsung pergi setelah menyampaikan maksudnya. Ada perasaan senang juga perasaan cemas dalam hati Mora. Ketakutan itu kembali menghantui benak gadis itu. Bagaimanapun orang yang mengejar Mora juga seorang pengusaha. Mora takut kebetulan yang tidak disengaja, justru akan mempertemukan mereka.
Banyak kemungkinan yang akan terjadi. Apapun itu, Mora tidak sendiri. Ada Zein bersamanya. Jika kemungkinan seperti itu benar-benar terjadi, mau tidak mau Mora harus menghadapinya. Tidak mungkin selamanya Mora harus menyembunyikan diri di balik bayang-bayang Zein.
Bersambung