Tamu yang Tidak Diharapkan
Seorang pembunuh based on order yang hidup dari permintaan untuk kematian satu orang ke permintaan ke akhir dari nyawa orang lainnya. Berusaha mencari justifikasi untuk segala tindakannya. Walau cairan merah kehidupan telah mengalir keluar dari banyak tubuh menciptakan genangan demi genangan tidak terduga yang tak diharapkan siapa pun.
Kita hanya bertanya-tanya... apa gerangan selanjutnya yang akan ia lakukan? Bagaimanakah petualangannya? Atau... perjuangannya?
Perjuangan? Pantas kah kita sebut seseorang yang telah melukai begitu banyak manusia tenga berjuang? Berjalan di atas genangan cairah merah kehidupan serta air mata luapan kesedihan yang menetes dari tebing pipi banyak orang. Sungguh menyedihkan. Sangat menyakitkan. Namun, apakah kita memiliki hak untuk beri keputusan? Seolah semua manusia memiliki bagian dari wewenang Tuhan...
Ssstt!!!
.......
Satu utas nama dewa kematian dalam cerita legenda negeri yang terletak di bagian barat laut benua Eropa itu, Dullahan "the Grim Reaper" (Dullahan Sang Dewa Kematian), memang sudah sangat terkenal di Indonesia sejak beberapa waktu terakhir. Namun, untuk siswa Sekolah Menengah Atas yang sangat sok sibuk macam Sebastian. Info yang begitu sederhana seperti itu pun seolah menjadi suatu hal yang sangat baru. Ia "sungguhan" baru tahu. Bahwa saat ini negeri pertiwi tengah dalam cengkraman ketakutan yang disebabkan oleh teror pembunuh based on order misterius. Yang "berusaha" mendompleng nama besar Dullahan "the Grim Reaper". Dengan menggunakan nama julukan "Dullahan the Grim Killer" (Dullahan Sang Pembunuh yang Kelabu). Ketika supir pribadi yang mengantar anak remaja itu ke sekolah. Secara accidentally (tidak sengaja) memancingkan obrolan mengenai topik yang berhubungan dengan hal itu.
Selama ini Sebastian memang sangat jarang tertarik pada perkembangan berita apa pun macam dan jenisnya. Tapi, topik yang menyangkut tentang Dullahan the Grim Killer. Yang keberadaannya telah meresahkan semua orang belakangan ini. Tiba-tiba saja mampu menarik perhatiannya. Sepanjang perjalanan ia terus memikirkan topik itu sekalipun supirnya tak lagi mengatakan apa pun perihal sang pembunuh bayaran Dullahan the Grim Killer.
Soal itu... sebenarnya ada alasan di baliknya...
Ayah dari remaja itu sendiri merupakan seorang pejabat opemerintahan sekaligus seorang pengusaha ternama di negara Indonesia. Sebastian selalu dibesarkan dengan pengetahuan bahwa seluruh dunia berada di bawah telapak kakinya. Semua itu sendiri berkat keberlimpahan harta yang ia punya. Awalnya memang terasa sangat menyenangkan. Sebagai seorang anak kecil. Diberi pengetahuan bahwa semua hal yang ada di dunia ini. Merupakan hanya milik kita seorang.
Namun, semakin tumbuh dewasa... kenyataan menampar remaja itu dengan keras dan nyata. Semua yang awalnya ia anggap sebagai suatu berkah. Lama kelamaan mulai terasa seperti musibah. Karena terus saja didera oleh rasa bosan yang tak berkesudahan. Itu sangat menyebalkan. Semua yang ia inginkan selalu dapat terpenuhi dengan mudah. Pandangan bahwa setiap orang yang tak sepadan adalah sampah... terasa sangat mengungkung kebebasan cara berpikir serta jiwa mudanya.
Ia hidup dalam rasa bosan yang tak memiliki ujung. Kehidupan di rumah terasa sangat persis seperti di neraka. Walau ia belum pernah ke neraka juga. Paling tidak ia bisa membayangkan betapa kosong dan hampanya peristirahatan bagi para pendosa.
Mobilnya memasuki pekarangan dari komplek pendidikan Sekolah Menengah Atas Internasional Quentin Jaya Laga. Salah satu lembaga pendidikan swasta paling baik yang berdiri di negara ini. Sebuah fasilitas pendidikan di mana nyaris semua anak kaya satu negara ini berkumpul untuk menuntut ilmu. Sekolah yang telah berdiri selama enam puluh tujuh tahun itu tak diragukan lagi telah mencetak banyak lulusan yang mampu mengambil peran besar dalam putaran rotasi dunia.
Semua itu persis seperti visi dan misi awal berdirinya lembaga tersebut. Quentin atau yang memiliki arti: para pendamba masa depan. Dan Jaya Laga atau yang memiliki arti: victorious fight (pertarungan menuju kemenangan). Singkatnya bermakna: the battle of victory for future aspirants atau yang memiliki arti pertempuran menuju kemenangan untuk calon pemilik masa depan.
Kehidupan di sekolah yang dari namanya saja sudah mengandung banyak doa itu. Pada mulanya pun amat sangat membosankan untuk Sebastian. Memang ia berhasil bertemu dengan para anak yang berasal dari kelas sepadan dan setara. Tapi, sikap yang ia lihat dari pola interaksi mereka malah membuatnya semakin merasa muak pada diri sendiri.
Akh, apakah aku juga terlihat seperti mereka di mata orang lain? Sangat memuakkan sekali, pikirnya dalam hati saat itu.
Di pinggir jalan menuju gedung sekolah utama. Tampak tengah menunggu seorang pemuda berpenampilan culun bertampang siswa kutu buku. Yang jika di film bertema sekolahan atau cerita zero to hero. Merupakan gambaran sempurna untuk karakter yang akan menjadi korban perundungan oleh semua anak hits di sekolah. Anak remaja itu sendiri memiliki model rambut yang klimis. Berponi rapi dan dijepit miring. Tidak lupa ia juga mengenakan sebuah kacamata semi besar dengan bingkai berwarna biru tua. Yang membingkai sepasang manik cokelat hingga menambahi kesan culun punya-nya.
Remaja laki-laki itu bernama Astin. Ia melirik sarkastis ke arah Sebastian yang baru saja tiba di dekat sana. “Astin BARU SAJA menunggu di sini selama satu jam, bung,” ucapnya datar seolah bisa menebak perasaan Sebastian. “Pasti itu hanya sebentar untuk orang yang bisa membeli waktu dengan banyak uang.”
Sebastian langsung meringis kecil dan menutup bibir dengan punggung tangan. Sikap Astin yang polos, baik, dan selalu apa adanya... entah bagaimana memang selalu sukses memberi secercah harapan pada perasaan Sebastian yang sedang suntuk dan kesusahan.
Astin tidak sama seperti anak biasa yang keberadaannya mendominasi para siswa di sekolah ini. Yang akan selalu bersikap angkuh, jaga image, dan sok tinggi. Ia begitu sederhana dan selalu ramah kepada siapa pun. Bahkan kepada orang yang tak ia kenali. Ia selalu bersikap dengan baik sendiri karena memiliki kemampuan untuk memahami rasa sakit yang dirasakan oleh orang lain di sekitarnya.
Mungkin karena dia adalah seorang anak yang sangat miskin. Ia merupakan anak dari keluarga “biasa” yang memiliki cita-cita untuk menjadi seorang ahli forensik. Keteguhan tekad dan kepercayaan diri membuat ia nekat untuk bersekolah di sekolah elit para anak yang berasal dari keluarga kaya raya dan juga berbakat.
Sebastian ingat kalau anak bermata satu itu pernah berkata padanya dulu, “Sekolah mahal dan jauh sama sekali bukan masalah. Asal memiliki mutu yang baik.”
+++++++
Persahabatan antara anak yang kaya yang "biasa" saja dan anak biasa "saja" yang memiliki ambisi menggelora di dalam jiwanya. Bagaimanakah kelanjutan dari kisah mereka?