TRAGEDI HUJAN LEBAT

1058 Words
“Selamat ya Tiek,” ucap Nazwa Hafizah atau Nazwa pada Aditya Purnama Wajendra atau Tya. Saat ini Tya sedang mengunjungi ibunya yang menjadi pembantu di rumah tangga Nazwa. Tya melaporkan dirinya mendapat beasiswa di Semarang untuk kuliah menjadi guru TK sesuai dengan idamannya. “Terima kasih, Nyonya. Terima kasih,” jawab Tya. Memang di keluarga dia biasa dipanggil Tya. Tapi di sekolah mau pun di tempat umum dia biasa dipanggil TITIEK sehingga nyonya Nazwa taunya dia ya Titiek bukan Tya. “Terus pie Nduk? Kamu jadi kost di Semarang sesuai dengan tempat kuliahmu itu?” tanya Idah Syahidah, ibunya Tya. “Jadilah Bu, masa aku nggak ambil. Ibu kan sudah bilang kalau aku keterima Ibu rela aku tinggal. Apa sekarang Ibu melarang biar aku nggak berangkat ke Semarang?” Tya tak akan ngotot bila ibunya melarang. Mereka hanya tinggal berdua, tentu kalau ibunya keberatan dia tak akan memaksa. Semua tergantung restu sang bunda saja. “Aku nggak tahu Bu kalau mau kuliah di sini tuh biayanya ya berat juga. Di sana aku hanya bayar kost saja. Tapi aku akan berupaya terus menghasilkan uang sehingga aku nggak minta uang lebih dari Ibu. Nggak akan minta lebih. Aku pasti tetap akan berupaya seperti biasa. Ibu tahu kan selama ini aku sudah biasa dapat uang. Jadi tenang saja,” Tya selalu terbuka dan diskusi semua persoalan dengan Ibunya, terlebih sejak ayahnya meninggal. Hanya ibu teman sejatinya. “Iya Nduk kalau kuliah di sini tentu biayanya lebih besar karena bayar kuliah walau tak bayar kost. Ibu nggak sanggup kalau hanya mengandalkan penghasilan Ibu dan penghasilan kamu. Nanti kuliahmu malah tersendat karena banyak kebutuhan yang tidak kamu penuhi. Lebih baik ya sudah di Semarang saja. Ibu rela kok. Ibu kan tadi tanya bukan melarang,” jawab Idah lembut, dia usap kepala anak gadisnya. Anak yang sangat menurut dan tak pernah membuatnya susah. “Iya Bu, aku mengerti,” jawab Tya “Ini sudah mau sore, aku pulang ya Bu,” kata Tya, dia bersiap untuk pulang memang ibunya selama ini Senin sampai Jumat selalu menginap di rumah majikannya. Nanti Jumat sore sang ibu akan pulang sampai hari Senin pagi. Tya sudah biasa sendiri, sejak ayahnya meninggal dulu. Selama masih ada ayahnya dia bersama ayahnya di rumah. Kalau ayahnya kerja ya dia yang masak atau kadang ayahnya yang masak. Mereka memang dari keluarga kurang tapi tidak berkekurangan. Setidaknya penghasilan ayahnya sebagai buruh tani masih mencukupi untuk kebutuhan mereka bertiga. Ayah Tya juga ringan tangan, sehingga selain buruh tani ayahnya juga dipanggil untuk membantu apa pun dan itu membuat kehidupan mereka sangat cukup. Kalau untuk makan dan sekolah saja tak pernah kekurangan, tak pernah Tya mengalami penunggakan SPP atau apa pun karena selain Tya juga mendapat beasiswa, Tya juga pseperti ayahnya, rajin bekerja dan menabung. Ayah Tya mencukupi semua kebutuhannya bahkan mereka punya tabungan. Jadi bukan dari keluarga yang berkekurangan walau dibilang cukup ya hanya sekadarnya saja. Yang pasti hidup mereka tidak minus dan mereka bernaung di rumah yang cukup. Rumah mereka hak milik sehingga kalau ada sedikit kerusakan langsung dibetulkan oleh ayah Tya sehingga rumahnya rapi dan bersih. “Tapi ini gerimis Nduk, nanti tunggu sebentar saja mungkin sebentar lagi reda,” cegah Idah, dia tak ingin Tya demam karena kena gerimis. “Ya sudah aku bantu di dapur saja sambil nunggu gerimis reda,” Tya memang rajin. Tak perlu disuruh, selalu membantu tanpa diminta. ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈ Ternyata hujan bukannya berhenti malah semakin deras dan sangat deras. Tentu saja Tya menjadi tak bisa pulang. “Sudah kamu di sini saja,” bujuk Nasti dan Warsih, dua pembantu lainnya teman Idah. “Iya, nanti aku di sini sampai hujan reda. Kalau gerimis aku akan lari pulang. Aku tidak bawa baju ganti juga tidak berniat apa pun. Tadi aku hanya ingin memberitahu ibu bahwa aku tembus beasiswa untuk ke Semarang saja Bude,” jawab Tya. Hari semakin malam. Saat itu semua pegawai sudah masuk ke kamar masing-masing. Sudah jam 09.00 malam sehingga tidak mungkin lagi Tya pulang. Jam 09.00 malam jalan di kampung tentu sudah terlalu berbahaya walau Tya naik motor. Tapi tetap saja ibunya tidak memperbolehkan dia pulang karena sudah jam 09.00 malam. Tya tak bawa baju, dia ganti celana panjang dan kaos dengan daster ibunya. Niatnya sehabis shalat subuh besok dia akan pulang. ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈ ‘Siapa itu? Mengapa ada benda jatuh?’ kata Tya, saat ini jam 10.00 tentu saja dia belum tidur dia masih mengamati media sosial, namanya anak gadis zaman sekarang pastilah dia membuka media sosial. Hujan di luar super deras, suara petir sahut menyahut. Tya langsung mengendap keluar. Ada benda jatuh di ruang makan. “Tidak Tuan, tidak Tuan, sadar,” kata Tya, tapi dia sudah ditangkap oleh Samudera Ganendra Pusponegoro atau Dera, majikan lelakinya. Benar-benar Tya tidak bisa memberontak. Dera sang Tuan entah mengapa tiba-tiba membekap mulutnya dan dia langsung mendekati walaupun gadis tersebut berontak. Tya benar-benar takut. Tak pernah selama ini tuannya seperti itu tentu saja dia sangat takut. Tapi apa mau dikata tenaga tuannya sangat kuat. Akhirnya apa yang tak diinginkan oleh Tya pun terjadi, tuannya melepas banyak bibit di dalam rahimnya. “Tidaaaaaaaaaaak!” teriak Tya pada saat mulutnya lepas dari tangan tuannya. “Tolooooooooooooong!” teriak Tya lagi, tapi tuannya tak peduli dia menjatuhkan tubuhnya di samping tubuh Tya. Memang daster yang Tya gunakan tidak terbuka, tapi celan4 d4lam sudah dilucuti dengan sabar hingga robek oleh tuannya. Dan tuannya sekarang sedang terengah-engah tak berdaya karena habis melampiaskan nafsunya. Teriakan Tya membuat semua penghuni rumah keluar. Saat itulah Nazwa tak percaya suaminya masih terkapar di samping tubuh Tya yang juga tidak bisa bangun. Ibu Tya pun langsung memeluk putrinya, dia tak percaya tuannya melakukan hal itu di tempat terbuka. Bukan di kamar melainkan di bawah meja makan. Jadi tidak diseret ke kamar melainkan di bawah meja makan. Tidak di kolongnya hanya di samping kursi meja makan saja. Nasti dan Warsih teman Idah di rumah Nazwa juga tak percaya majikan mereka seperti itu. Dibantu oleh Nasti dan Wasti Tya dibawa ke kamar Idah. “Maaf, temani aku ke motor saja, aku akan langsung membawa Titiek untuk pulang saja. Bahaya dia di sini terus,” kata ibu Idah. Dia membawa semua barang dan pakaiannya dari rumah itu, tak ada yang dia sisakan. Sementara Dera ternyata pingsan dia juga tak bisa dimintai keterangan Nazwa bersama Hamid, sopir Dera dan Mujiono, sopir Nazwa membawa sang suami ke kamar dan memanggil dokter. ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD