CHAPTER DELAPAN : Ex Room Mate (1)

2257 Words
            Marshanda tengah mengeringkan rambutnya ketika telepon genggamnya berbunyi.             Segera dituntaskannya kegiatannya mengeringkan rambut lalu meraih telepon genggam tersebut. Ia tersenyum semringah mendapati notifikasi pesan masuk yang terdapat di sana. Dikliknya dengan cepat untuk membacanya.              From : Bianca Handayani Purnomo             Sha, apa kabarnya? Kerjaan lancar kan? Personal Life gimana? Sudah seimbang, dong? Aku kepengen banget telepon nih. Uuuh..., I have something to tell you. Udah nggak sabar banget mau cerita dari kemarin-kemarin. Just let me know, kalau kamu lagi senggang. Thanks, ya.              Marshanda segera mengetik pesan balasan yang singkat, jelas, dan padat.             To : Bianca Handayani Purnomo             Hai Bi, kasih aku waktu 5 menit, ya. Aku gantung handuk sama ambil air minum dulu ya, buat di kamar. Baru kelar mandi, tadi.             Dengan sekali guliran ibu jari, dikirimnya pesan tersebut.             Dan pesan balasan dari Bianca, mantan teman sekamarnya ketika dia masih kuliah sambil bekerja di Singapura itu segera masuk.              From : Bianca Handayani Purnomo             Ok. Take your time :)  Nanti kita video call-an aja, ya.              Dan dasar seorang Bianca sudah lumayan lama tinggal di negara singa itu, dia benar-benar dapat mengadaptasi bagaimana disiplin dan tepat waktunya warga di sana. Tepat di menit ke lima, panggilan video darinya telah menyapa Marshanda.              “Hallo, Sha, apa kabar?” sapa Bianca ceria.             “Hei, Bi, kabar baik. Kamu juga, kan?” Marshanda balik bertanya.             “Ya dong, sangat baik malahan,” ucap Bianca dengan wajah super cerah.             Marshanda sangat senang mendengarnya.              “Good. Praise The Lord. Ngomong-ngomong, itu muka, berseri-seri banget. Hayo, berita penting ini pasti. Kamu baru dipromosikan ya? Atau apa? Ayo, buruan cerita, aku sudah nggak sabar buat mendengarnya,” sambut Marshanda setengah mendesak.              Bianca tersenyum simpul.             “Sha, tebak dikit kenapa? Ih, kangen tahu nggak sama kamu. Sekali waktu datang kemari dong, pas weekend gitu. Terus kita seru-seruan bareng seperti dulu. Seharian muterin China Town atau keluar masuk Little India, atau jalan-jalan sore di seputaran Orchard gitu. Masa sesibuk itu sih, Sha sampai belum sekalipun ke sini semenjak balik ke Jakarta? Ah! Nggak banget temanku satu ini,” cerocos Bianca, berusaha mengorek kenangan mereka selama sekian tahun menjadi room mate di Singapura.              Sesaat pikiran Marshanda melayang ke masa-masa tersebut. Masa di mana seringkali dia sampai harus setengah digeret oleh Bianca untuk sekadar menemani menonton bioskop, makan bersama di luar atau menikmati pertunjukin musik. Marshanda juga teringat, Bianca ini paling anti langsung pulang ke apartemen yang mereka sewa, kalau pulang dari mengikuti misa di hari Minggu.             Sementara Marshanda mengatakan, “Pulang misa itu mustinya langsung balik ke rumah. Biar berkatnya itu dibawa ke rumah,” maka Bianca berpikir sebaliknya. Bianca selalu bilang bahwa hari Minggu itu waktunya mereka bersenang-senang, dan waktu sepulang dari gereja tentu waktu yang paling tepat bagi mereka untuk sekalian menghabiskan waktu bersama teman-teman gereja mereka.              “Kapan lagi? Kita tuh bisa dibilang cuma seminggu sekali lho Sha, bisa ketemu sama mereka. Kita kan nggak seaktif itu ikutan komsel[1] karena kesibukan anggota komsel kita. Intinya, komselnya kita itu nggak seperti komsel yang lain. Ini sudah seperti hidup segan mati pun ogah. Ayolah, Sha! Kita makan, nonton, santai-santai, baru setelah itu pulang. Enak lho, kalau ada kesempatan begini tuh, jadi bisa saling berbagi cerita,” selalu itu yang diucapkan oleh Bianca dengan nada membujuk namun sejatinya membalut dengan unsur memaksa, setiap kali ‘menculik’ Marshanda untuk ‘hang out’ bersama. Dan biasanya, Marshanda menyerah, lantaran mengakui kebenaran kata-kata Bianca.              Terkenang akan masa-masa itu, tentu saja seberkas rindu menyelinap di benak Marshanda.              “Bi, Bi, sama. Aku juga kangen. Banget. Tapi masih belum bisa janji buat ke sana dalam waktu dekat. Kerjaan lagi banyak-banyaknya ini, Bi. Sabtu aja kadang ada meeting dadakan. Jadi kalau hari Minggu, suka kuhabiskan dengan malas-malasan di unit,” kata Marshanda.              Bianca memasang wajah sok kaget yang demikian menggemaskan, membuat Marshanda semakin didera rasa rindu saja pada temannya yang satu itu.              “Geez! Ampun deh, Marshanda! Aku kirain pas kamu balik ke Jakarta, sikap gila kerja-mu itu bakalan sembuh. At least, sedikit berkurang kadarnya. Ternyata perkiraan aku keliru. Makin parah, iya. Uh. Sudah kejawab deh, kalau begitu. Personal Life-nya nggak balance itu. Artinya, kalau mialnya aku yang main ke Jakarta juga belum tentu kamu punya waktu cukup buat menemani aku keliling ke tempat-tempat yang asyik, hunting makanan gitu,” timpal Bianca kecewa.              Marshanda menimpali dengan tertawa kecil.             “Halah. Seperti kamu mau datang ke sini saja. Orang pulang ke Surabaya saja kamu ogah,” timpal Marshanda, kelepasan menyebut nama kota asal Bianca.              Mendadak, selintas muram terbayang di wajah Bianca.             “Eit, sorry. Just forgot what I said. I did not mean to remind you about...,” sesal Marshanda yang segera menggantung ucapannya. Ia menyesal sempat menyingung soal kota Surabaya segala.             ‘Oh my God. Luka itu masih ada. Aku tahu luka perlu waktu untuk sembuh. Tapi Bi, kenapa begitu lama? Kamu bukanlah aku. Kamu itu jauh lebih cepat dalam merespon segala sesuatu,’ keluh Marshanda tanpa suara.              Bianca lekas menggoyangkan telapak tangannya. Lalu sebuah senyum terulas di bibirnya.             “Nggak apa, kok. Segala sesuatu itu kan ada masa kadaluarsanya, Sha. Termasuk soal rasa. Dan, ya, aku anggap itu sudah kadaluarsa. Tadi itu reaksi spontan aja karena agak kaget. Kamu saja berani kok, mengambil keputusan untuk balik ke Jakarta. Ya masa aku enggak? Memangnya aku secemen itu?” Bianca melemparkan kalimat retoris.              Marshanda mengacungkan jempolnya.             “Hm. Baguslah, Bi. Berarti sudah nggak ogah-ogahan untuk ke Surabaya, dong? Kasihan itu, Papa sama Mamamu, masa harus mereka yang ngalah melulu, datang ke Singapura buat mengunjungimu kalau kangen,” timpal Marshanda.              Bianca tertawa kecil.             “Hem. Itu dia yang mau aku ceritakan sekarang,” ucap Bianca.             “Oh ya? Ayo, cepetan cerita. Jangan bikin aku kelamaan penasaran,” kejar Marshanda penuh semangat.              Bianca mesem-mesem.             “Akhir bulan ini aku mau ke Surabaya, Sha. Aku sengaja ambil cuti empat hari,” ucap Bianca, mengawali ceritanya. Tetapi dia tampak masih menyimpan kejuatan utama, membiarkan Marshanda bertanya-tanya seorang diri dalam diamnya.             ‘Heh. Aku ketinggalan berita banget gara-gara kesibukanku yang gila-gilaan ini. Jangankan teman-teman sekomsel dulu, Bianca saja sampai ikutan jarang menghubungi aku. Sekalinya menghubungi, nggak pernah cerita hal-hal yang terlalu ‘berat’. Ya, begitu-begitu saja, sekadar ‘say hi’. Dan secara perlahan, hubungan kami jdi terasa berjarak tanpau kami kehendaki. Terus sekarang, apa nih yang mau diceritakan sama Bianca? Dia balik lagi sama Victor, karena memang sebetulnya perasaan mereka itu nggak benar-benar usai, atau beneran dia sudah berusaha melupakan, tepatnya memaafkan Victor?’ pikir Marshanda, yang terkenang kisah cinta ex teman sekamarnya itu.              Marshanda ingat benar bagaimana awal kisah cinta Victor – Bianca yang bertemu dan berkenalan di sebuah pesta ulang tahun salah satu teman gereja mereka. Kebetulan, teman yang mengundang mereka itu mengenal Victor maupun Bianca. Dan pada perjumpaan pertama saja, keduanya sudah ‘connected each other’, mereka dapat berbincang segala hal dengan seru, dari kegiatan gereja, pekerjaan mereka masing-masing, gosip selebriti, berita ekonomi, sampai.... makanan favorit! Dan saat menyinggung makanan favorit, keduanya sama-sama terkejut karena ternyata berasal dari kota yang sama, Surabaya.              Bisa ditebak kelanjutannya setelah itu. Mereka segera ‘jadian’. Bianca yang sebetulnya tengah berjuang keras dengan ijin tinggalnya di Singapura sehubungan dengan  kontrak kerjanya yang hampir berakhir sementara dia masih menanti kepastian pekerjaan yang baru dengan berdebar, menjadikan Victor sebagai alasannya untuk tetap tinggal di Singapura. Dia menolak untuk pulang ke Surabaya dan mengurusi saja usaha milik keluarganya. Dan, ya, Victor pula yang akhirnya mencarikannya pekerjaan yang baru, pekerjaan yang hingga saat ini masih dijalani oleh Bianca.              Semenjak itulah, Victor dan Bianca kerap mencocokkan waktu untuk pulang bersama ke Surabaya, misalnya saja pada saat libur panjang di akhir minggu atau liburan Natal dan Tahun Baru. Hubungan mereka berdua bagai harmoni indah, sampai-sampai Bianca merasa yakin bahwa Victor memang ‘tercipta untuk dirinya’. Lebih dari itu, di kemudian hari, Victor juga mulai dekat dan diterima oleh keluarga Bianca. Meskipun, sejauh itu Victor masih belum memperkenalkan Bianca kepada keluarganya.              “Sha,” panggilan Bianca memutus lamunan singkat Marshanda.             “Ya?” sahut Marshanda cepat.              “Aku.., sudah memutuskan sesuatu..,” kata Bianca.             Marshanda menanti dengan hati berdebar. Sejujurnya, dia takut. Ya, ada sedikit rasa takut yang menyergapnya, seandainya Bianca akan mengatakan bahwa Bianca kembali lagi menjalin hubungan dengan Victor. Bukannya apa, Victor itu ternyata tidak mempunyai arah yang sama dengan Bianca, di saat keduanya menjalin hubungan. Dulu itu, sementara Bianca sudah demikian yakin bahwa dia akan membawa hubungan mereka ke jenjang yang serius, Victor tidak demikian. Dia mempunyai impian yang berbeda. Ternyata Victor bukan sekadar tak mempunyai rasa cinta kepada Bianca sebesar rasa cinta gadis itu kepadanya, namun dia juga masih mempunyai banyak prioritas lain di dalam hidupnya.                Marshanda menahan napas, teringat kembali saat Bianca bercerita kepada dirinya dengan beruai air mata, sekian tahun lalu.              “Dia jahat , Sha. Dia malah mutusin untuk bergabung sama perusahaan itu. Dia malah ninggalin aku di Singapura. Katanya, itu cita-cita dia dari dulu. Masuk ke perusahaan bergengsi itu. Tahu sendiri kan, bagaimana akan susahnya menjalin hubungan dengan orang yang bekerja di perusahaan offshore rig? Dengan sistem kerja roster, sudah pasti susah buat menjalin hubungan yang normal. Belum lagi kalau kami sama-sama sedang ada masalah di pekerjaan. Ini..., sama saja dia ngajak putus sama aku, kan?” keluh Bianca saat itu.              Victor dan Bianca memang putus kala itu. Tapi faktanya,  keduanya tidak benar-benar putus. Setidaknya, itu yang diketahui dan disaksikan sendiri oleh Marshanda. Barangkali karena memiliki rasa yang terlalu besar, pada saat Victor yang telah sekian lama tidak menghubunginya  dan seolah menghilang begitu saja, kemudian mendadak muncul memberikan kejutan dengan sengaja menanti Bianca di depan kantor gadis itu, menjemputnya dan mengatakan bahwa dia sedang mendapat giliran off dan ‘berada di darat’, toh hati Bianca lekas meleleh. Bagaimana tidak meleleh, jika selama waktu off  yang terbilang lumayan panjang itu, Victor mau merogoh kocek begitu dalam dengan berada di Singapura, demi bisa menjemput sang kekasih sepulang bekerja dan menikmati makan malam bersama?              Namun tetap saja, setelah itu pun, hubungan mereka tidak semulus itu. Tidak  berjalan sebagaimana yang dihdarapkan dan diimpikan oleh Bianca. Ternyata Victor masih tetap Victor yang dulu, Victor yang entah mengapa, masih belum dapat berkomitmen dengan sebuah hubungan. Mereka mengalami putus sambung dalam hubungan mereka, termasuk ketika Bianca mengetahui bahwa Victor kepincut dengan seorang gadis lain. Dan sialnya, belakangan dia tahu, gadis itu masih kerabat jauh dari salah satu saudara iparnya Victor. Tentu saja gadis itu mempunyai akses yang lebih lebar untuk masuk ke keluarga Victor, lebih-lebih, rupanya rumah gadis itu juga tidak jauh dari rumah orang tua Victor.              Ketika mengetahui fakta menyakitkan itu, lagi-lagi Bianca mencurahkan perasaan kecewanya, menuturkan kepada sang teman sekamar, Marshanda, yang selalu siap untuk menyediakan telinga bagi keluh kesahnya.              ‘Tapi, Bianca itu toh seperti bucin garis keras, sama Victor. Kalau dia ogah pulang ke Surabaya karena takut hatinya nggak kuat seandainya berpapasan sama Victor dan pacar barunya, apa sekarang dia malah mau bilang, bahwa alasan dia mau pulang ke Surabaya ini karena hubungannya sama Victor membaik?’ pikir Marshanda.             Diam-diam, Marshanda berharap, kali ini Victor sudah benar-benar memiliki kemantapan hati dan tidak lagi mengecewakan Bianca.              “Sha, aku mau berangkat ke Surabaya sama...,” Bianca mengulas senyum misterius.              “Eng..., si V.. Vic..,” Marshanda tidak sampai hati mengucapkannya. Entah mengapa, ada selintas keraguan saja yang ia rasakan.              Bianca mengangkat tangan kirinya, memamerkan sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya.              “Tar.. rrraaaa,” ucap Bianca riang.              Seketika mata Marshanda membulat. Suka cita yang besar membuncah di hati Marshanda.             “Kamu dilamar, Bi? Aaaah...! Puji Tuhan. Akhirnya...! Senang banget, aku mendengarnya. Selamat ya Bi, semoga segera diresmikan dalam sebuah ikatan kudus ya,” cetus Marshanda dengan tulus.              Bianca buru-buru menggeleng pelan mendengar komentar Marshanda yang dibarengi wajah semringah itu, lalu tersipu malu. Parasnya memerah seketika. Tentu saja Bianca teringat, selama mereka berdua menempati kamar apartemen yang sama di Singapura, Marshanda bukanlah sekadar teman sekamar, dan yang paling dekat dengannya dibandingkan dengan sejumlah teman lain di unit apartemen yang mereka sewa dengan sistem 'cost sharing' atau berbagi biaya sewa bulanan itu. Meski mereka berdua itu hanya terpaut usia satu tahun saja, tetapi Marshanda bagaikan seoang kakak perempuan saja  bagi dirinya. Kakak perempuan yang 'asyik', yang tak jarang dapat dijadikan sebagai tempatnya bermanja serta berkegiatan bersama, juga seseorang yang kerap dibuatkannya sarapan pagi, sebagaimana Marshanda yang kala itu akrab dengan penyakit insomnia juga sering membuatkan cemilan untuk dirinya.              “He he he..., bukan, Sha! Belum, tepatnya. Tapi terima kasih atas doanya. Sebenarnya..., ini cincin ‘jadian’, ha ha ha,” Bianca tertawa berderai di ujung kalimatnya.              Marshanda tersenyum geli mendengarnya.             “Ya ampun Bianca. Cincin ‘jadian’? Jadian lagi, maksudnya? Ada-ada saja. Tapi ya sudahlah, apa pun, pokoknya aku harap kali ini kalian berdua benar-benar berujung ke pelaminan,’ harap Marshanda tulus.              Di luar dugaan, Bianca justru menertawakan Marshanda.             “Amin buat doanya. Terima kasih sekali lagi, Sha. Soal jadian lagi, iya. Hem, terkesan mirip abege ya, istilahnya, pakai kata 'jadian'. tapi ya maksud aku, yang dulu-dulu, hubungan yang gagal, ya sudah. Nanti sekiranya ada kesempatan, aku nggak tahu kapan, aku akan kenalkan juga kamu sama dia, Sha," ucap Bianca.             Marshanda mengerutkan kening.             'Dikenalkan? Buat apa? Lha ya aku tuh  sudah sampai hafal sama dia itu!' batin Marshanda geli.                                                                                                                                                           - Lucy Liestiyo -               [1] Komsel atau Komunitas Sel adalah sebuah komunitas kecil yang terdiri dari orang-orang yang ingin sama-sama saling mendukung untuk bertumbuh di dalam Kristus. Umumnya terdiri dari empat hingga delapan orang anggota, dan biasanya diutamakan yang tinggal di area berdekatan. Mereka kerap berkumpul bersama membahas mengenai Kitab Suci, berdoa bersama, salign berbagi kisah dan kesaksian tentang hal-hal yang mereka alami sehari-hari dan saling menguatkan, membantu dan memberi semangat di kala ada anggota yang tengah mengalami masalah atau hendak menyelesaian sesuatu hal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD