Serendipity Girl Bagian Enam

1052 Words
Sedikit demi sedikit, kesadaran gadis itu mulai kembali, ketika setitik cahaya mulai terlihat. Perlahan namun pasti, kelopak matanya terbuka. Ara mengerjap, berusaha menyesuaikan pandangannya yang masih sedikit kabur. Gadis itu menoleh ke ke sisi kiri, menatap seluruh interior ruangan tersebut. Tepat saat pandangannya beralih ke sisi lain, tatapannya tiba-tiba terfokus pada seorang pria berpakaian casual, yang tengah memegang ipad sambil meminum segelas wine. Ara mengerutkan keningnya saat melihat pria tersebut adalah pria yang membayarkan St Emilion yang ia pecahkan saat di bar. Atthala yang menyadari tatapan Ara, segera menaruh ipad dan wine-nya, kemudian berjalan menghampiri Ara. "Kita bertemu kembali, nona lima ratus ribu dollar," sambut Atthala dengan nada menggoda. Ara membelalakan mata. "T-Tuan ...." lirihnya pelan, bahkan hampir tak terdengar.. "Bagaimana aku bisa ada di sini? Di mana aku?" tanya Ara kebingungan. "Kau berada di mansion ku, Nona lima ratus ribu dollar." Ara berusah bangun dari posisinya walaupun tubuhnya masih terasa sangat lemas. "Bagaimana bisa aku berada di sini?" Tanya Ara lagi, gadis itu mencoba menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. "Apa saja yang kau lihat?" Tanpa ada niat menjawab, pria itu balik bertanya. Ara terdiam, lalu menunduk sambil memainkan jemarinya. Atthala mendudukkan tubuhnya di tepi tempat tidur. "Katakan padaku, agar aku bisa melindungimu," lanjut Atthala berusaha meyakinkan. Ara masih terdiam. "Jika kau mengatakannya, aku akan menjamin keselamatanmu.. Percaya padaku." "Aku ... melihat ibuku ditembak oleh orang-orang itu," kawab Ara ragu-ragu. "Orang-orang itu? Siapa yang kau maksud?" Tanya Atthala mengorek informasi dari Ara. Ara terdiam tak melanjutkan ceritanya lagi. "Apa mereka pria-pria berbadan kekar dengan pakaian serba hitam?" Tanya Atthala lagi memancing agar Ara melanjutkan ceritanya. Berhasil!! Ara membelalakkan matanya,  "Bagaimana kau tahu?" Tanya Ara. "Jadi benar," gumam Atthala. "Apa mereka yang membunuh ibumu?" Tanya Atthala lagi. Ara mengangguk mengingat kejadian tragis yang dia saksikan dengan matanya sendiri. "Apa yang kau dengar dari mereka?" Tanya Atthala. Ara terdiam sejenak, berusaha mengingat kembali kejadiannya. "Mereka mencari sesuatu .... " jawab Ara tidak yakin. Dia memiringkan kepalanya berusaha mengingat apa yang dia dengar. "Memory ...." Lanjut Ara. "Memorycard?" Timpal Atthala. 'Dan memorycard itu berada dalam tubuhmu, gadis malang,' lanjutnya dalam hati. Ara mengangguk dengan cepat. "Ya, benar. Itu yang mereka cari. Mereka menanyai Ibuku, di mana memorycard itu ...."Jelas Ara terjeda. "Aku bahkan tidak mengerti apa yang mereka katakan. Aku hanya menuruti apa yang Ibuku perintahkan," lanjut Ara. Atthala mengernyitkan keningnya memperhatikan setiap ucapan yang keluar dari mulut Ara. "Apa yang ibumu perintahkan?" " jangan pernah keluar sebelum beliau memanggilku. Saat itu, ibu sedang menunggu teman ayahku, Andreas." Jawab Ara. "Lalu di mana ayahmu?" "Dad di tangkap oleh boss nya, Ra ...." "Rafael," timpal Atthala, menebak. Ara mengangguk lagi,  "Rupanya kau tau semuanya," gumam Ara. "Ya, karena mereka melakukan kesalahan yang sangat fatal rehadap keluargaku," jawab Atthala. *** Atthala beranjak dan akan meninggalkan kamar Ara, namun baru beberapa langkah, pria itu menghentikan kakinya. "Kau tidak perlu khawatir, kau akan aman berada di mansion ku. Aku bisa menjamin itu." "Apa aku ... bisa mempercayaimu, Tuan?" Tanya Ara ragu. Terselip nada kecemasan pada suara Ara. Atthala yang menyadari perubahan itu, membalikkan tubuhnya. "Kau harus percaya padaku, jika kau ingin selamat." Pria itu kemudian berlalu pergi meninggalkan kamar Ara. Atthala turun ke lantai satu dan menghampiri Mona sang kepala pelayan. "Mona, antar makanan ini ke kamar Ara." Titah Atthala sambil menunjuk makanan yang ada di atas meja makan. Mona mengangguk, dan membawa seluruh makanan yang berada di atas meja makan Ke kamar Ara. Dan Atthala, kembali berjalan dan masuk ke ruang kerja. Di sana, Roy sedang berkutat dengan laptopnya, sedangkan James dan Kevin sedang mengecek persenjataan. Atthala memperhatikan setiap angka dan abjad yang sedang Roy otak atik pada layar laptopnya dengan cepat. "Kau menemukan sesuatu?" Roy menggeleng, "Aku belum menemukan cara mematikan chip yang terhubung dengan memorycard itu." "Aku yakin kau pasti bisa, Roy," ujar Atthala sambil menepuk bahu Roy. "Aku tak habis pikir, bagaimana mereka sebagai orangtuanya, tega melibatkan anak perempuannya dalam kejahatan besar seperti ini," ujar Roy kesal. "Orangtua Ara berpikir akan aman jika disembunyikan pada orang yang tak akan pernah terpikirkan oleh musuhnya," jawab Kevin. "Tapi, jika chip gps itu aktif, aku bisa menjamin, mereka akan segera mengetahui di mana keberadaan memorycard tersebut," timpal Roy. "Aku sudah meminta Ara untuk tetap tinggal di mansionku. Aku akan pastikan, bukti pembunuhan Anatha pada Ara akan baik-baik saja. Kau akan selamat, selama dia tidak membuat ulah," ujar Atthala. Mereka bertiga setuju dengan keputusan yang Atthala ambil. Selama Ara aman, memorycard itupun akan aman ditangan mereka. "Tapi, kita tetap harus waspada dengan kemungkinan terburuk yang akan mereka lakukan," lanjut Atthala. "Ya, mereka termasuk mafia berdarah dingin. Mereka akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka mau, malau mereka harus membunuhnya," lanjut James. *** Di Markas Redhole. "Apa kalian sudah menemukan memorycardnya?" Tanya Rafael. "Kami mohon maaf, Tuan," jawab salah satu anak buahnya, Rafael berdecak kesal, lalu menendang kaki si pria gempal tersebut. Pria itu pun kembali menatap Arnold yang sedang berlutut di hadapannya dengan wajah babak belur sambil menodongkan pistolnya. "Kau masih tidak akan bicara pengkhianat?" tanya Rafael. "Aku tidak akan mengatakannya." Jawabnya yang kemudian mendapatkan kembali pukulan keras pada wajahnya. Rafael mencengkram kerah kemeja Arnold. "Katakan, atau kau aku tembak!" tekan Rafael sambil menodongkan pistolnya pada kepala Arnold. Arnold hanya terdiam dan tersenyum miring dengan tatapan mengejek pada Rafael. "Aku tidak akan pernah memberikannya pada siapapun." Dan tepat saat itu, terdengar suara tembakan menggema di dalam gudang,  Rafael menembak Arnold tepat di kepalanya dan Arnold mati seketika. "Kau sangat merepotkan, padahal kau hanya tinggal mengatakan, di mana memorycard itu, dan kau akan selamat. Tapi kau, malah memilih diam dan berakhir mati dengan sia-sia," gerutu Rafael pada jasad Arnold yang tergeletak tak bernyawa di hadapannya. "Bawa mayat ini lalu kubur di samping wanita itu!" titah Rafael pada anak buahnya. Kedua anak buahnya mengangguk, lalu membawa jasad Arnold ke tengah hutan. "Andreas, kira-kira di mana memorycard itu dia sembunyikan?" tanya Rafael. "Apa mungkin gadis itu tau?" Tanya Andreas lebih pada dirinya sendiri. "Gadis? Gadis yang mana?" Tanya Rafael yang mendengar gumaman Arnold merasa ada titik terang. "Aradea, Anak dari Arnold dan Catty. Tidak menutup kemungkinan gadis itu mengetahui sesuatu." "Kau tahu, di mana keberadaannya?" "Aku bahkan tak pernah melihat gadis itu. Mereka seakan menyembunyikannya," jelas Andreas Rafael berfikir keras atas apa yang ceritakan Andreas. "Kita harus menemukan gadis itu," gumam Rafael. ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD