Part 9

1397 Words
Setelah mengganggu Darel, sekarang Aran berniat mengganggu Clarissa. Dia sengaja mendekati Clarissa saat melihat cewek itu ada di ruang istirahat. Clarissa tampak begitu serius mempelajari berkas kasusnya, seakan waktu tak dapat menunggu hingga jam kerja dimulai kembali. Pemandangan itu selalu membuat Aran kesal, karena dia merasa kebiasaan Clarissa yang satu ini terlalu dibuat-buat. Sok rajin biar terlihat bagus di depan bos. “Yang di galeri kemarin drama banget ya. Cewek-cewek lagi gosipi kamu di pantry tuh.” Clarissa mengangkat kepalanya, merasa tertegur oleh suara bernada mengejek Aran. Seperti biasanya, cowok satu ini selalu muncul kapan pun saat dia sendirian. Bicara omong kosong, minta perhatian dan ingin bersaing secara pihak. “Terus kenapa?” Clarissa sudah tahu. Dia selalu jadi bahan gosip setahun penuh. Mau apa pun yang dia lakukan, selalu saja ada hal buruk yang mereka temukan darinya. Terus kenapa? Clarissa tak peduli. Dia menganggap sikap orang-orang itulah adalah cara mereka mengekspresikan rasa iri. Ketenangan dalam suara Clarissa membuat Aran jengkel. Caranya menatap sirat akan kesombongan, seakan tengah merendahkannya. Aran tak suka itu. Dia merasa frustrasi, marah dan emosi karena delusinya sendiri. “Malu sedikit dong. Datang ke undangan klien malah membuat skandal.” “Skandal? Kau terlalu berlebihan. Mengobrol dengan teman lama saja kau bilang membuat skandal. Heh ... kalau punya waktu memikirkan hal bodoh begitu, lebih baik tingkatkan kinerja kerjamu.” Tak ada reaksi malu dari Clarissa yang Aran harapkan. Cewek itu masih terlihat begitu tenang. Duduk dengan anggun, menatapnya tajam seakan mampu merasuk ke dalam hati. Aran semakin frustrasi. Ia menggigit bibirnya untuk mengendalikan emosi di depan Clarissa. Dia merasa akan semakin terintimidasi bila menunjukkan betapa terganggunya ia pada sorot mata itu. “Teman atau mantan pacar?” Kali ini, Clarissa bereaksi. Senyuman menawan yang menghiasi bibirnya menghilang. “Kaget aku tahu? Aku juga tahu kok, cowok yang kaubawa itu mantannya cewek yang dibawa oleh Darel.” Sadar akan hal itu, Aran merasa mulai menguasai keadaan. Mulutnya lepas kontrol, cari perkara dengan terus mengungkit cerita lama. “Kalian kayak nggak tahu malu banget deh. Tukaran mantan, terus dipamerkan.” Clarissa semakin kesal tiap kali Aran berucap. Pria ini tak tahu cerita mereka, tapi bicara seakan tahu segalanya. “Apa Darel menyuruhmu datang mengejekku? Dasar bocah. Bicara banyak tentang masa lalu kayak nggak bisa move on.” Clarissa mengubah sikap. Senyuman culas kembali dia pamerkan, lengkap dengan tawa geli yang terdengar menjengkelkan di telinga Aran. Benar apa kata Clarissa, Aran pun merasa Darel seperti belum bisa move on, tapi bagaimana dengan cewek satu ini? Aran akan memastikan sendiri. Apakah hanya Darel yang terjebak di masa lalu, atau Clarissa juga sama. “Bukannya kau juga sama?” Pertanyaan Aran menusuk hati Clarissa, membuka kembali luka yang mulai tertutup. Entah kenapa saat mendengar orang lain yang mengatakannya, Clarissa merasa kalau itu benar. “Aku? Hahaha! Hal bodoh apa yang kaukatakan? Memangnya aku kelihatan kayak cewek pemimpi yang percaya sama cinta sampai sebegitu putus asa berharap sama mantan?” Meskipun akhirnya dia memilih untuk menyangkal. Tertawa lepas, mencoba menipu perasaannya sendiri. Well ... Aran ragu. Clarissa yang dia kenal terlalu realistis. Lebih cinta uang daripada laki-laki. Merasa dirinya lebih tinggi, bersenang-senang mempermainkan hati orang yang mencintainya. “Nyatanya Darel pernah kaupacari.” Namun, ada satu hal yang masih mengganggu pikiran Aran. Soalnya kalau tak ada cinta, kenapa dulu mereka pernah berpacaran? Kalau Clarissa tipe cewek yang suka berganti pacar dia bisa mengerti. Masalahnya Clarissa tak pernah berpacaran dan dia yakin, Giorby bukan pacar Clarissa. Aran telah memerhatikan Clarissa selama bertahun-tahun. Dia tahu kalau Clarissa punya kebiasaan membawa cowok untuk dikenalkan sebagai pacar saat harus bertemu dengan orang yang menunjukkan ketertarikan padanya. Itu caranya menolak dengan halus, karena setelahnya sosok cowok gandengan itu tak pernah muncul lagi usai masalahnya berakhir. “Semua orang punya masa muda, Aran. Waktu di mana pubertas membuatnya merasa penasaran ingin mengenal lawan jenis. Darel hanya ilusi dari hormon di masa remaja yang bertumpuk.” Alasan macam apa ini? Aran tak menyangka akan mendengar penjelasan sedingin ini, tapi ... kalau itu Clarissa, rasa masuk akal. “Sekarang sudah puas tanya-tanyanya? Butuh banget ya, bahan buat gosip. Itulah kenapa kariermu stuck di sana terus.” Berhasil membuat Aran tercengang, Clarissa mencari alasan untuk kabur. Dia segera membereskan barang-barangnya, pergi meninggalkan Aran tanpa menunjukkan rasa terganggu atas percakapan tersebut. Namun setelahnya, ekspresi wajah Clarissa mengeras. Penuh akan kemarahan yang tertuju pada Darel. Dia salah paham, mengira apa yang Aran lakukan adalah atas permintaan Darel. Karena satu-satunya orang yang tahu soal hubungan mereka adalah Darel. Lain kali saat bertemu kembali, akan Clarissa pastikan untuk menampar Darel. Berani sekali melibatkan orang lain dalam urusan mereka. *** Lain kali itu ternyata tak terlalu lama. Karena sehari setelahnya, Clarissa kembali bertemu dengan Darel. Kali ini tanpa direncanakan seakan memang sebuah kebetulan. Jarang-jarang Clarissa bisa pulang awal dan memutuskan untuk langsung pergi berbelanja. Kegiatan di luar kebiasaannya itu malah membuatnya bertemu dengan Darel dan Dinda. Kedua orang itu berada dalam satu toko. Terlihat sibuk memilih jas untuk acara spesial. Entah acara apa itu, Clarissa tak tahu. Yang pasti, hanya dengan melihat kedekatan mereka saja sudah membuat hatinya terbakar. Clarissa berhenti di depan toko itu, menatap dengan tajam Darel dan Dinda. Cowok itu masih belum sadar, matanya terlalu fokus pada dua pasang setelan yang ditawarkan oleh sang pramuniaga. Namun, Dinda sadar. Secara tak sengaja, matanya bertemu pandang dengan mata Clarissa. Dinda menjadi panik, segera berbalik badan dengan cepat hingga membuat Darel yang berada di sampingnya merasa penasaran. “Kenapa? Sikapmu aneh banget.” Cowok ini memutar tubuhnya, berniat melihat apa yang dilihat oleh Dinda sampai bereaksi begitu berlebihan. “Nggak aneh kok. Setelan yang ini bagus, cepat dicoba!” Sebelum Darel sempat melihat Clarissa, Dinda lebih dulu mendorongnya ke dalam ruang ganti. Ambil apa pun yang direkomendasi, bilang bagus asalkan bisa mengalihkan perhatian Darel sekejap saja. “Iya, nggak usah maksa kali.” Darel bilang begitu, tapi dia tetap masuk dan mencoba dengan serius. Karena Darel biasanya mencoba satu baju saja butuh sepuluh menit saking terpesona pada dirinya sendiri ... Dinda jadi tenang usai melihat pintu ruang ganti tertutup. Dia segera ke depan, berniat melabrak Clarissa agar tak terus muncul di depan Darel. Melihat Dinda mendekat, Clarissa menunggu. Dia penasaran apa yang akan cewek itu katakan padanya. Apakah itu sebuah kebohongan atau permintaan maaf palsu. “Apa maumu sebenarnya! Belum cukup mengejekku waktu itu! Sengaja menguntit Darel untuk apa? Masih cinta sama dia!” Ternyata Clarissa salah. Di dunia ini penuh dengan orang tak tahu malu begini. Bisanya menyalahkan orang lain tanpa bercermin pada dirinya sendiri. “Jaga mulutmu, Dinda. Bukan aku yang menyimpan niat busuk seperti mu.” Dia menghina secara terang-terangan, membuat harga diri Dinda terasa diinjak. Plak! Dinda menampar Clarissa. “Inilah kenapa aku selalu membencimu! Kau selalu pura-pura jadi cewek alim, tapi diam-diam jago menggoda cowok.” Kemudian ia meluapkan segala kekesalannya dari dulu. Betapa muaknya dia berteman dengan Clarissa, karena cewek ini selalu mendapatkan apa yang dia mau. Selalu dipuji, dibandingkan dengannya dan berbicara seakan semua itu gampang diraih. “Kau membicarakan dirimu sendiri? Pura-pura jadi temanku, tapi diam-diam mencuri pacarku?” Clarissa segera membalas. Dia tak perlu menampar balik, karena nada suarannya sudah begitu tajam menusuk. “Kau yang mencuri Giorby dari ku!” Wow! Clarissa tercengang, betapa tebalnya muka Dinda. “Kau berselingkuh darinya, membuangnya dan sekarang kau marah karena dia memilihku. What a bitch.” Haruskah Clarissa mengingatkan pada Dinda akan apa yang sebenarnya terjadi? “Diam!” teriak Dinda emosi. Dia melayangkan tangannya. Berniat menampar Clarissa sekali lagi, tapi tangan Dinda ditahan oleh Darel yang keluar lebih cepat dari prediksi. Dinda terkejut, bertanya dalam hati sampai di mana Darel mendengar obrolan mereka. “Bukannya sudah cukup? Memangnya sesenang itu ya, datang hanya untuk menyakiti hati orang lain. Kau tak tahu apa-apa soal hubungan Dinda dan Giorby, menyalahkan semuanya pada Dinda itu tak relevan.” Dia menghela napas lega saat mendengar pembelaan Darel. Sepertinya hanya kalimat terakhir yang terdengar. Di lain pihak, giliran Clarissa yang begitu emosi. Tingkah Darel begitu sialan. Kemarin memohon-mohon didengarkan, hari ini mulai memperlakukannya seperti musuh lagi. “Kau benar, aku juga tak tahu apa saja yang kalian lakukan biarpun katanya tak berpacaran.” Clarissa mendengus, sengaja menyindir. “Kau terlihat senang melindunginya,” sambung Clarissa. “Kenapa tidak? Jika harus memilih antara kau dan Dinda. Aku akan memilih Dinda.” Darel sudah gagal membaca situasi, bicaranya juga salah memilih kalimat. Dia tak berpikir panjang, apa yang dia katakan saat ini mungkin akan menjadi alasan kenapa perasaannya tak akan diterima lain waktu. Kali ini hari Clarissa benar-benar terluka. Dia seperti diingatkan kembali akan kenyataan pahit. Bila Darel memang selalu akan memilih Dinda. Baik dulu, ataupun sekarang. “Kalau begitu bagus. Kalian serasi sekali, sama-sama busuk. Setelah ini jangan datang menemuiku lagi.” Apa itu niat balas dendam? Sudahlah ... Clarissa sudah muak. Dia tak mau lagi menatap wajah Darel untuk kedua kalinya.          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD