Part 10

956 Words
Darel terpaku menatap kepergian Clarissa. Dia menang kali ini, berhasil menyakiti hati Clarissa sekaligus memperburuk situasi taruhannya. Rasanya ada yang tak benar. Semua hal berkaitan tentang Clarissa membuatnya begitu frustrasi. Bukan ini yang Darel yang mau. Pasti ada yang salah di suatu tempat, dan tempat itu tak pernah bisa Darel temukan. Pria itu menghela napas panjang, melanjutkan acara berbelanja dengan kurang bersemangat. Dinda yang di sampingnya terus mengawasi, menunggu Darel mengucapkan sesuatu. “Apa kau masih mau terus mendekati Clarissa?” Karena Darel diam, Dinda memutuskan untuk bertanya. Bosnya menoleh, menatap dengan diam. “Aku taruhan dengan Bobby untuk menaklukkan Clarissa.” Setelah itu dia memberitahukan motif dibalik segala tindakannya. “Dengan cara memusuhinya? Cowok populer kok tingkahnya kayak cowok nggak laku yang putus asa?” Sikap Darel tak seperti mencoba mendapatkan hati Clarissa, lebih seperti ingin diperhatikan bahkan jika dia harus membuat dirinya dibenci. Dinda mulai sangsi akan tujuan Darel. Bertaruh, tapi seperti sengaja membiarkan dirinya kalah. Itu bukan Darel yang dia kenal. “Entahlah, Din. Aku juga pusing. Rasanya nggak ada semangat buat lanjutan taruhan itu.” “Ya nggak usah lanjut.” Tidak usah dilanjutkan? Kedengarannya lebih mudah. Kehilangan satu mobil bukan masalah bagi Darel. Dia bisa beli lagi. Masalahnya dia sudah sesumbar bisa menaklukkan Clarissa. Mengakhiri taruhan di situasi seperti ini sama saja dia mengaku tak sanggup memenangkannya. “Gengsilah, masa menaklukkan satu cewek aja nggak bisa.” “Emang nggak bisa, kan. Baperan gitu.” Darel mendelik, memelototi Dinda tak senang karena dia merasa tertusuk oleh kenyataan. Dinda membalas pelototan Darel dengan dengusan. Cewek itu sadar, Darel bukannya gengsi. Dia hanya mencari-cari alasan untuk tidak menyerah pada Clarissa. Akan tetapi, Dinda tak akan mengatakannya. Dia tak mau Darel sadar, bila sesungguhnya cowok itu masih menyimpan hati pada Clarissa. Membayangkan Darel kembali dengan Clarissa saja sudah membuatnya kesal, seakan dirinya kalah lagi oleh Clarissa. Tepat pada saat itu, Aran menghubungi. Ia mengirim pesan agar Darel menemuinya di klub malam. Dinda pun mengintip, membaca pesan yang seperti menyinggung soal taruhan. Dia tak kenal Aran, tapi ia cukup yakin ini merupakan taruhan yang berkaitan dengan Clarissa. “Kamu taruhannya sama siapa saja?” “Mau tahu aja. Aku pergi sekarang, belanjaanku kamu kirim ke apartemenku saja. Setelah itu sudah boleh pulang.” Darel paling malas dengan kebiasaan Dinda yang satu ini, suka sekali mau tahu urusannya. Padahal hanya teman yang sedikit dekat saja. Setelahnya Darel segera pergi, mengabaikan keluhan Dinda. Lagi pula memang pekerjaannya kok, mengurusi Darel. Jangan hanya karena diperlakukan spesial jadi tak tahu diri. Perasaan Darel jadi buruk. Makin banyak saja hal mengesalkan yang terjadi hari ini. Ketika bertemu dengan Aran pun, cowok itu malah mengungkit pembicaraan yang membuat Darel emosi. “Jadi gitu ... pokoknya aku dan Bobby udah nggak mau melanjutkan taruhannya. Nggak asyik banget setelah tahu kalian pernah pacaran dulu.” Di belakangnya Aran dan Bobby seenaknya menentukan. Setelah sudah oke baru kabari dia. Itu sih sama saja bukan diskusi, tapi memaksanya untuk setuju. “Dengan kata lain kalian ragu aku sanggup?” Darel berdecak kesal. Satu gelas alkohol dia minum sekali teguk. “Ya bukan gitu, hanya ngerasa nggak seru aja. Biarpun kau bisa, nggak ada artinya lagi.” Aran mah cari-cari alasan saja. Aslinya ia ingin menjauhkan Clarissa dari Darel. Dia baru sadar kalau dirinya tak senang bila sampai Clarissa sungguhan jatuh cinta dengan seseorang. Selama ini Aran kira emosinya pada Clarissa murni perasaan benci dan ingin bersaing, tapi sejak pemikiran kalau Clarissa mungkin saja jatuh ke cowok lain hadir, dia sadar akan alasan dibalik kekesalannya pada Clarissa bukan hanya itu. Aran menyukai Clarissa. Dia ingin di-notif, kesal karena tak dianggap sebagai laki-laki dan cemburu tiap kali Clarissa menggandeng cowok muda. Jangan sampai Clarissa kembali lagi sama Darel, sia-sia segala usahanya selama ini. “Pokoknya batal ya, anggap aja yang kemarin itu lagi mabuk.” Aran menekankan, membuat Darel tak punya pilihan selain setuju. Satu-satunya alasan bagi Darel untuk mendekati Clarissa sudah tak ada. Dia pun telah menyakiti hati cewek itu. Mungkin benar apa kata Dinda. Lebih baik melupakan Clarissa dan melanjutkan hidupnya seperti sediakala. Darel paham akan semua itu, tapi kenapa hatinya teras tak puas? Kenapa dia masih saja datang ke apartemen Clarissa setelah berpisah dengan Aran. Dia berdiri di depan gedung itu, menatap lampu kamar Clarissa yang menyala sambil membayangkan apa yang cewek itu lakukan di dalam sana. Dan kemudian, matanya menemukan sosok Giorby di depan gedung. Giorby baru saja turun dari mobilnya, mengatakan sesuatu pada supir yang mengantarkan dan kemudian masuk ke dalam. Darel pun teringat akan perkataan Clarissa yang mengatakan kalau dia berpacaran dengan Giorby. Darel kira itu hanya tipuan untuk membuatnya emosi dan kini, Darel tak tahu lagi. Bukannya ini merupakan bukti jelas bila mereka memang berpacaran? Rasanya benar-benar membuatnya emosi! Kenapa Giorby yang dipilih dan bukannya dia? Jelas-jelas Giorby bilang masih cinta pada Dinda, tapi Clarissa masih saja memilihnya. Tak bisa Darel biarkan. Akan dia putuskan mereka. Jika dia tak merasa bahagia, maka mereka pun tidak boleh berbahagia dia atas rasa sakitnya. Darel mengeluarkan HP-nya, menekan tombol satu. “Halo, Dinda. Kau masih ada rasa dengan Giorby, kan? Akan kuberikan semua infonya untukmu, dapatkan dia kembali.” Rasa cemburu membuatnya menghalalkan segala cara untuk memuaskan ambisi hatinya. Termasuk menghadirkan perusak hubungan untuk memutuskan ikatan Clarissa dan Giorby. “Kenapa tiba-tiba? Kau ingin aku merebutnya dari Clarissa? Dasar licik. Sebegitu inginnya menang taruhan? Atau masih terjebak cinta lama?” Dinda tertawa sinis dibalik telepon. Entah apa yang merasuki Darel, tapi merebut kembali Giorby pasti akan menyenangkan. “Jadi mau nggak? Giorby sekarang kaya lho, kau bisa hidup enak kalau jadi istrinya.” Kalau hanya sifat matre Dinda sudah pasti Darel kenal baik. Waktu sekolah dulu Giorby selalu low profile, penampilannya biasa sekali sampai tidak terlihat seperti anak orang kaya. Kalau sekarang mah beda. Sudah jadi CEO di perusahaan sendiri, penampilannya juga jadi menarik. Cewek mana sih yang bisa menolak? Cewek pengejar cinta berhati romantis mungkin bisa, tapi Dinda yang Darel tahu tidak akan biasa melepaskan mangsa seempuk itu.                      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD