[4]

1271 Words
Giselle tampak curiga menatap Harvey yang sejak tadi hanya diam. Seolah menikmati sekali perjalanan mereka ke salah satu hotel mewah di pusat kota. Apa ada kaitannya dengan percakapan mereka dua hari lalu? mendadak isi kepala Giselle menampilkan memori mengenai obrolan ringan mengenai pesta yang ia akan hadiri ini. “Aku tak menyangka bisa mendapatkan undangan seperti ini,” kata Giselle dengan semringah saat ia datang memberitahu Harvey, mengenai acara yang harus mereka hadiri. Sementara Harvey hanya melirik sekilas dan berdecak sebal. “Kau terlihat tak gembira. Ada apa?” Harvey segera menyingkirkan rasa kecewa di wajahnya. Ditukar dengan senyum lebar serta rangkulan erat pada sang sahabat. “Mana ada aku tak gembira? Aku cemberut karena bingung, acara seperti ini jarang kita hadiri. Kau tahu, kita berbeda dengan pebisnis dan kawanannya. Mereka kebanyakan bercampur dengan pejabat kelas atas dan ya ... kau tahu? banyak perselingkuhan terjadi di sana.” Giselle sedikit berusaha melepaskan diri tapi sayang, Harvey paling tahu membuat Giselle menerima perlakuannya. “Kau ini. tidakkah kau merasa, kau semakin berat?” “Iya, kah?” Harvey menatap Giselle tak percaya. Ia pun memerhatikan tubuhnya dalam pindai yang lekat. Memeriksa tiap lekuk tubuhnya yang terbalut kaus longgar dan hotpants. Tak ada jadwal yang harus mereka lakukan setelah dihajar pekerjaan yang begitu padat. Sayangnya, Sula dan Ruby belum bisa bergabung bersama mereka. kedua sahabat Harvey yang lain masih harus menyelesaikan sisa pekerjaannya di lain kota. “Kurasa tak ada yang berubah dari tubuhku.” Giselle terkikik geli. “Kupikir kau tak mudah ditipu.” “Sialan!” Harvey berdecak sebal jadinya. Ia pun memilih untuk duduk di sofa yang mana di depannya, meja penuh camilan terserak. Tak ada Ruby maka camilan kemasan akan menemani. Biasanya Ruby yang membuatkan aneka camilan lezat serta memiliki kadar gula atau lemak yang sehat. Di antara mereka berdua, tak ada yang ahli di dapur. Ketimbang dapur milik Giselle berantakan karena mereka, mereka memutuskan untuk membeli camilan instan. Toh ... Brina tak ada. Mereka bebas memakan apa pun yang disukai. “Tapi aku benar-benar tak menyangka, kita bisa datang ke sana.” Giselle kembali pada pokok pembicaraan yang sempat terjeda tadi. Ia masih tak habis pikir, bagaimana bisa Justin meminta mereka menghadiri acara yang tak ada kaitannya dengan mereka berdua. Memang, Giselle serta model SEO lainnya sering kali diminta Justin untuk menghadiri perjamuan atau pesta tertentu. Tapi kebanyakan undangan serta manfaat kedatangan mereka, berimbas pada promosi serta kontra kerja sama baru. Atau seperti saat Giselle menghadiri pelelangan perhiasan langka yang Justin minta. Itu masih masuk di akalnya. Tapi sekarang? “Kurasa ada yang ingin Justin pastikan.” Harvey mengedikkan bahu. Ia mengambil salah satu kaleng soda dan mulai menikmati isinya. Pun satu bungkus keripik kentang kesukaan Sula. Mengenal Sula yang gemar sekali makan kentang; apa pun jenis olahannya, membuat Harvey mulai terbiasa. Dan rasanya tak buruk juga. “Mungkin.” Giselle memilih bersandar nyaman di sofa, menyalakan TV dan mengganti banyak channel untuk menemukan film yang ia sukai. Sedikit mengabaikan Harvey yang meninggalkannya, membuka pintu balkon dan membiarkan angin yang agak kencang berembus di sekitar ruang santai. Apartement Giselle yang luas sekali lagi dijadikan tempat berkumpul empat pilar SEO. Dan kebanyakan dari mereka merasa nyaman tinggal di sana. Padahal masing-masing mereka juga memiliki hunian sendiri. mungkin karena latar belakang mereka yang tak banyak orang tahu, membuat mereka saling menguatkan jika bersama. Tanpa disadari membuat ikatan di antara mereka jauh lebih kuat dibanding jenis pertemanan lainnya. Kendati begitu, mereka berempat sudah cukup membuat Justin pusing. Sementara itu, Harvey yang membiarkan angin mengacak rambutnya terus menikmati soda yang ada di tangannya. Hamparan biru langit siang ini begitu cerah, berawan, dan mengantarkan angin cukup terik tapi masih bisa ditoleransi oleh kulit. Menghangatkan tubuh setelah beberapa bulan lalu musim dingin membuat hampir sebagian penduduk Centralia enggan keluar rumah. Ponselnya bergetar lembut di saku celananya, membuat ia merogoh malas tapi begitu melihat pesan yang tertera di layar, ia pun bergegas membukanya. Mr. Jody Evans: Aku lampirkan tamu undangan pesta peresmian cabang Holdam yang baru. Aku heran, kenapa kau menginginkannya? Tapi berhubung kau janjikan malam yang spesial, aku tak masalah malam itu datang bersama wanita tua itu. kuharap bisa bicara denganmu di sana nanti, meski sebentar tapi akan sangat kuhargai. Your Man. Harvey memutar bola matanya sebal. Apa katanya? Your Man? You Ass! sialan tua bangka itu! tapi tanpanya, Harvey tak akan mendapatkan berkas yang sekarang benar-benar menarik minatnya. Banyak sekali pejabat berpengaruh yang mengonfirmasi kedatangannya. Termasuk ... Seringai tipis muncul begitu saja di sudut bibir Harvey. matanya tak melepaskan satu nama yang membuat ia tak akan lupa, apa yang pernah mereka lakukan pada hidupnya di tahun-tahun belakangan yang penuh derita. “Sudah waktunya aku bergerak,” katanya sembari mengantungi ponsel. Setelah membalas pesan yang sebenarnya ia jijik mengetikkan tiap kata di sana. Tapi mau bagaimana lagi, setidaknya pria tua itu memberi informasi penting. “Harvey, Irena sudah membawakan beberapa gaun untuk kita,” kata Giselle sembari memekik girang. Bukan hanya suara Giselle yang kini terdengar tapi juga asisten Justin yang paling setia; Irena. “Oke.” Harvey segera menghampiri Giselle sembari menjahili Irena. Baginya, SEO adalah keluarga baru. Yang menurutnya bisa ia beri sedikit kepercayaan yang pernah rusak karena keadaan. semoga saja, kisah lama yang tak ingin ia jalani lagi, tak akan terulang. Meski apa yang akan ia tempuh sekarang, bisa dipastikan jika ia salah melangkah, bukan tak mungkin ia kembali jatuh. Malah lebih parah dari sekadar keruntuhan. *** “Pesta ini membuatku merasa kecil,” kata Giselle sembari berbisik pada Harvey yang terlihat santai. Di pesta yang diadakan di hall lantai lima Hotel Alden, tak ada satu pun wartawan. Undangan yang bersifat privasi ini sarat sekali dengan unsur bisnis dan kepentingan di atas kepentingan. Untuk memasuki area ini saja, selain beberapa kali pengecekan juga ada konfirmasi lain mengenai maksud dan tujuan di pesta ini. Harvey melirik pada sosok sahabatnya yang tampak gusar tapi ditutupi oleh senyum tipis. Membuat Giselle tetap memukau seperti biasanya. Dan Harvey bisa pastikan, kedatangan mereka pun mengundang perhatian meski tertimpa dengan bisik yang lain. “Tenang saja. Kita hanya melakukan apa yang diminta Justin.” Harvey menepuk bahu Giselle pelan. “Ayo, kita temui Duta Besar Dhubai. Justin ingin sekali kita bicara dengan beliau.” Giselle memilih mengikuti langkah Harvey. Sesekali membalas salam yang tertuju padanya serta kadang berhenti hanya sekadar berbasa basi dengan orang yang ia kenali. Berbeda dengan Harvey yang teringat masa lalunya. Masa di mana ia diperkenalkan sebagai putri tunggal dari Jeffry Langham. Sayangnya, masa yang menurutnya menyenangkan berakhir setelah apa yang terjadi pada orang tuanya. Pun ia yang disingkirkan tanpa peduli, bagaimana rasa sakit hatinya. “Kau duluan saja, Harvey,” kata Giselle setengah berbisik. Ia tak bisa meninggalkan petinggi Centralia yang mengajaknya bicara. Akan tak sopan jika Giselle berlalu begitu saja sementara pembicaraan mereka berkaitan dengan proyek yang akan dikerjakan Giselle. Justin sudah memberitahunya mengenai hal ini, jadi sedikit banyak ia tahu apa yang harus dilakukan. “Baiklah.” Harvey tak jadi soal. Ia pun melenggang pergi dengan langkah anggun. Matanya sudah menangkap sosok yang akan ia hampiri dan ajak bicara. Namun sebelum itu terjadi ... orang yang menjadi incarannya tepat berada di jarak yang bisa ia pandangi penuh lekat. Sudut bibirnya terangkat. Matanya menatap pria yang tampak bicara serius dengan tamu lain, tanpa jeda. Seolah penantiannya berakhir hari ini. dan seperti tahu jika ada yang memerhatikan, pria itu pun menoleh mengikuti fellingnya; mengarahkan pandangan pada Harvey. Ada sepersekian detik bagi si pria membeku tak percaya dengan apa yang ia lihat. “Har ... vey?” “Lama tak berjumpa, Jacob.” Harvey tersenyum semanis madu. Tangannya yang berselimut sarung tangan berbahan lace tipis terjulur tanpa ragu. “Kupikir kau tak mengenaliku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD