[9]

1253 Words
“Aku tak menyangka kau akan menjemputku.” Harvey menatap pria bertubuh tegap itu dengan sorot tak percaya. Ponselnya berdering tepat di saat pintu lift terbuka. mengabarkan jika pria itu ada di lobby menunggunya. “Justin yang memintaku untuk memastikan, kau tak terlambat untuk penerbangan malam ini.” Pria itu menatap Harvey dengan saksama. Tampilan gadis itu masih sama; sedikit angkuh dan terkesan tak ingin didekati. Tapi begitu mengenalnya lebih jauh, harvey tak ubahnya seperti Giselle yang kelewat manja dan jika sudah merajuk, runtuh dunia. “Aku tak akan terlambat,” dengkus harvey tak terima. “Lagi pula bukankah kau ada pekerjaan? Mengawasi latihan untuk junior SEO?” “Andai bisa kulakukan, sudah kulakukan sejak tadi.” Tangan Nico terjulur pada Harvey yang kembali menatapnya bingung. “Tas dan barang bawaanmu, biar aku yang membawanya.” “Astaga, itu tak perlu.” Harvey tertawa. “Ayolah, aku bukan Giselle.” Ia pun menggamit tangan Nico selayaknya seorang adik yang bergelayut manja pada seorang kakak. Yang bisa ia andalkan dan mengerti, jika memang ia butuh tenang. ketimbang menyetir sendiri dengan risiko di jalan? Jauh lebih menakutkan, kan? “Tapi bagaimana kau tahu aku ada di sini?” Nico berdecak sebal. Berusaha untuk menyingkirkan Harvey yang masih terus menggandulinya. Pada akhirnya, ia menyerah. “Kau pikir, Justin memberi mobil secara percuma?” Wajah Harvey yang semula riang, mendadak keruh dan cemberut. “jangan bilang kalau mobilku dipasangi GPS?” “Tanyakan sendiri pada Justin.” Harvey memekik tak percaya. “Seharusnya aku tahu itu!” Ia pun mendorong paper bag serta tas yang semula ada di tangannya, pada Nico yang terkejut lantaran diserahi barang-barang itu begitu saja. lantas membiarkan gadis itu melangkah sembari menghentak kesal. “Bukankah kau menolak dibawakan, Harvey?” tanya Nico sembari terkekeh. Tangannya kini penuh dengan barang yang dibawa Harvey tadi. Ia tak terkejut dengan tingkah gadis itu yang tiap kali keluar, pasti ada barang yang menjadi tentengan. “Diam kau!” sahut Harvey dengan nada merajuk. Begitu mereka sampai di pintu lobby utama, Harvey menunggu Nico. Sebenarnya tak ingin tapi mau dikata apa lagi? Nico pasti diminta juga untuk mengantarkan dirinya sampai bandara. Dan benar saja, begitu Nico ada di sampingnya, pria itu berkata, “Kita butuh kembali ke apartemenmu? Siapa tahu ada yang ketinggalan?” Harvey berdecak kesal. Tangannya terlipat di d**a. “Aku bukan Giselle yang sembarangan menaruh barang dan pelupa.” Nico tertawa. “Baiklah kalau begitu.” Ia pun bersiap untuk meninggalkan Harvey tapi kemudian teringat akan sesuatu. “mana kunci mobilmu?” Dengan enggan, ia berikan kunci pada Nico. “jangan sampai lecet. Terakhir kali, ada lecet di bagian bumper belakang. Shiro kesayanganku.” “Shiro?” “Ya.” Harvey tersenyum lebar. “Jika Justin punya Merry, aku punya Shiro.” “Pantas kalian bisa bekerja sama.” Nico menggeleng heran dan tak lama, SUV yang sering dipergunakan Harvey atau Giselle untuk ke lokasi pemotretan, mendekat. Pun satu supir lain yang Harvey kenali sebagai salah satu staf SEO. “Bawa mobil Harvey pulang dan katanya, jangan sampai lecet.” Pria itu tertawa, yang membuat Harvey mencebik kesal. “Nona Harvey tenang saja. akan saya jaga baik-baik mobil Anda. Dan selamat bekerja di Yazeran, saya dengar proyeknya cukup memberi pengaruh untuk Anda.” “Terima kasih,” kata Harvey segera. cemberutnya tak lagi ada. tapi semringah lantaran menyinggung mengenai proyek yang akan ia kerjakan segera. “Saya permisi,” kata pria itu segera meninggalkan mereka berdua. Dan Nico pun mengambil alih. Menaruh barang-barang Harvey di bagasi belakang serta meminta gadis itu untuk naik dengan segera. “Karen menunggu di bandara dengan barang-barangmu.” “Oke.” Hanya itu yang Harvey katakan. Ia segera menyamankan duduk dan bersandar. Setelah mengambil satu kain tipis untuk menutupi pahanya yang cukup terbuka. membiarkan Nico mengambil alih kemudi dan juga memutar musik bernada slow. Yang tak terlalu memekak agar perjalanan menuju bandara bisa dinikmati oleh Harvey. Tak ada yang bicara setelahnya lantaran kemacetan yang menjebak mereka sepuluh menit setelah keluar dari pelataran lobby hotel. “Kau tidur, Harvey?” tanya Nico memecah sunyi. Dari kaca spion tengah, terlihat gadis itu memejam tapi kerutan di keningnya ada. membuat Nico berpikir, apa sebaiknya ia tak mengganggu ketenangan Harvey? tapi ada rasa yang mengganjal di tenggorokan terutama setelah apa yang mungkin dilakukan Harvey di dalam gedung tinggi tadi. Pria itu masih berusaha beranggapan jika Harvey hanya menemui klien secara pribadi. Bukan seperti apa yang melintas di benaknya dalam kategori negatif. “Tidak.” Harvey membuka matanya. Tepat menatap Nico yang ternyata belum mengalihkan pandangan ke mana pun. Ia mengenal Nico cukup baik. pria itu salah satu yang tersabar menghadapi kegilaan Harvey dan Giselle. Tak pernah mengeluh, selalu mendampingi mereka saat diperlukan. Dan tak pernah jemu mengajarkan hal-hal terbaru mengenai apa yang harus dilakukan seorang model di atas catwalk. “Ada yang ingin kau tanyakan? Tanya Harvey yang kini menegakkan punggungnya. “Entahlah,” kata Nico pelan. Yang mana ucapan itu mendapat respon senyum tipis dari Harvey. “Tanyakan saja, aku akan menjawab dengan jujur.” “Aku tak ingin memiliki pemikiran buruk tentangmu, harvey. bagiku, kau seperti adik. Kau rekan kerja yang baik dan menyenangkan bekerja sama denganmu selama ini.” Harvey mengangguk senang. “itu juga yang aku rasakan.” “Aku tak peduli orang lain beranggapan apa mengenai dirimu, tapi bisakah kau katakan dengan jujur, apa yang sebenarnya kau lakukan jika bertemu orang lain di hotel? Mungkin terdengar menganggu untukmu, tapi aku merasa ... kau bisa terkena masalah besar jika terus menerus seperti ini.” “Contohnya?” “Harvey,” peringat Nico. Suaranya juga tak lagi santai seperti saat menjemput gadis itu di lobby. “Oke-oke,” Harvey terbahak. “Kau benar-benar pria yang serius!” Nico berdecak sebal. Tapi tetap menunggu apa yang ingin Harvey katakan setelahnya. Agak lama gadis itu terdiam serta beberapa kali menarik napas panjang. Seperti sukar untuk mengatakan kejujuran tapi sungguh, nico tak ada maksud apa pun. melirik dan mengamati wajah harvey yang tampak tersiksa, ia jadi tak tega. “Tak usah kau pikirkan pertanyaanku tadi. Anggap saja aku tak pernah ber—“ “Tidak,” sela Harvey segera. “Aku bukan tak ingin bicara, hanya saja, aku bingung harus memulai dari mana.” “Apa berat?” Pertimbangan yang Harvey lakukan bukan perkara berat atau tidak. tapi mengenai kepercayaan. Jika Giselle dapati cerita yang sepenggal saja, kenapa ia harus berkisah lengkap pada Nico? Sementara sahabat terdekatnya adalah Giselle. Akan jadi hal yang canggung jika Giselle tahu dari orang lain sementara Harvey sama sekali tak membicarakan atau membagi bebannya selama ini. Harvey sekali lagi menghela panjang. “Aku tak melakukan apa yang kau khawatirkan. Aku masih punya batas dan semua pertemuanku di ruang yang sangat privasi.” Nico mendesah lega. “Syukurlah. Aku percaya padamu, Harvey. dan aku benar-benar tak bermaksud membuatmu tersinggung.” “Aku tahu, Nico. Dan terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Aku tak akan membuat nama Justin rusak dan kerja sama ini berakhir dengan drama. Oh, tidak. aku tak bisa membayangkan jika itu sampai terjadi.” Itu benar. Karenanya, Harvey selalu bertindak hati-hati. Termasuk hari ini, di mana ia pastikan untuk terakhir kalinya bertemu Jody Varens. Mungkin ... satu atau dua bulan dirinya diteror oleh Maya. Namun seharusnya wanita itu berterima kasih padanya, kan? Ah ... seharusnya ia tinggal lebih lama menyaksikan drama rumah tangga. Siapa tahu menginspirasinya untuk berganti-ganti ekspresi agar tak melulu senyum dan bertampang riang. Kendati begitu, hatinya benar-benar gembira. Sosok Bryan Desmond sudah ada di tangannya. Tinggal mendekati tanpa diketahui maksud dan tujuannya. Dan ia butuh ... Jacob.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD