[2]

1397 Words
Mr. Jody Varens: Kau benar-benar meninggalkanku, Manis? aku sangat tersiksa tak bisa bertemu denganmu. Pesan itu hanya dibaca sekadarnya saja. Harvey lebih memilih menikmati cola dari kalengnya langsung alih-alih menggunakan sedotan atau menaruhnya di gelas. Udara malam ini cukup dingin, yang sama sekali tak Harvey gubris. Baginya, malam adalah waktu yang tepat untuk mengistirahatkan tubuhnya lantaran lelah yang melanda. Serta menyusun langkahnya agar lebih dekat pada target yang ia inginkan. “Selangkah lagi,” bisiknya seraya memejam. Belum ia lupa apa yang pernah terjadi pada masa lalunya, yang penuh getir serta pengkhianatan besar-besaran. Saat itu … delapan tahun yang lalu. Delapan tahun yang tak akan pernah Harvey lupakan hingga detik ini. “Kau … masih menyimpan cincin pertunangan kita?” tanya si lawan bicara sembari memainkan ujung jemarinya. Tatapannya agak gugup juga gelisah. Padahal yang seharusnya merasakan hal itu adalah Harvey. Bagaimana tidak, hidupnya jungkir balik tanpa memberinya jeda. Sekadar bernapas lega saja, ia tak bisa. Tuduhan keluarganya melakukan tindak pidana korupsi saja sudah membuat sekujur tubuhnya gemetar. Ditambah ibunya yang mendadak ambruk saking terkejut dengan berita yang mendatangi keluarganya. Belum lagi pihak kepolisian dan pengadilan yang segera saja menyita banyak asset yang keluarganya miliki. Tak sampai di sana, belum genap tiga hari paska berita yang menggemparkan itu, sang ayah; Jeffry Langham meninggal dunia akibat serangan jantung. sementara kondisi istrinya alias ibu dari Harvey, masih belum sadarkan diri di rumah sakit. Dan sekarang, diperparah oleh sosok pria yang semula menemaninya. Mengukir kisah cinta bersama selama tiga tahun. Jacob Desmond namanya. Pria yang dicintai Harvey sepenuh hati, segenap jiwa, dan sebentar lagi akan berakhir di pelaminan. Andai berita serta cobaan ini tak menghadangnya, harvey rasa pernikahan mereka akan terselenggara dengan meriah dan penuh suka cita. “Untuk apa kau tanyakan cincin itu, Sayang.” Harvey mengerjap tak percaya pada pertanyaan kekasihnya ini. Sembari memutar cincin yang ia kenakan di jemari manisnya. “Aku selalu mengenakannya. Tanda cinta kita.” Ia pun tersenyum meski terasa hambar. Pikirannya semrawut karena kasus orang tuanya yang belum jua menemui jalan keluar. Tapi yang paling mengkhawatirkan adalah kondisi ibunya. semua akses p********n dibekukan, ia tak bisa memberi perawatan maksimal pada sang ibu kecuali pemberian bantuan dari keluarga besarnya. Berbanding lurus dengan cibiran serta cemooh yang ia terima atas kasus sang ayah. Terutama dari pihak sang ayah yang merupakan garis Langham. Mereka menganggap, sang ayah adalah pembuat onar dan pencemar nama baik. “Aku memintanya kembali,” kata Jacob penuh lugas. Matanya menatap Harvey tanpa ragu. Yang membuat gadis itu mengerutkan kening. Bingung. “Maksudnya?” “Aku ingin kau kembalikan cincin pertunangan itu. kau tahu, kan, cincin itu cincin keluargaku. Yang akan dikenakan pada istriku yang layak.” Kerutan di dahi Harvey semakin banyak. “Aku tak mengerti maksud ucapanmu.” Jacob menghela pelan. “Aku tahu ini terdengar kejam tapi …” Pria itu menjeda sejenak ucapannya. Berusaha untuk menguatkan hati dan pikiran meski sebagian besar memberontak akan keputusan keluarganya. “Ibuku tak merestui kita lagi, Harvey.” Mata Harvey mengerjap pelan. jantungnya berdebar tak keruan. “Tante Cristine tak menyetujui kita? Setelah tiga tahun ini? Dan … pesta pertunangan beberapa bulan lalu? Tak artinya?” Suara Harvey mulai terdengar gemetar. Tangannya terkepal kuat saking menahan emosi. “Yah … kau tahu,” Jacob mengusap wajahnya penuh frustrasi. “Ibuku tak ingin kami berhubungan dengan orang yang memiliki catatan buruk.” Harvey terhenyak tak percaya. Ia sampai meremas ujung kemejanya dengan kuat. tangannya lembab karena keringat. Matanya juga makin berkaca-kaca menatap lawan bicaranya. “Catatan buruk?” Tanpa ia sadari, air matanya turun membasahi pipi. “Sebenarnya aku tak ingin mengatakan hal ini, Harvey. Tapi kau tahu … ibuku bisa berbuat apa pun untuk hidupku. Aku tak bisa menentangnya. Beliau punya pengaruh yang begitu besar.” “Tapi pertunangan kita?” Harvey masih belum percaya pada semua ucapan yang meluncur dari bibir Jacob. “Ibuku sudah mengatur pertunangan kita yang batal. Dan sebagai putra yang beliau banggakan, aku tak bisa membantahnya. Aku tak berdaya, Harvey.” “Bukahkan kau mencintaiku?” tanya Harvey dengan sorot penuh harap. Setidaknya, dari sekian banyak ujian yang mendatanginya, ia butuh satu validasi khusus. Cintanya memang terbalas sejak awal. Bukan hanya dirinya yang memiliki rasa ini pada Jacob. “Aku mencintaimu, tapi aku tak bisa berbuat apa pun di kondisi sekarang. Aku tak bisa membelamu sama sekali. Ini pun berat untukku, Harvey. Tapi kumohon … mengertilah.” Senyum Harvey terukir tipis sekali. “Aku diminta untuk mengerti?” Ia pun tertawa. “Astaga, aku benar-benar dijatuhi banyak bom yang dahsyat.” Mata Harvey memejam kuat. sisa air matanya segera ia hapus. Setelah berusaha menenangkan diri, ia pun tertawa. Jenis tawa yang keluar dari bibirnya, bukan mengandung kegembiraan. Tapi penuh miris dan kepedihan. Pun tangan satunya segera melepas cincin bertahta berlian yang semula melingkari jemarinya. Diletakkan segera di atas meja. “Aku benar-benar minta maaf sudah ber—“ Tangan Harvey terangkat tanda tak ingin mendengarkan ucapan Jacob selanjutnya. Ia sudah keburu muak dengan pria itu. tak disangka orang yang selalu ia bela serta cintai, bisa melakukan hal sekonyol dan serendah itu. apa katanya? tak bisa menentang sang ibu? Setelah sebelumnya hubungan mereka selalu mulus tanpa kendala? Harvey diterima dengan tangan terbuka, entah sudah berapa kali juga mereka terlibat acara bersama. Cristine Desmond sering menikmati secangkir kopi bersama Harvey di sela kegiatan belanjanya di salah satu mall terbesar di South Blue. Dan sekarang? “Padahal keluargaku belum tentu bersalah,” kata Harvey penuh lirih. “Kupikir kau berbeda, Jacob.” Matanya kembali terangkat menatapa pria yang masih duduk di depannya itu. yang semula penuh dengan cinta, kali ini cinta itu ditumpahi bara kemarahan. Kekecewaan. Serta patah hati yang demikian besar. “Aku pikir, setidaknya di dunia ini aku masih bisa bersandar pada orang yang kucintai. tidak. aku tak merongrongmu untuk membereskan urusan keluargaku. Jika itu yang kalian takutkan. Atau menyeret kalian dalam masalah kami.” Ia terkekeh penuh miris. “Tapi ternyata, aku terlalu tinggi meletakkan ekspektasi untukmu.” Ia pun berdiri. “Terima kasih untuk tiga tahun yang begitu sia-sia untukku.” Tanpa peduli air matanya kembali tumpah. Diabaikannya juga panggilan Jacob setengah berteriak di belakangnya. Baru saja keluar restoran tempat mereka bertemu, ponselnya sudah berdering nyaring. Sebuah pesan dari rumah sakit berikut tagihan yang harus ia selesaikan untuk menunjang kehidupan sang ibu. “Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya dengan suara bergetar. Seolah semesta tak putus-putus membuat seorang Harvey jatuh, hujan mengguyur dengan derasnya. Sampai gadis itu tak memiliki kesempatan sekadar berteduh. Tapi ia tak peduli. Di bawahh rintik air yang tak kunjung mereda, ia terus berjalan. Sembari berpikir, pilihan apa yang harus ia lakukan. ibunya butuh biaya. Dirinya tak punya tempat kembali sampai waktu penggeledahaan selesai. Kembali ke rumah kakeknya? Sama saja menyetor nyawanya pada sang kakek. Dering ponsel Harvey yang memecah sunyi, membuat kenangan akan masa lalunya buyar begitu saja. Dilirik, nama Jody muncul di layar. Karena teringat akan Jacob dan kelakuannya, mendadak ia merasa jijik dan ingin sekali membuat banyak pria tunduk di bawah kakinya. Hanya karena ia tengah dilanda kesulitan, bukan ditinggalkan yang ia dapatkan. Ditambah kenyataan, Jacob menikahi wanita pilihan ibunya. Tak lama setelah harvey kembalikan cincin itu. Hati Harvey mati rasa. Seringai tipis muncul di bibirnya. Segera ia geser icon hijau di layar. “Maafkan aku, Tuan Jody.” “Kenapa kau memanggilku seperti itu?” tanya suara di ujung sana. “kau tak tahu, betapa frustrasinya aku mengetahui kau pergi. Aku ingin bertemu denganmu, Sayang.” Harvey tersenyum penuh makna. “Bukankah Maya bisa menyingkirkan rasa gelisahmu, Tuan?” Jody berdecak kesal. “Ayolah, Sayang. akan kupenuhi apa pun yang kau inginkan. Tenderku berjalan lancar, tapi yang kuingat hanya dirimu. Jangan pernah sebut Maya di depanku. Kau tahu itu, kan?” Harvey tertawa. “Dia istrimu kalau kau lupa, Tuan.” “Kau ingin tas Harmes terbaru? Limited edition? Atau ponsel terbaru? Ah … kurasa lehermu akan cantik dengan kalung berbandul berlian biru? Akan kubawa di saat kita bertemu. Bagaimana?” “Apa pun yang kau bawa untukku, aku tak pernah menolaknya, kan?” Harvey kembali duduk di kursi yang tersedia. Matanya menatap langit tanpa bintang malam ini. “Kudengar, tendermu berkaitan dengan Desmond?” “Ya. Desmond memegang peranan penting sekarang.” Senyum Harvey makin jadi tercipta di bibir. “Akan kuluangkan waktu untuk bertemu denganmu tapi aku ingin, kau mengajakku dalam pertemuan bersama Desmond? Mungkin sebulan lagi?” “Apa pun yang kau inginkan, Sayang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD