5. Berawal Dari Sini

1055 Words
Beberapa hari ini aku sedang dilanda kesibukan yang luar biasa karena ikut menangani pernikahan dua orang klien kami yang diselenggarakan di satu bulan yang sama. Mondar mandir dari tempat ke tempat yang lain memastikan agar semua berjalan lancar sesuai dengan apa yang kita semua harapkan. Capek, tentu saja. Terlebih sebuah kesuksesan acara adalah suatu kebanggaan dan juga melambungkan nama wedding organizer yang dimiliki oleh Rani. Mengenai rencana pernikahan Gladis dan Restu aku belum tau lagi bagaimana kelanjutannya. Karena dari pihak mereka pun juga belum menghubungi lagi. Semua masih sesuai dengan pembicaraan pertama sekaligus di pertemuan terakhir kami beberapa hari yang lalu. Tanggal pernikahan pun sepertinya baik Restu dan juga Galdis belum menentukan secara pasti. Baru kali ini aku menjumpai sepasang calon pengantin yang tidak begitu antusias dengan rencana pernikahan. Padahal menurut pengalamanku, mereka akan menghubungi jasa WO setidaknya setahun sebelumnya. Karena meraka tahu untuk pemesanan dan booking sebuah hotel atau gedung sebagai tempat diadakannya acara itu tidak mudah. Harus jauh-jauh hari kita membookingnya. Jika tidak ingin keduluan atau di temapti oleh orang lain. Apalagi jika musim pengantin tiba. Rasanya kepala ini sudah pusing sendiri untuk mengusahakan sebuah tempat saja. Dua tahun bekerja sebagai seorang WO sudah cukup membuatku mengenal dengan para PR atau Publik Relation dari beberapa supplier ataupun rekan kerja sehingga bisa meluluskan sedikit semua rencana yang telah disusun rapi. Siang ini aku sampai di kantor sudah melewati jam makan siang. Acara pernikahan satu klien kami akan diselenggarakan ujung minggu ini. Sejak pagi aku sudah berada di hotel untuk mempersiapkan semua dekorasi untuk acara resepsi. "Siang kak, Zima!" sapa Tari, rekan kerja yang sangat dekat denganku. "Siang juga, Tari." Aku menjawab dengan dibarengi duduk di atas sofa yang ada di depan front desk tempat Tari biasa bertugas. Karyawan di Wedding Organizer ini tidaklah banyak. Lebih banyak aku dan Rani yang meenghabdel semua. Dibantu oleh Tari yang bekerja sebagai Front Desk merangkap membantu semua pekerjaan yang bisa ia lakukan. Lalu seorang Office Boy bernama Adi yang juga biasa membantu mengecek ketersediaan barang. Dan sepuluh orang tenaga freelance yang hanya bekerja disaat dibutuhkan saja. "Capek, Kak?" tanyanya dan aku mengangguk. Tanganku meraih air mineral dalam kemasan gelas plastik yang disediakan di atas meja. Menusuknya dengan sedotan dan langsung menyesapnya sampai habis. Tenggorokan yang tadinya kering langsung segar kembali. "Zima!" panggil Rani membuatku terlonjak kaget. Sampai-sampai aku mengusap dadaku karena terkejut. Menatap wanita yang tahu-tahu sudah muncul saja dari dalam. "Ya Tuhan! Kenapa kau mengagetkanku, Ran?" tanyaku sambil menatapnya dengan wajah cemberut. "Sorry ... sorry ... Aku mengagetkanmu. Tapi ini gawat." Wajah Rani tampak panik membuatku jadi bingung sendiri. "Gawat apanya?" "Coba cek ponselmu?" pinta Rani. Aku mengernyitkan keningku. Tak ayal menurut saja dengan apa yang Rani katakan. Membuka tas dan merogoh ponsel milikku yang bertengger di dalam sana. "Ada apa dengan ponselku?" tanyaku pada Rani karena aku merasa penasaran saja. "Apa Gladis ada menghubungimu?" tanya Rani kemudian. "Sebantar aku lihat dulu." Kubuka ponsel yang kini telah menyala. Benar saja, ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomor yang aku belum simpan namanya di kontak teleponku. Aku lupa jika Gladis ini sekarang menjadi klienku. Mungkin saja Rani yang memberikan nomor ponselku pada wanita itu. Seharian ini aku terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga sedikit mengabaikan ponsel yang tersimpan rapi di dalam tas. "Rain ... memangnya kenapa dengan Gladis? Dia ada menelponku beberapa kali. Tapi maaf, aku tidak tahu karena sejak tadi ponsel ada di dalam tas. Mode silent belum aku ganti sejak semalam." Aku meringis menjelaskan. Merasa bersalah karena mengabaikan telepon dari klien. Sejak semalam ponsel memang aku setting mode silent. Itu selalu kulakukan agar waktu tidurku tidak terganggu. Biasanya setiap bangun tidur aku akan mengembalikannya dalam mode normal. Tapi pagi ini tidak kulakukan karena aku benar-benar kelupaan. "Ayo, ikut ke ruanganku. Kita bicara di dalam saja," pinta Rani padaku. Aku mengangguk dan beranjak dari duduk. Rani telah meninggalkanku. Sementara aku menoleh pada Tari yang sejak tadi memperhatikan interaksiku dengan Rani. "Ada apa lagi, Kak?" tanya Tari yang ikut kebingungan dengan sikap Rani tadi. "Entahlah. Aku sendiri juga tidak tahu. Ya, sudah. Aku masuk ke dalam dulu ya, Tari." "Iya, Kak." Aku meninggalkan Tari dan menyusul Rani ke dalam ruangannya. "Ran...." "Masuklah, Zi." Aku pun duduk di hadapan Rani. Menatap Rani gusar karena prediksiku semua sedang tidak dalam kondisi yang baik-baik saja. "Zi, ini perihal serius." "Bicara yang jelas, Ran. Aku tidak tahu apa mengenai duduk persoalannya. Jadi jangan membuatku kebingungan." "Maaf, aku sendiri juga sedang bingung saat ini. Semua karena Gladis." "Ada apa dengan Gladis? Apakah dia membatalkan rencana memakai jasa WO kita?" Rani menggeleng menjawab tebakanku. "Sebaliknya. Gladis sudah membayar kita tujuh puluh lima persen." "Apa?!" Aku yang terlejut tidak sadar sampai memajukan wajahku mendekat pada Rani. Untung saja posisi kami berdua dipisahkan oleh meja kerja Rani. "Sebentar, Ran. Jelaskan pelan-pelan padaku. Bagaimana mungkin Gladis sudah membayar kita sebanyak itu. Bukankah di pertemuan kemarin kita belum ada kesepakatan yang berarti. Aku pikir Gladis masih hanya ingin membahas rencana dia saja." "Aku kira juga begitu. Tapi begitu tadi dia menelepon dan mengatakan padaku jika acara pernikahannya akan segera dilakukan dalam waktu kurang dari tiga bulan. Saat itu aku juga terkejut. Bayangkan ... tiga bulan Zima!" "Tiga bulan?" "Ya, bagaimana mungkin kita bisa menyelesaikan semua dalam waktu tiga bulan coba?" "Kau menyetujuinya?" "Terpaksa. Karena Gladis yang memohon-mohon agar kita bisa membantunya mewujudkan pernikahan yang mendadak ini. Bahkan Gladis rela membayar berapapun. Ia memaksaku dan meminta nomor rekening kantor. Gladis menyetujui apapun rencana yang telah kita sampaikan sesuai proposal. Dan dari semua perhitungan biaya yang kita informasikan kemarin, Gladis juga tidak keberatan sama sekali. Jika ternyata ada kelebihan budget, ia tetap akan membayar. Karena aku mengatakan padanya, biaya-biaya yang kita infokan kemarin, hanyalah perhitungan sementara." Aku shock dan tak tahu harus berkata apa. Ini semua terlalu cepat. Mana mungkin kita harus bekerja dalam waktu sesingkat itu demi menyiapkan sebuah acara pernikahan. Ini yang akan menikahn bukanlah orang biasa-biasa saja. Aku tahu siapa Restu Wibisono. Sepupu mantan suamiku bukanlah seorang karyawan bank seperti Mas Reno. Dari penampilannya saja sudah dapat aku tebak jika Restu adalah seorang pengusaha. Sementara Gladis sangat kentara jika wanita itu merupakan sosialita. Tapi pekerjaannya apa, aku belum pernah tanya apa Rnai. "Bagaimana ini, Zi! Uang p********n dati Gladis baru saja masuk ke dalam rekening." "Jika sudah seperti ini kita tak bisa melakukan apa-apa lagi selain mengerjakan proyek pernikahan mereka." jawabku lemas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD