Seperti Mimpi

2523 Words
"Cari saudara lo yang lain. Jangan nyari-nyari gue pas lo lagi susah! Pas lo lagi seneng, lo lupain tuh semua keluarga lo!" omelnya lantas mematikan telepon. Ia mendengus kesal lantas beranjak dari atas tempat tidurnya. Mendadak, ia kehilangan mood untuk tidur. "b******k!" makinya. Ia benar-benar kesal. Tak ada satu pun saudara yang bisa ia andalkan. Ketika susah, mereka berdatangan hanya untuk merongrong uangnya. Ketika ia yang susah, taka da satu pun yang bisa dihubungi. Lantas ini yang dinamakan keluarga? Lebih baik ia hidup sendiri. Ia membuka kulkas lantas mengeluarkan s**u. Ia pernah membaca kalau s**u dapat membantu meredamkan sedikit emosinya. Karena biasanya, orang yang emosi rentan untuk mudah stress hingga depresi. Sementara s**u mengandung vitamin D yang mampu mengurangi risiko serangan panik dan depresi pada tubuh. Ia menghela nafas sembari duduk di bar kitchen. Matanya menerawang kosong. Agak-agak kesal dengan persoalan keluarga yang terus-menerus dihadapinya. Saat sudah tenang, ia beranjak dari kursi. Kemudian berjalan mengambil ponselnya di atas tempat tidur. Ia kembali keluar dari kamar dan duduk di depan televisi. Ia menghela nafas panjang usai menghubungi seseorang dan menaruh ponselnya di atas nakas. "Kenapa lagi, Labil?" Ia mendengus, mendengar sapaan itu. Dan seseorang itu terkekeh di seberang sana sambil menguap. "Lo udah ngantuk?" Orang itu tersenyum tipis. Ia mengucek-ucek matanya lalu kembali berbicara. "Ngomong kalo mau ngomong." "I just wanna say that...." "Say? What?" Gadis itu menghela nafas panjang. "Pusing. Adek gue minta duit lagi. Lo tahu kan buat apa? Gak jauh-jauh dari urusan penampilan. Gue heran aja, otaknya di mana. Bukannya kerja malah makin nyusahin orang. Oke, gue tahu kalo gue gak bisa berbuat banyak untuk bantu keluarga gue, tapi seenggaknya gue gak nyusahin orangtua gitu. Dan dia.....," ia menghela nafas. Sementara sang pendengar berdeham. Ia hanya bisa menyimak. Ia sudah terlalu sering mendengar curhatan yang sama tapi ia selalu memposisikan diri sebagai pendengar yang baik. Ia tak mau perempuan ini depresi karena hal-hal semacam ini. Mendengar orang yang sedang marah-marah dan tidak menghakiminya. Sebab, orang yang sedang marah itu sejujurnya hanya ingin didengarkan. "Rasanya lo pasti bosan dengernya," lanjutnya yang membuat tawa. Memang benar. Karena itu bagai kaset yang terus berputar ulang. Kejadian sama dan seperti de javu karena terjadi berulang kali. Namun namanya juga hidup, barangkali dramanya memang harus begitu. "Kita memang sering menghadapi permasalahan yang sama di dalam hidup, Labil. Wajar saja. Gue sih lebih berharap, lo bisa tenang dengan cara ngungkapin semuanya. Itu untuk minimalnya. Meski belum bisa menyelesaikan masalah lo secara tuntas. Everybody has the same problem and it can be solved. Ini cuma soal waktu." "I know, babe," tuturnya yang membuat lelaki di seberang sana tergelak. Panggilan kesayangan yang sebetulnya pelesetan. Bukan babe atau baby atau sayang melainkan pig. Hahaha. Mereka punya sejarah untuk panggilan itu. Ia memang pernah gemuk selama beberapa semester sampai akhirnya turun lagi ketika menyusun skripsi. Efek stres mengerjakan penelitian. "Lo sendiri? Is there any problem? Rasanya gue gak pernah bertanya tapi selalu curhat ke elo." Lelaki di seberang sana menghela nafas. Kantuknya hilang sudah. Kadang mendengar orang lain bicara itu membosankan. Tapi untuk beberapa kesempatan, ia mempelajari ini sebagai ritme kehidupan. Bahwa setiap orang punya masalah tapi pasti ada jalan keluarnya dan bisa jadi, ia menjadi pencetus solusi untuk masalah itu. "My life is for you, babe. I'm okay now." Ia terkekeh. "Tapi gue denger, lo mau ke Jakarta. Mau ngapain? Ngelamar gue?" tanyanya yang membuat lelaki di seberang sana terbahak sampai memegangi perutnya. Ia sampai kehilangan kata-katanya. Astagaaa! Kalau sampai jadi 'teman tapi menikah', ini sih gila namanya. "Gue denger dari si Upik sih. Dari sekian tahun setelah lulus, lo memilih untuk datang diwaktu ini. Pasti ada alasannya." Ia berdeham lantas bertanya dengan nada berbisik sementara di seberang sana, lelaki itu masih terbahak. "Lo gak lagi suka sama Kucay kan?" Ia makin terbahak mendengar kecurigaan itu. Astaga-astaga! Ia tak kuat bicara saking lucunya ucapan itu. Itu sudah lagu lama ah. Dan lagi, lebih asyik berteman. Kadang lelaki memang tak bisa memungkiri ketika ia melihat seorang perempuan lalu merasa tertarik. Begitu mengenal, ternyata hanya bisa dikagumi sebagai sahabat dan tak lebih. Bukan karena nyaman dengan zona pertemanan. Tapi pada kondisi ini, memang itu lah yang dirasakan. "Denger-denger si Kucay udah dilamar orang." Ia berhenti tertawa lantas ia berdeham. "Oh ya?" "Giliran gue ngomong si Kucay, langsung diem lo," candanya yang membuat lelaki itu kembali terbahak. "Tapi gue beneran mau nanya deh. Lo suka beneran sama Kucay waktu kuliah dulu? Atau ada kisah yang terlewat dari gue?" Cowok itu masih tertawa. Tapi begitu mendengar tak ada suara lagi dari sahabat perempuannya ini, ia berdeham. "Kucay itu masih sodara gue. Sodara jauh lah. Dia kan turunan orang Palembang juga, kakeknya." "Sodara sejauh itu jaraknya, menurut gue gak ada halangan untuk menikah." "Asem lo! Jangan ngomong asal! Kucay itu sahabat gue juga!" kesalnya yang membuat gadis yang dipanggil Labil ini terbahak. Senang sekali rasanya membuat orang kesal dengan kata-katanya. Ia kan pandai mengalihkan pembicaraan. Ya alih-alih memikirkan kelakuan adiknya yang tak berakhlak. Tentu itu akan membuatnya emosi tingkat dewa. "Ya kan siapa tahu. Abisnya si Upik juga bilang kalo lo pernah naksir Kucay waktu kuliah." Ia mendengus. Kenapa semua orang harus membahas itu sekarang? Hahaha. "Itu dulu banget lah. Jangan diungkit-ungkit lagi lah." Akhirnya, lelaki itu mengakui juga. Hal yang membuat gadis itu terbahak puas. Ia memang suka sekali menggoda lelaki ini. "Terus kenapa lo tiba-tiba mau dateng ke Jakarta? Ngelamar gue gak mungkin, karena lo naksirnya Kucay bukan gue." "Gue kepret juga lo!" Gadis itu terbahak lagi. Tapi kemudian, ia berdeham dan mulai berbicara dengan nada yang agak serius. Ada kondisi di mana harus bercanda dan ada saatnya juga untuk berbicara serius. Biar ritme kehidupan tak terlalu monoton. "Terus ngapain dooong?" "Ada lah, ada urusan aja. Ntar kita ketemu di kampus aja. Bongkar time capsule." "Masih ada emangnya itu?" tanyanya lantas tertawa. Lelaki itu terkekeh di seberang sana. Ia juga tak tahu. Mungkin saja masih ada. Mungkin saja tidak. Tapi setidaknya mereka sudah membuat kenangan bersama. Itu yang paling penting. Ya kan? Mereka sudah lama lulus dan pasti merindukan hal-hal yang pernah terjadi dulu di kampus kuning yang syahdu. @@@ "Jam berapa ini Nabila," tutur Bosnya. Ia nyengir dalam hati. Gegara menelepon Ammar hingga menjelang pagi, ia bangun kesiangan. Yaaa, kadang juga sering kesiangan sih tapi hari ini, mood Bosnya sepertinya sedang tidak bagus. Jadi ia hanya membungkuk lantas ngacir ke ruangannya. Begitu duduk di kursinya, ia menghela nafas lega. Tadi ia terburu-buru sekali. Begitu bangun, ternyata sudah jam delapan pagi. Ia hanya sempat menggosok gigi dan mencuci muka. Kemudian mengganti baju dan bersegera berangkat. Tiba di lobi gedung apartemen, ia memesan ojek online. "Dari mana aja lo? Jam segini baru dateng," tutur temannya yang satu ruangan. Lelaki itu baru muncul dan di belakangnya ada karyawan baru yang menggantikan Mila. Mila, sahabat akrabnya di kampus waktu sarjana. Gadis itu memilih keluar karena katanya ingin lanjut kuliah saja. "Siapa?" ia malah menanyakan sosok gadis yang mengangguk dengan senyuman kecil padanya. "Oh," lelaki itu pun menoleh pada gadis di belakangnya itu. "Itu pengganti Mila. Masih baru. Baru lulus juga ya kan, Devi?" Gadis itu mengangguk lagi dengan senyuman tipisnya. Biasa, anak baru memang pasti malu-malu. "Anak IPB," lanjut si cowok. Ooh, Nabila hanya mengangguk. "Kalau dia itu Dev, alumni UI." Nabila terpaksa tersenyum karena gadis itu melihatnya. Kemudian ia menoleh pada cowok itu. "Gak usah bawa-bawa almamater," sergahnya yang membuat cowok itu terbahak. Nabila mulai membuka laptopnya kemudian mengerjakan laporan. "Tapi serius geh. Lo abis dari mana?" tanyanya. Nabila menjulingkan matanya. "Mau ditabok lo ya?!" Lelaki itu terbahak lagi. "Garang amat lu. Baru juga dateng. Kenapa sih? Lagi 'dapet'?" "Berisik!" Ia cekikikan lagi. Kemudian lelaki itu sibuk dengan laptopnya juga. Walau beberapa menit kemudian... "Si Bos lagi bad mood tuh gegara gagal dapat proyek Pertamina," tuturnya. "Oh ya?" Ia tidak tertarik untuk menanggapi sebetulnya. "Terus si Bu Lida," tuturnya lantas mendorong kursinya dengan kaki agar mendekati kursi Nabila. Begitu tiba disampingnya, ia berbisik. "Korupsi uang gaji." Nabila menoleh dengan kerutan didahi. "Maksudnya?" Lelaki itu berdeham lantas menoleh ke arah pintu. Ia juga sempat berdiri untuk melihat suasana di luar ruangan. Kebetulan ia bisa melihatnya karena ruangan ini disekat dengan kaca yang sangat tebal dan transparan. Lalu ia duduk lagi dan kembali berbisik ditelinga Nabila. "Dia motong semua gaji karyawan ternyata. Kayak gue, gue dengar-dengar dia motongin gaji 300 ratus ribu sampai enam ratus ribu per orang." Nabila ternganga. "Beneran?" pastinya. Ya ia tahu sih kalau Bu Lida itu memang orang yang agak-agak maruk (serakah) dalam hal apapun. Tapi kalau sampai melakukan pemotongan seperti ini, apalagi dengan potongan yang menurutnya sangat besar.....astaga! Ini sih keterlaluan. Apalagi kalau dikali jumlah semua karyawan di sini. Bisa bayar uang muka untuk mobil baru kalinya? Atau rumah baru? Si cowok mengangguk-angguk. "Bahkan gaji anaknya, si Idham juga dipotong." Ia makin ternganga. Memang sudah tidak lumrah jika bekerja di sini pastinya berdasarkan koneksivitas. Walau ya, dilihat juga kemampuannya. "Terus?" Cowok itu mengendikan bahu. "Itu juga yang bikin si Bos, bad mood hari ini." "Terus?" "Gak mungkin dipecat sih. Secara, dia kan salah satu orang yang ikut berjasa atas perkembangan perusahaan ini. Mana mungkin si Bos berani mecatin." Nabila mengangguk-angguk. Benar juga. Urusan balas budi yang berbuntut panjang. Tapi malas juga kalau orangnya tidak tahu diri. "Terus?" "Ras-rus-ras-rus!" ketusnya yang bosan mendengar pertanyaan lanjutan dari Nabila. Gadis itu malah terbahak. Ia kan hanya ingin tahu. Heiish! "Lantas, lo dari mana aja sepagi ini?" Ia masih bertanya dengan pertanyaan yang sama. Posisi kursinya sudah kembali ke mejanya. Sementara Nabila menghela nafas. "Gue kesiangan." "Siap-siap gaji lo dipotong," tuturnya yang membuat Nabila mendengus. "Kagak ada apa-apa aja, gaji gue udah dipotong." Si cowok tertawa. "Maksud lo yang ka--" "Bukan. Dia kayaknya mau ngusir gue, biar gue keluar. Alih-alih gue yang keluar malah si Mila." Si cowok tertawa lagi. "Ngusir lo karena lo berlagak bodoh selama berbulan-bulan ini?" Nabila mendengus. "Kok lo tau sih?" Si cowok terbahak. Ia geleng-geleng kepala dengan tangan yang sibuk mengetik. "Tau lah, Bil. Anak UI, lulusan terbaik, pernah wara-wiri di berbagai kompetensi bergengsi. Malah bablas masuk kantor s****n kayak gini," tuturnya dengan nada yang semakin memelan. Nabila tertawa. "Mungkin jalur rejeki gue emang payah," tuturnya. Walau dalam hati, ia mengutip beragam kesialan yang ia hadapi. Bukan hanya persoalan rejeki, persoalan keluarga hingga jodoh pun sama. Sama-sama mengenaskan. Ia bisa bertahan dengan hidup seperti ini saja sudah syukur. "Tapi saran gue, mending lo keluar deh, Bil. Gue bukannya mau ngusir lo sih. Tapi menurut gue, lo masih bisa perjuangin hal lebih." Nabila menghela nafas. Pasalnya, ia sedang terhimpit saat ini. Uang tabungannya kian habis untuk membiayai hidupnya juga keluarganya. Ia saja susah dua tahun tiap lebaran tak pulang agar yang THR alias Tunjangan Hari Raya itu bisa dikirim pada ibunya yang sudah tak bekerja. Tak bisa bekerja lebih tepatnya. Disisi lain, ia juga punya keinginan untuk lanjut kuliah S2. Seperti Mila atau sahabatnya yang lain, Kucay alias Chayra. Jadi, apa yang harus ia lakukan? @@@ "BABIL!" Ia menoleh. Ia melihat sahabatnya dari lantai bawah, melongokan kepala dengan senyuman ceria. "Makan siang yoook!" ajaknya. Ia menghela nafas kemudian melirik jam dilaptopnya. Sudah hampir jam dua siang dan sedari tadi, ia memang belum makan siang. Pasalnya, ia tak mau dipelototi Bosnya kalau makan di jam dua belas siang tadi. Ia sudah cukup bermasalah sejak berbulan-bulan terakhir. Ia lelah menghadapi mood-nya yang suka berubah. Sementara mood-nya juga tak begitu beres hari ini. "Ayooo makan siang! Gue dengar dari si Bobi, lo belum keluar sama sekali." Ia menyimpan dokumennya kemudian menidurkan laptopnya. Lalu ia menoleh pada gadis berkerudung yang tersenyum ke arahnya. "Oke," ia menarik nafas kemudian mengambil ponsel juga dompetnya di dalam tas. "Lo mau makan di mana?" "Biasa, gedung depan. Gue lihat ada yang baru buka." Ia mengangguk kemudian berjalan menyusul gadis itu. Keduanya berjalan menuju tangga dan bergerak turun. Tak lama, keduanya sudah tiba di lobi gedung. "Echaaaa! Ada pakeeet niih!" seru sang resepsionis begitu keduanya hendak keluar. "Nanti aja diambilnya Nonii!" balasnya. Tapi baru juga mau melangkah lagi.... "Hei!" sapa cowok ganteng bin tengil di depan mata. Nabila tak bisa menahan tawanya. Ia langsung terbahak. Ini kedua kalinya ia melihat cowok sableng ini muncul di depan gedung kantor mereka untuk mengejar cinta Echa. "Mau makan siang? Bareng?" Echa kehilangan kata-katanya. "Boleh! Mau bayarin?" tawar Nabila sambil mengendip dan cowok itu membalas kedipannya. Nabila terbahak lagi. "Gak masalah," tutur si cowok tapi Echa.... "Gak perlu! Kamu pulang aja. Ngapain sih ke kantor orang?" tuturnya dengan judes. Nabila terbahak lagi. Ia bisa sakit perut kalau melihat interaksi kedua orang ini. "Yaaah, kamu kok gitu sih sama aku, Beeyb?" tuturnya dengan wajah yang dibuat sesedih mungkin. Nabila mengatupkan mulutnya dengan mulut juga menahan tawa. "Bab-beb-bab-beb! Jangan asal manggil-manggil orang yaaa!" tuturnya lantas menarik tangan Nabila dengan ganas. Nabila bahkan masih terkikik-kikik. Ia terseret-seret mengikuti langkah Echa. Begitu Nabila menoleh ke belakang, ia mendapati cowok itu mengedipkan mata. Nabila makin terbahak. Dasar sableng, pikirnya. Begitu agak jauh, ia berdeham. Bahkan keduanya sudah tiba di restoran baru yang Echa bilang. "Kenapa sih lo gak mau sama Ferril? Dia tajir, keluarganya juga tajir, baik meski tengil, perhatian sama lo. Kemarin lo sakit, dia juga yang urusin di rumah sakit. Kurang apa coba?" "Kurang waras," ketusnya asal. Nabila terbahak lagi. "Waras kali ah. Lu aja yang gak waras makanya gak mau sama dia," celetuknya dan ia mendapatkan sorotan mata tajam milik Echa. Nabila nyengir. Kemudian ia mengalihkan pembicaraan karena tampaknya Echa benar-benar kesal dengan kedatangan cowok itu. Usai makan siang, keduanya kembali. Tapi dari kejauhan Nabila melihat cowok itu masih ada di sekitar gedung. Begitu saling bertatapan, cowok itu memberi kode padanya. Nabila hanya mengira-ngira dalam mengartikannya kemudian menyuruh Echa untuk balik duluan ke ruangan sementara ia keluar lagi dan menghampiri Ferril yang menyandarkan badan di kap mobilnya. Omong-omong, Nabila suka mobil kerennya. Hahaha! "Ada apa?" tanyanya dengan kedua tangan terlipat di depan dada." "Minta tolong," tuturnya. Ferril menghela nafas lantas melepas kacamata hitamnya. Nabila langsung terbahak melihat mata panda yang bengkaknya teramat parah itu. "Gue minta tolong lo liatin dia," tuturnya serius walau lagaknya tengil dan mengundang tawa. Nabila mengangguk-angguk sambil berupaya menghentikan tawanya karena tak sanggup melihat mata yang begitu hitam itu. Pantas saja, pikirnya. Cowok ini sering kali memakai kacamata hitam tiap datang ke sini. Ia pikir, karena memang gayanya seperti itu. Tapi ternyata.... "Echa bukan anak kecil lagi. Dia udah dewasa. Ngapain gue harus pantau?" Lelaki itu menghela nafas. "Persoalannya agak pelik kali ini," tuturnya lantas Nabila tampak berpikir. Sementara Ferril mengeluarkan sebuah kartu nama kemudian ia mengulurkan padanya. "Apaan tuh?" Ferril menyodorkannya sekali lagi. "Kirim lamaran lo ke sini. Kebetulan ada lowongan." Sebelah alis Nabila terangkat. Ia bingung dengan penawaran ini. Walau ia mengambil kartu itu. "Bawa Echa juga kalau bisa. Dia lebih aman di sana." Aaah. "Jadi gue cadangan?" Ferril menggelengkan kepala. "I know your life. Di sini lebih menjanjikan," tuturnya yang membuat Nabila merinding seketika sementara cowok itu pamit dan masuk ke dalam mobilnya. Kemudian ia meninggalkan Nabila yang masih ternganga. Mimpi apa ia semalam? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD